Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

- Editor

Sabtu, 18 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kabut turun lebih cepat dari biasanya pagi itu.
Dari jendela penginapan kayu yang menghadap lembah, Nirmala melihat hamparan pohon salagundi berlapis embun tipis, berkilat seperti sisik perak di bawah cahaya yang belum sempurna. Di bawah sana, suara sungai memantul seperti napas yang menua. Ia menyesap kopi hitam yang sudah dingin, sementara catatan lapangan di pangkuannya terbuka di halaman kosong.

Hari ketiga di Lembah Sirap, dan belum ada satu pun data yang masuk akal.
Sensor suhu yang dipasang kemarin menunjukkan fluktuasi aneh — penurunan suhu drastis di malam hari hanya di area inti hutan. Termometer digital di bawah pohon ketepeng menunjukkan angka yang mustahil: 11°C, padahal lembah itu seharusnya tak pernah sedingin itu, bahkan di musim hujan.

Bima mengetuk pintu, membawa kamera dan GPS. “Bu Nirmala, sinyal lagi hilang. Dari semalam, alat-alat ini kayak mati semua.”
“Coba ganti baterainya.”
“Sudah. Bahkan jam tangan saya juga berhenti.”
Nirmala hanya mengangguk, tanpa menatap. Ia sudah menduga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ada sesuatu di lembah itu yang menolak untuk dipetakan.

Ia datang ke sini bukan karena rasa ingin tahu belaka. Dua bulan sebelumnya, laporan tentang hutan “kebal tebang” dari Lembah Sirap membuatnya dikirim oleh lembaga konservasi tempatnya bekerja. Peta udara menunjukkan bahwa di tengah kawasan yang rusak parah akibat pembalakan, masih tersisa satu petak hutan dengan vegetasi sangat rapat. Anehnya, semua upaya pembukaan lahan di sekitar area itu selalu gagal: alat berat mogok, operator jatuh sakit, atau jalan akses tiba-tiba longsor.
Cerita-cerita warga menyebutnya “hutan yang menolak mati.”

Ketika pertama kali mendengar nama itu, Nirmala tersenyum sinis. Ia tidak percaya pada mitos. Tapi saat menatap lembah dari menara pengamatan sore itu, senyumnya mengendur. Ada sesuatu dalam keheningan hutan itu yang terlalu hidup.

Pak Ranu, kepala dusun yang menjemput mereka di terminal, sempat berkata dengan nada setengah berbisik, “Jangan lama-lama di tengah hutan, Bu. Nanti dia tahu.”
“Dia siapa?”
Pak Ranu hanya tersenyum, tanpa menjawab.

Menjelang siang, Nirmala dan Bima turun ke lokasi plot penelitian. Jalan setapak menuju hutan lembap dan beraroma tanah busuk bercampur daun muda. Liana menjuntai seperti urat halus, menyentuh bahunya setiap kali ia lewat.
“Lihat, Bu,” kata Bima, menunduk pada batang pohon beringin besar yang ditumbuhi jamur pucat, mirip telinga manusia. “Ini jamurnya belum pernah saya lihat.”
Nirmala menatapnya sebentar. “Ambil sampelnya, tapi jangan cabut semua. Sisakan satu di tempatnya.”

Ia teringat ucapan profesor tuanya di Yogya dulu: Hutan bukan kumpulan pohon, tapi organisme besar dengan banyak wajah.
Dulu ia kira itu kiasan puitis. Sekarang, kalimat itu terdengar seperti peringatan.

Setiap kali mereka melangkah lebih dalam, suara hutan berubah — mula-mula riuh oleh jangkrik, kemudian tiba-tiba sunyi seperti disedot. Udara menjadi dingin, lembap menempel di tengkuk. Saat itulah Nirmala merasa sesuatu yang aneh: langkah mereka seolah tak pernah menjauh dari sungai, meski arah GPS menunjukkan sebaliknya.

“Bu, kita muter-muter ya?”
“Diam sebentar.”
Ia berjongkok, menempelkan telapak tangannya ke tanah. Dingin. Tapi ada denyut halus di sana, samar seperti getaran serangga di dalam tanah. Ia menatap Bima.
“Kau dengar sesuatu?”
Bima menggeleng, tapi wajahnya tegang. “Saya cuma ngerasa kayak ada yang ngikutin, Bu.”

Nirmala berdiri lagi, menatap pepohonan yang berdiri rapat.
“Bukan kita yang meneliti hutan ini,” katanya pelan. “Mungkin dia yang sedang meneliti kita.”

