Hujan yang turun semalaman membuat tanah hutan Lembah Kendal berbau lebih pekat dari biasanya. Aroma lumut dan tanah basah menyeruak dari celah-celah akar pohon meranti raksasa. Laras menarik napas panjang, menghirup udara yang memanggil kenangan masa kecilnya. Ia berjalan perlahan, sepatu botnya menyisakan jejak lumpur di jalur setapak. Cahaya pagi masih malu-malu menembus rimbun dedaunan.
Ia berhenti di bawah pohon randu tua. Di sana, jamur-jamur mungil tumbuh di pangkal batang, memancarkan cahaya hijau kebiruan seperti bintang-bintang kecil yang jatuh ke bumi. Cahaya itu berpendar pelan, seperti bernapas. Laras jongkok, menempelkan telapak tangannya di tanah yang lembab. Rasa dingin merayap naik ke pergelangan tangannya, dan sebuah sensasi aneh seperti dengungan jauh memenuhi telinganya.
Seolah ada suara samar di bawah tanah: tawa anak-anak yang pernah berlari di hutan, suara langkah-langkah panik, teriakan yang terputus api.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laras meneguk ludah. Ia sudah menduga jaringan mikoriza yang menghubungkan pohon dan jamur menyimpan memori ekologis—tapi ia tidak pernah menyangka memori itu terasa begitu… manusiawi.
“Masih seperti dulu, ya,” bisiknya pada diri sendiri.
“Masih,” jawab suara serak dari balik batang pohon.
Laras terlonjak. Dari balik semak, muncul seorang lelaki tua dengan tongkat kayu panjang. Bajunya lusuh, wajahnya penuh garis waktu. Mbah Karta, penjaga hutan yang dulu sering ia lihat ketika kecil, kini tampak lebih renta namun sorot matanya tetap setajam dulu.
“Kau kembali, Nduk,” katanya, langkahnya tertatih mendekati Laras.
“Saya kembali, Mbah,” jawab Laras dengan senyum gugup. “Saya ingin meneliti jamur-jamur ini. Mereka seperti… menyimpan ingatan.”
Mbah Karta diam lama, pandangannya menerobos ke dalam tanah. “Tanah ini memang tidak pernah lupa. Tapi ingatan tanah kadang pahit. Kau yakin mau mendengarnya?”
Laras terdiam. Pertanyaan itu bukan sekadar peringatan, tapi juga sebuah ujian. Ia mengangguk pelan. “Kalau pahit, tetap harus didengar. Supaya kita tahu apa yang harus diperbaiki.”
Mbah Karta tersenyum miring, seperti orang tua yang tahu anaknya akan menghadapi sesuatu yang berat. “Ya sudah. Hati-hati, Nduk.”
***
Beberapa hari kemudian, Laras menetap di rumah panggung peninggalan orang tuanya di tepi hutan. Di ruang tamu yang beraroma kayu tua, ia memasang alat perekam suara, mikroskop portabel, dan kabel-kabel sensor. Setiap malam ia keluar membawa lampu kepala dan buku catatan, berjalan sendirian di bawah pepohonan.
Suatu malam, saat ia sedang memeriksa spora di pangkal pohon, ia mendengar suara orang mendekat. Seorang lelaki muda dengan jaket hitam muncul, wajahnya cerah penuh rasa ingin tahu.
“Kamu Laras, ya? Peneliti dari kota itu?” tanyanya ramah.
“Iya. Kamu?”
“Aku Raka. Aku sutradara teater. Aku dengar kamu meneliti jamur yang bisa… apa itu? Mengingat?”
Laras terkesiap. “Dari mana kamu tahu?”
“Dari kepala dusun. Aku sedang mencari inspirasi pertunjukan. Katanya kamu punya cerita aneh tentang jamur di hutan.”
Raka duduk di akar pohon, menatap Laras dengan mata berbinar. “Coba ceritakan.”