Sore hari, mereka kembali ke penginapan dengan tubuh lelah dan pikiran yang berat. Di meja kerja, laptop Nirmala menyala sendiri, menampilkan file log dari alat perekam suhu di lapangan. Angka-angka di layar bergerak sendiri, berulang seperti ritme napas: naik—turun—naik—turun. Lalu berhenti pada satu baris teks yang tidak seharusnya muncul di data suhu:

“Jangan ubah keseimbangannya.”

Bima tertawa gugup saat melihatnya. “Itu error sistem, kan, Bu?”
Nirmala tidak menjawab. Matanya menatap barisan angka yang membeku, seperti menatap pesan lama dari sesuatu yang tak kasatmata.

Malam itu ia sulit tidur. Di luar jendela, hutan tampak gelap total, tak ada kunang-kunang, tak ada suara burung malam. Hanya bisikan halus dari arah lembah, seolah tanah sedang bernapas.
Ia teringat ayahnya — penebang kayu yang hilang dua puluh tahun lalu di hutan lain, hutan yang barangkali sama seperti ini: hidup, tapi tak ingin disentuh.

Sebelum memejamkan mata, Nirmala menulis satu kalimat di buku catatannya:

“Mungkin hutan tidak pernah butuh kita untuk menjaganya. Mungkin yang hutan inginkan hanya agar kita berhenti mengganggunya.”

Hujan turun deras sepanjang pagi.
Nirmala menatap lereng bukit dari teras penginapan yang sudah setengah diselimuti kabut. Air turun dari genting dalam ritme yang teratur seperti denyut jantung yang sedang berpacu. Semua suara di luar tertelan oleh deru hujan, kecuali satu: ketukan perlahan di dinding belakang, seperti seseorang sedang menunggu izin masuk.

Saat ia periksa, tak ada siapa pun di sana — hanya akar pohon ara yang menjalar menempel ke dinding kayu, basah dan menggeliat seolah hidup. Ia memegang salah satunya, dan entah kenapa, terasa hangat.

Ketika Bima datang dengan setumpuk hasil sampel, ia berkata, “Bu, semua akar yang saya gali punya lapisan jamur yang sama, menyambung satu sama lain. Seperti jaringan.”
“Mikoriza,” jawab Nirmala cepat. “Jamur yang membantu akar menyerap nutrisi.”
“Ya, tapi ini… terlalu teratur. Seperti mereka saling kirim sinyal, Bu.”
“Semua hutan melakukannya.”
“Tidak, Bu. Ini beda. Saya taruh dua sensor suhu di dua titik berbeda, 300 meter jaraknya. Kalau salah satu saya sentuh, yang satu lagi berubah juga.”

Nirmala berhenti menulis. Ia menatap wajah Bima yang pucat.
“Artinya?”
“Artinya akar di seluruh hutan ini terhubung seperti satu organisme besar. Kalau satu bagian terganggu, seluruh sistem bereaksi.”

Hening panjang membentang di antara mereka, hanya suara hujan menetes di talang. Nirmala tahu, penemuan seperti itu bisa jadi revolusioner — tapi juga berbahaya. Jika hutan benar-benar bereaksi terhadap ancaman, bagaimana jika yang dianggap ancaman adalah manusia?

Menjelang sore, mereka mendaki kembali ke area inti hutan. Jalur licin, tapi udara di sana terasa berbeda — lebih segar, tapi juga lebih berat.
Pak Ranu menunggu mereka di pos batas, membawa termos teh panas.
“Bu, lebih baik jangan lanjut. Hujan begini, banyak tanah bergerak,” katanya pelan.
“Kami cuma mau ambil data beberapa menit.”
Pak Ranu menghela napas panjang. “Dulu ayahmu juga bilang begitu.”

Nirmala menoleh cepat.
“Bapak kenal ayah saya?”
Orang tua itu menatapnya lama, seperti menimbang sesuatu. “Namanya Sarman, bukan? Penebang yang hilang dua puluh tahun lalu di hutan utara?”
Dunia di sekitar Nirmala terasa menyempit.
“Iya. Dari mana Bapak tahu?”
Pak Ranu menatap lembah yang berkabut. “Dia orang baik. Waktu itu saya ikut rombongan yang mencari. Kami tak menemukan jasadnya. Tapi sejak hari itu, hutan di sini mulai berubah. Dulu daun-daunnya cepat gugur, tanahnya kering. Setelah dia hilang… hutan jadi hijau lagi.”

“Bapak maksud apa?”
“Kadang hutan tidak menolak semua manusia. Ada yang dia ambil, supaya hidupnya tetap seimbang.”

Nirmala terpaku. Kata-kata itu menempel di pikirannya seperti spora jamur di batang lembab.

Malamnya, Nirmala menyalakan perekam suara. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa semua ini hanya kebetulan ekologis, tidak lebih. Tapi ketika ia memutar hasil rekaman dari siang tadi, suaranya bukan hanya gemerisik daun. Ada sesuatu di sela-sela frekuensi rendah: bunyi seperti tarikan napas panjang, dalam, serentak dari banyak arah.

Bima menatap layar laptop, membesarkan spektrum suaranya.
“Itu bukan hewan, Bu. Bukan angin juga.”
Nirmala mendekat, menatap gelombang suara yang menari di layar. Polanya terlalu teratur — naik, turun, lalu berhenti sejenak, lalu naik lagi.
“Kalau ini bukan hewan,” katanya perlahan, “mungkin ini napas hutan.”

Dua hari kemudian, rombongan dari lembaga konservasi datang membawa kabar: proyek ekowisata resmi dimulai. Jalur pendakian, menara pandang, dan pusat edukasi akan dibangun di sekitar kawasan inti.
“Ini cara kita menjaga hutan,” kata salah satu pejabat muda yang terlalu rapi untuk medan berlumpur. “Kalau warga ikut mendapat manfaat ekonomi, mereka akan ikut melindungi alam.”

Nirmala ingin menjawab, tapi tenggorokannya kering. Ia tahu pola itu — proyek yang diawali dengan niat baik, lalu perlahan menggerus keseimbangan ekosistem.
“Kalau hutan ini benar-benar satu sistem,” pikirnya, “pasti dia akan bereaksi.”

Dan reaksinya datang lebih cepat dari yang ia duga.

Malam itu, hujan kembali turun. Di tengah derasnya air, Nirmala terbangun oleh suara dentuman berat — seperti batang besar tumbang. Ia keluar berlari ke beranda, menyorotkan senter ke arah lereng. Jalan utama menuju lokasi proyek terputus total: longsor besar menelan separuh bukit. Di bawah cahaya petir, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir: akar-akar pohon menjulur keluar dari tanah longsor, bukan ke bawah, tapi ke arah atas — seolah mencari udara, atau… menolak sesuatu.

Bima berlari dari kamar sebelah. “Bu, semua alat kita rusak! Laptop, sensor, kamera, semua mati!”
Nirmala tak menjawab. Dalam cahaya kilat berikutnya, ia melihat wajah hutan yang baru — bukan hijau, bukan cokelat, tapi hitam dan berdenyut.

Seolah hutan itu sedang bangun.

Pagi harinya, rombongan proyek tidak muncul. Jalur dari kota tertutup lumpur. Warga desa mengatakan mereka mendengar suara seperti ratusan pohon bernafas semalaman. Pak Ranu datang membawa kabar:
“Bu, sungai berubah arah. Airnya masuk lagi ke tengah hutan. Hutan itu menutup dirinya.”

Nirmala menatap lembah yang kini tampak seperti kabut cair. Ia tahu, tak lama lagi lembaganya akan mengirim tim penyelidik lain, mungkin dengan alat lebih canggih, lebih banyak. Tapi bagian dalam dirinya, yang dulu percaya hanya pada data dan bukti, kini mulai goyah.

Ia menulis di buku catatannya:

“Keseimbangan bukanlah kondisi statis. Ia bertahan karena sesuatu yang hidup, yang tahu kapan harus memberi, kapan harus mengambil.”

Kabut belum juga naik dari lembah ketika Nirmala mulai berjalan sendirian ke arah hutan inti.
Ia tak memberi tahu Bima, juga tak berpamitan pada Pak Ranu. Ia hanya membawa ransel kecil berisi buku catatan, pisau lapangan, dan satu botol air.
Langkahnya berat, tapi hatinya anehnya tenang — seperti orang yang kembali ke rumah setelah lama tersesat.

Di batas hutan, udara berubah.
Sunyi bukan lagi ketiadaan suara, tapi kepadatan yang menekan dada. Setiap langkah terasa seperti menapaki dada makhluk raksasa yang sedang tidur. Akar-akar menggembung dari tanah, berpilin seperti urat nadi.
Nirmala menatap pepohonan tua yang menjulang. Batang-batangnya tampak menghitam, tapi bila diamati, di bawah permukaannya tampak kilau halus—seperti sesuatu sedang bergerak di dalam kayu.

Ia menempelkan telapak tangannya pada kulit batang itu.
“Kalau kau benar-benar hidup,” bisiknya, “tunjukkan caramu bernafas.”

Tidak ada angin, tidak ada getar. Tapi perlahan daun-daun di sekelilingnya bergetar lembut, lalu tanah di bawah kakinya berdenyut sekali, pelan, lalu berhenti.
Hutan menjawabnya — bukan dengan suara, melainkan dengan napas.