Laras awalnya ragu, tapi kemudian menjelaskan tentang bagaimana mikoriza di bawah tanah membentuk jaringan rumit, berbagi nutrisi, dan—berdasarkan riset barunya—menyimpan sinyal kimia yang menyerupai memori.
“Kadang ketika jamur berbuah, sinyal itu muncul sebagai cahaya atau getaran yang bisa terekam,” jelasnya.
Raka mengangguk-angguk. “Luar biasa. Bayangkan kalau kita tampilkan ini di panggung. Teater bukan lagi hanya manusia yang bercerita, tapi tanah yang ikut bicara.”
Laras tertawa kecil, getir. “Hati-hati, Mas. Ingatan tanah tidak selalu indah.”
“Justru itu menarik! Teater adalah luka yang dibuka supaya sembuh.”
Kalimat itu membuat Laras terdiam. Luka yang dibuka… Apakah hutan ini memang menyimpan luka sebesar itu?
***
Beberapa hari berikutnya, Raka sering datang ke hutan bersama Laras. Ia membantu memasang lampu-lampu kecil, merekam suara-suara aneh dari tanah. Mereka berdua mulai menemukan pola: ketika spora jamur tertentu ditekan pelan, cahaya berubah menjadi merah samar dan terdengar suara samar seperti orang berlari. Ketika spora lain disentuh, terdengar suara perempuan menyanyi dengan lirih.
Suatu sore, Raka mengajak Laras ke balai desa untuk bertemu warga. Ia mempresentasikan idenya: pertunjukan teater alam, dengan panggung terbuka di tepi hutan, di mana jamur-jamur bercahaya akan menjadi bagian dari pementasan.
“Ini bukan sekadar hiburan,” kata Raka dengan semangat. “Ini cara hutan berbicara pada kita.”
Namun ruangan itu hening. Beberapa warga saling pandang. Seorang ibu tua tiba-tiba berdiri. “Jangan usik hutan itu! Jangan kalian keluarkan suara-suara itu!”
“Kenapa, Bu?” tanya Raka bingung.
Ibu itu menangis, wajahnya basah air mata. “Karena kami pernah berdosa di sana… dan kami sudah berusaha melupakannya.”
Laras menatapnya lekat-lekat. “Apa yang terjadi di masa lalu?”
Tak ada yang menjawab. Suasana tegang. Pak Lurah menutup pertemuan dengan suara berat. “Kalau kalian ingin tetap meneliti, hati-hati. Tanah itu menyimpan rahasia besar.”
***
Malam-malam berikutnya, Laras mendengar lebih banyak suara dari jamur-jamur itu: teriakan, suara api berderak, tangisan anak-anak. Ia mulai menggabungkan potongan-potongan itu dengan cerita samar dari masa kecilnya—tentang suatu masa ketika hutan terbakar hebat dan warga beramai-ramai membuka lahan baru.
Raka semakin bersemangat, justru ketika Laras mulai ketakutan.
“Kita harus tampilkan ini!” seru Raka. “Ini bukan hanya teater, ini pengakuan!”
“Tapi orang-orang di desa belum siap, Raka. Ini luka mereka!”
“Laras… kalau kita terus menutup luka, bagaimana bisa sembuh?”
Laras memejamkan mata. Ia ingat wajah Mbah Karta yang penuh misteri. “Aku butuh bicara dengan Mbah Karta.”
***
Mbah Karta duduk di beranda rumahnya yang sederhana, ditemani suara jangkrik dan nyala lampu minyak. Laras datang dengan langkah gugup.
“Mbah… dulu, hutan ini pernah dibakar, ya?”
Orang tua itu tak langsung menjawab. Ia menghirup asap rokoknya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Iya, Nduk. Dulu, orang-orang ingin cepat kaya. Mereka bakar hutan untuk tanam sawit. Banyak yang mati. Banyak yang hilang.”
“Dan sekarang… tanah ini menyimpan ingatan itu?”
Mbah Karta menatapnya tajam. “Tanah selalu ingat. Jamur-jamur itu akar dari ingatan. Kau korek-korek, luka lama keluar.”
Laras menunduk. “Kalau aku lanjutkan pertunjukan ini… apa salah?”
“Tidak salah kalau niatmu baik. Tapi siapkah kau menampung tangis yang keluar?”
***
Hari pertunjukan tiba. Raka sudah menyiapkan panggung alami dengan lampu redup, kursi-kursi dari batang bambu, dan jamur-jamur bercahaya di sekelilingnya. Warga desa datang dengan rasa penasaran sekaligus takut. Di kejauhan, hutan berkilau seperti menyimpan bintang-bintang kecil.
Pertunjukan dimulai dengan tarian-tarian yang menggambarkan siklus hidup pohon dan jamur. Musik gamelan pelan mengalun. Penonton mengangguk-angguk, tersenyum tipis.
Lalu Raka memberi isyarat. Laras menekan salah satu wadah jamur yang sudah ia pelajari selama berbulan-bulan. Cahaya hijau memancar lebih terang. Suara samar muncul: suara anak-anak bernyanyi. Penonton tertegun.
Jamur berikutnya ditekan. Suara beralih menjadi jeritan. Cahaya berubah merah samar. Penonton saling pandang, mulai gelisah.
Jamur ketiga ditekan. Suara api berderak, teriakan orang-orang, doa-doa yang terputus. Wajah-wajah tua di bangku depan memucat. Seorang bapak berdiri, matanya berkaca-kaca. “Hentikan!” teriaknya. “Cukup!”
Tapi Raka sudah larut dalam momen. “Lihat! Tanah ini bicara! Dengarkan!”
“Apa kau mau membuka aib kami di hadapan semua orang?” bentak yang lain.
“Ini bukan aib, ini kebenaran!” jawab Raka lantang.
Suasana ricuh. Beberapa orang maju hendak mematikan lampu dan memaksa Raka turun dari panggung. Anak-anak menangis, orang-orang berteriak. Laras berdiri di tengah kekacauan, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat Mbah Karta berjalan perlahan ke panggung, tongkatnya menghentak tanah.
“Cukup!” suaranya berat, menguasai malam. “Tanah sudah bicara. Terserah kalian, mau dengar atau tutup telinga.”
Hening mendadak jatuh. Orang-orang terdiam, hanya terdengar suara jangkrik dan napas tersengal. Beberapa orang tua menangis, saling merangkul. Seorang lelaki paruh baya berbisik, “Maafkan kami, hutan… maafkan kami…”
***
Beberapa hari setelah malam itu, desa seperti berjalan di atas bara. Ada yang merasa marah karena luka lama dibuka, ada yang merasa lega karena rahasia tak lagi membebani. Laras duduk di pinggir sungai, matanya menerawang. Raka menghampiri, wajahnya lelah.
“Aku pikir aku sudah melakukan hal yang benar,” kata Raka lirih.
“Benar atau salah, kita sudah membuka pintu,” jawab Laras. “Tapi mereka butuh waktu untuk menerima.”
Mbah Karta datang membawa secangkir kopi. “Tanah tidak marah, Nduk. Ia hanya mengingat. Tugas kalian mendengar dan merawatnya.”
Laras memandang jamur-jamur di tepi sungai yang berpendar pelan. “Mungkin… teater berikutnya bukan untuk membuka luka, tapi untuk membantu mereka sembuh.”
Raka mengangguk, mata penuh tekad baru. “Teater penyembuhan. Ya… aku akan menulisnya.”
Malam itu, di bawah cahaya bintang dan sinar jamur, Laras merasa untuk pertama kalinya ia bukan hanya peneliti, tapi juga bagian dari ingatan tanah itu sendiri.
