Di tengah perjalanan, ia menemukan sesuatu yang tidak pernah ia catat di peta: celah tanah menyerupai gua, dari mana udara dingin mengalir ke luar. Aroma humus dan getah begitu kuat hingga memabukkan. Ia masuk perlahan, menyalakan senter.
Di dalam, akar-akar menjuntai seperti tirai. Di antara akar itu tumbuh jamur pucat, berjajar dalam pola melingkar sempurna. Di tengah lingkaran itu, sepotong kayu lapuk tegak berdiri, terbungkus lumut.
Ia mendekat — dan menyadari, itu bukan batang kayu. Itu serpihan gagang kapak.

Tangannya bergetar.
Ia mengenali ukiran kecil di gagang itu: huruf S yang dulu sering ia lihat di perkakas ayahnya.

Hutan ini, pikirnya, bukan kebetulan.
Ia datang ke sini bukan sebagai peneliti, tapi sebagai utusan dari sesuatu yang belum selesai dua puluh tahun lalu.

Ia berlutut, menatap akar-akar yang melingkar rapat di sekitarnya.
“Mungkin ini caramu menjaga ayahku,” katanya pelan. “Dan mungkin sekarang kau ingin aku berhenti mengganggumu.”

Dalam keheningan itu, ia mendengar sesuatu — bukan suara, melainkan semacam kesadaran yang menembus pikirannya: tenang, besar, dan tua sekali.

Keseimbangan tidak butuh penjelasan.
Yang kau sebut penelitian hanyalah bahasa lain dari keinginan untuk menguasai.
Kami tak butuh penjaga. Kami hanya butuh waktu.

Air mata jatuh tanpa ia sadari. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kecil — benar-benar kecil. Semua teori tentang ekosistem, simbiosis, adaptasi — seketika menjadi bahasa yang terlalu sempit untuk menjelaskan apa yang sedang memeluknya kini.

Ketika ia keluar dari gua, kabut sudah menipis.
Di kejauhan, ia melihat Bima berlari ke arahnya, membawa radio komunikasi yang mati total.
“Bu! Jalur ke desa hilang! Semua tanda batas tertutup tanaman baru. Kita harus keluar sekarang!”
Nirmala menatapnya, lalu memandang hutan di belakangnya. “Tidak, Bima. Kita sudah di tempat yang seharusnya.”

Bima menatapnya bingung. “Maksudnya?”
“Kadang keseimbangan tidak bisa dijaga dengan pergi. Kadang, kita harus tinggal.”

Ia menurunkan ranselnya, mengeluarkan catatan lapangan, lalu menulis satu kalimat terakhir sebelum menyerahkannya pada Bima.

“Jika suatu hari kau kembali, dengarkan dulu hutan sebelum melangkah.”

Bima berteriak memanggilnya ketika Nirmala berjalan lebih dalam ke arah lembah, tapi suaranya tenggelam di antara pepohonan.
Beberapa saat kemudian, kabut turun lagi — dan ia tak terlihat.

Tiga minggu setelah itu, tim pencarian datang. Mereka menemukan alat perekam Nirmala di dekat batang besar yang telah tumbang. Tak ada jasad, tak ada jejak.
Namun di rekaman terakhir, tepat sebelum baterai habis, terdengar suara pelan — ritmis dan dalam, seperti napas ratusan dada yang berbarengan. Lalu sebuah suara perempuan berbisik:

“Keseimbangan bukan untuk dijaga. Ia untuk dihidupi.”

Setahun kemudian, hutan Lembah Sirap dinyatakan sebagai kawasan konservasi tertutup. Tidak ada proyek ekowisata, tidak ada jalan baru. Anehnya, tanpa perawatan manusia, seluruh ekosistemnya tumbuh lebih lebat dari sebelumnya.
Orang-orang yang lewat di jalan dekat lembah kadang mengaku mendengar suara perempuan bernyanyi samar dari arah pepohonan.
Dan setiap kali angin turun dari gunung membawa aroma tanah basah, warga setempat akan berkata dengan nada setengah percaya:

“Hutan itu sudah menemukan penyeimbangnya.”

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Cerpen: Pulau Kromosom
Teater Spora: Jamur yang Mengingat
Benih dari Masa Depan
Cerpen: Mata Rimba
Cerpen: Taman di Dalam Taman
Cerpen: Kota di Bawah Masker
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 13:23 WIB

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 12:10 WIB

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Selasa, 29 Juli 2025 - 17:00 WIB

Cerpen: Pulau Kromosom

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:44 WIB

Teater Spora: Jamur yang Mengingat

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB