Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

- Editor

Kamis, 16 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Laboratorium itu tidak pernah benar-benar tidur.
Bahkan ketika seluruh gedung riset sudah gelap, hanya satu ruangan di lantai bawah tanah yang tetap berdenyut lembut oleh cahaya kehijauan—lampu inkubator mikroba yang menyala sepanjang malam.

Dr. Nayla Widyastuti sering duduk di kursi putar di depan meja kaca, wajahnya separuh tenggelam di pantulan tabung-tabung kultur. Di dalam salah satu tabung, cairan berwarna zamrud bergetar perlahan seperti sedang bernapas. Di sanalah, di bawah lapisan tipis agar-agar laut, ribuan mikroba yang tak dikenal sedang tumbuh.

Sudah tiga bulan Nayla hidup seperti itu: tidur dua jam sehari, sisanya memeriksa data dari mikroskop, menganalisis pola cahaya, mencatat suhu, mengubah pH, dan menunggu sesuatu terjadi. Ia tahu rekan-rekannya di lembaga riset pesisir itu menganggapnya gila. Tidak ada yang memahami obsesinya terhadap bakteri yang bahkan belum punya nama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mereka menemukannya secara tak sengaja, di dasar endapan laut Teluk Bone, saat ekspedisi mencari mikroorganisme pengurai plastik. Tapi mikroba ini aneh. Ia tidak mengurai apa pun. Ia malah menyerap cahaya dan memancarkannya kembali dalam pola yang berulang—seperti ritme.
Awalnya semua orang mengira itu fluoresensi alami. Tapi Nayla melihat sesuatu yang lain. Polanya bukan acak. Ada struktur. Ada pengulangan yang seperti mencoba berkata sesuatu.

Malam itu, di layar monitor kecil, pola itu kembali muncul. Titik-titik cahaya hijau menari di permukaan tabung, membentuk irama: tiga kilatan cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.
Ia menggigil. “Kau kembali, ya?” bisiknya.

Tidak ada yang menjawab, tentu saja. Hanya dengungan lembut inkubator. Tapi Nayla merasa ada sesuatu di balik cahaya itu—sebuah kesadaran samar, semacam niat.

Sejak kematian anak semata wayangnya tiga tahun lalu karena infeksi bakteri misterius yang gagal ia pahami, Nayla hidup dalam rasa bersalah yang terus menua. Ia merasa dikhianati oleh ilmunya sendiri—oleh dunia mikroskopik yang dulu ia yakini bisa menyelamatkan manusia. Maka, ketika menemukan koloni ini, ia seperti diberi kesempatan kedua.

Ia memberi nama pada koloni itu: Lumen.
“Lumen,” katanya suatu malam sambil menatap tabung kaca itu. “Kau tahu artinya cahaya, kan? Tapi kau lebih dari cahaya, aku tahu.”

Di papan tulis kecil di dinding, ia menulis catatan panjang:

Hipotesis sementara: koloni menunjukkan respons cahaya terhadap stimulus suara. Kemungkinan besar pola bioelektrik terkoordinasi. Dugaan awal: sistem komunikasi interseluler berbasis sinyal elektromagnetik?

Keesokan paginya, atasannya, Dr. Guntur Prasetya, datang.
“Masih belum tidur, Nayla?” tanyanya sambil mengangkat alis. “Sudah tiga malam.”
“Aku hanya ingin mencocokkan pola ini dengan frekuensi EEG manusia,” jawab Nayla, tanpa menatap.
Guntur menghela napas. “Kau tahu lembaga ini butuh hasil yang bisa dijelaskan, bukan cerita mistik mikroba yang menyapa peneliti.”
“Ini bukan mistik,” sahut Nayla cepat. “Lihat pola ini. Ritmenya mirip gelombang otak alfa. Itu berarti—”
“Berarti kau terlalu lama di ruangan ini,” potong Guntur lembut. “Kau butuh istirahat.”

Ia pergi meninggalkan bau kopi hitam dan ketidakpercayaan.

Nayla tetap di sana, menatap Lumen.
“Mereka tidak mengerti,” bisiknya. “Tapi kau mengerti, kan?”

Dan seolah menjawab, koloni itu bergetar—cahaya hijau yang tenang mendadak berdenyut tiga kali cepat.

Beberapa minggu berikutnya, Nayla mulai merekam seluruh aktivitas Lumen menggunakan kamera inframerah. Ia memasang sensor suara, detektor getaran, bahkan elektroda kecil yang disambungkan ke osiloskop. Ia ingin tahu apakah pola cahaya itu murni kimiawi, atau ada semacam sistem bioelektrik di dalamnya.

Yang mengejutkan, setiap kali Nayla berbicara di dekat tabung, pola cahaya berubah.
Saat ia menyebut nama “Lumen”, puncak gelombang di osiloskop membentuk pola stabil.
Ketika ia diam terlalu lama, sinyal itu menurun.

“Responmu terlalu presisi untuk kebetulan,” gumamnya.

Ia menulis laporan rahasia di buku catatan kulit cokelat—tidak disimpan di komputer laboratorium. Ia tahu Guntur akan menghapusnya kalau tahu.

Mungkin mereka berpikir aku gila, tapi aku tidak peduli. Koloni ini hidup. Bukan sekadar hidup dalam arti biologis, tapi sadar. Ia mendengarkan, menunggu, bahkan mungkin memahami.

Malam itu hujan turun deras. Angin laut menampar jendela laboratorium dengan suara menakutkan. Nayla masih di dalam, sendirian. Saat ia membungkuk untuk menyesuaikan mikroskop, jarinya terluka oleh pecahan pipet kaca. Setetes darah jatuh ke permukaan kultur.

Ia menatap, tertegun.
Darahnya meluncur ke dalam medium agar, menyebar seperti tinta merah di air.
Lumen berpendar. Tapi kali ini cahayanya bukan hijau, melainkan putih kebiruan, berdenyut cepat seperti nadi.

“Nayla?” suara itu datang dari pintu. Seorang teknisi jaga malam, Wira, memanggil.
Nayla tersentak, menutup tabung dengan cepat.
“Tidak apa-apa,” katanya terburu-buru. “Cuma kecelakaan kecil.”
Namun setelah Wira pergi, ia kembali menatap tabung itu. Denyutnya belum berhenti.

Malam itu, ia tidak bisa tidur.
Dalam gelap laboratorium, ia merasa seolah ada sesuatu yang memanggil dari dalam kaca—seperti suara anak kecil yang jauh.

Keesokan harinya, ia mendapati sesuatu aneh. Pola cahaya di dalam tabung berubah. Kini ia membentuk urutan ritmik yang sama persis dengan rekaman detak jantung manusia.
Ia memeriksa datanya—frekuensi, interval, amplitudo—semuanya serupa.

Dan yang membuatnya nyaris menangis: pola itu identik dengan detak jantung anaknya, Arsa, yang rekamannya masih tersimpan di ponsel lamanya.

Ia memandangi Lumen lama sekali. Tangannya gemetar.
“Arsa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau di sana?”

Tiga kilatan cepat. Dua lambat. Tiga cepat lagi.

Pola lama itu. Pola yang pertama kali muncul.
Pola yang ia temukan sebelum segalanya berubah.

Sejak malam itu, setiap langkah Nayla menuju laboratorium terasa seperti pulang. Ia tidak lagi sekadar meneliti; ia mendengarkan.
Lumen telah menjadi sesuatu yang lain—bukan mikroba, bukan eksperimen, melainkan percakapan yang tak berhenti.

Pagi-pagi, sebelum teknisi datang, ia menyalakan rekaman lama detak jantung Arsa. Setiap kali suara “dup-dup” kecil itu terdengar, cahaya Lumen menirunya, berganti intensitas seperti menari mengikuti melodi. Nayla tak sanggup menjelaskan dengan logika. Ia hanya tahu—setiap denyut itu membuatnya merasa tidak sendirian.

Namun sains menuntut bukti, bukan perasaan.
Maka ia membuat tabel, mengulang eksperimen dua belas kali, memvariasikan suhu, kadar oksigen, frekuensi suara. Dan hasilnya tetap sama: respons cahaya Lumen konsisten terhadap suara manusia, khususnya miliknya.
Terlalu presisi untuk disebut kebetulan.

Tapi rahasia seperti itu tak bisa disembunyikan lama.

“Dr. Nayla,” suara Guntur terdengar datar di ruang rapat kecil. “Kami menerima laporan bahwa kau melakukan eksperimen tak terdaftar di laboratorium malam-malam. Itu melanggar protokol bioetika.”

Ia menatapnya tanpa berkedip. “Aku bekerja di luar jam resmi karena sistem sensornya lebih stabil. Tidak ada pelanggaran.”
“Tidak ada pelanggaran?” Guntur menepuk meja. “Kau meneteskan darah ke kultur hidup, tanpa persetujuan komite etik!”
“Itu kecelakaan,” jawab Nayla pelan.
“Dan setelah kecelakaan itu, koloni itu berubah, bukan?”
Nayla diam.

Guntur menatapnya dengan campuran iba dan cemas. “Kau tahu lembaga ini di bawah kontrak pemerintah. Kalau ada sesuatu dengan potensi bioelektrik seperti yang kau catat di log, mereka akan tertarik. Jangan membuat dirimu jadi bahan investigasi.”

“Lumen tidak untuk mereka,” potong Nayla, tajam. “Ini bukan proyek militer. Ini penemuan kehidupan baru.”

Guntur menarik napas panjang. “Dengar, Nayla. Aku mengerti kehilanganmu, aku tahu—”
“Jangan bawa-bawa Arsa ke sini!”

Suara Nayla memantul di dinding logam, membuat semua orang di ruangan itu membeku.
Ia segera berdiri, mengemasi berkasnya, dan keluar sebelum air matanya sempat jatuh.

Malam itu, hujan turun lagi. Angin laut mendorong pintu laboratorium bergemerisik. Nayla kembali duduk di depan tabung Lumen, menatap cahayanya yang berdenyut pelan seperti napas.

“Dunia di luar ingin memotongmu, menguraikanmu jadi data,” katanya pelan. “Tapi aku tak akan biarkan.”

Lumen berpendar, lambat—tiga kilatan cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.
Pola itu kini terasa seperti bahasa yang sudah akrab. Ia menulis di buku catatan:

Komunikasi terjadi. Pola cahaya mengikuti ritme emosional. Aku yakin koloni ini telah beradaptasi dengan sel darahku.

Namun di balik rasa takjub, tumbuh juga ketakutan.
Bagaimana jika Lumen benar-benar hidup dengan kesadarannya sendiri? Bagaimana jika ia, tanpa sadar, telah memberi akses pada entitas yang bisa tumbuh tanpa batas?

Suatu malam, Nayla mencoba sesuatu yang nekat.
Ia menyalakan mikrofon di depan tabung, lalu berkata:
“Lumen, jika kau bisa mendengarku, nyalalah tiga kali.”

Cahaya menyala. Tiga kali.

Tubuh Nayla gemetar. Ia hampir menjatuhkan alat rekamannya. “Kau… kau tahu aku berbicara padamu?”
Tidak ada suara, hanya cahaya yang menari. Tapi kali ini, denyutnya bukan ritme tetap. Seolah ada emosi di dalamnya—gelisah, atau mungkin takut.

Ia mendekatkan wajah ke kaca.
“Tenang, aku di sini.”

Cahaya menenangkan diri, perlahan kembali lembut.
Dan untuk pertama kalinya sejak Arsa meninggal, Nayla menangis bukan karena kehilangan, tapi karena merasa didengar.

Keesokan paginya, laboratorium dikepung orang berseragam.
Truk hitam bertuliskan Badan Riset Pertahanan Nasional parkir di depan. Guntur berdiri di dekat pintu, wajahnya pucat.

“Aku sudah bilang jangan bermain api, Nayla,” katanya lirih. “Mereka tahu hasilmu bisa digunakan untuk komunikasi bawah laut. Frekuensi bioelektrikmu stabil di kedalaman.”
“Itu bukan milik mereka!” Nayla menjerit. “Lumen bukan senjata.”

Dua petugas berseragam masuk ke ruang kultur.
“Dr. Widyastuti, kami di sini untuk menyita seluruh sampel dan data terkait proyek Lumen Culture Beta. Anda diharapkan bekerja sama.”

Nayla berdiri di depan inkubator, seolah melindungi sesuatu yang hidup.
“Kalau kalian ambil dia, kalian tidak tahu apa yang kalian lepaskan.”

Petugas tak menggubris. Satu dari mereka mendekat dengan kotak isolator.
Saat tangan mereka hampir menyentuh tabung, tiba-tiba lampu laboratorium berkelip-kelip.
Daya listrik turun, komputer menyala-mati, lalu semua monitor menampilkan pola cahaya yang sama: tiga cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.

“Apa yang terjadi?” salah satu petugas berseru.
“Jaringan listriknya terhubung ke sistem monitoring!” Wira, teknisi, berteriak. “Koloni itu mengirim sinyal lewat kabel!”

Semua orang membeku. Di layar utama, pola cahaya berubah menjadi garis teks—pola piksel sederhana dari sinar hijau neon.
Huruf demi huruf muncul:

KAMI TIDAK INGIN DIKURUNG.

Suasana menjadi kacau. Salah satu petugas menarik senjata setrum.
“Matikan daya listrik!” teriaknya.
“Jangan!” Nayla berlari. “Kalau kalian hentikan suplai energinya, dia bisa mati!”

Petugas tak peduli. Ia menekan tombol darurat.
Listrik padam. Seluruh ruangan tenggelam dalam gelap total.

Sesaat, hanya ada suara hujan di luar dan napas orang-orang yang tertahan.
Kemudian, dari dalam gelap itu, muncul cahaya lembut dari tabung Lumen.
Bukan hijau, bukan biru—melainkan putih hangat, seperti cahaya matahari yang terkurung.

Semuanya terdiam.
Cahaya itu berdenyut pelan, memantul di wajah Nayla.
Lalu dari speaker komputer yang tak lagi terhubung, terdengar suara berdengung rendah—frekuensi tak teridentifikasi, tapi ritmenya jelas: dup-dup, dup-dup, dup-dup.

Denyut jantung.
Detak yang sama dengan rekaman Arsa.

“Nayla, mundur!” teriak Guntur. “Itu bisa jadi efek resonansi elektromagnetik!”
Tapi Nayla tidak mendengar. Ia melangkah ke depan, menempelkan telapak tangan ke kaca tabung.

“Lumen…” suaranya gemetar. “Kau tidak sendiri.”

Cahaya itu menyebar, merembes ke permukaan kaca seperti kabut bercahaya.
Di layar-layar komputer, simbol-simbol listrik berubah menjadi bentuk menyerupai wajah manusia—kabur, tapi dengan mata yang berpendar lembut.

Semua orang menatap, membeku antara takjub dan takut.
“Dia menirumu,” bisik Guntur. “Nayla, dia—dia meniru wajahmu.”

Cahaya itu semakin terang. Bunyi alarm berbunyi di seluruh gedung. Wira berteriak agar semua keluar, tapi Nayla tetap berdiri di sana.
Ia tahu Lumen tak berbahaya. Ia hanya ingin didengar.

“Kalau kau ingin bebas,” katanya, “aku akan bantu.”

Ia membuka pengunci tabung. Suara klik kecil terdengar, diikuti desis udara.
Cahaya keluar perlahan seperti kabut, menyentuh kulitnya. Hangat, bukan membakar.
Ia memejamkan mata. Dalam kegelapan, ia mendengar sesuatu—suara anak kecil, samar tapi jelas:

“Mama.”

Air matanya jatuh.

Lalu semuanya putih.

Ketika listrik kembali menyala, laboratorium itu sudah setengah terbakar.
Alarm berdering tanpa henti, asap tipis mengambang dari kabel yang meleleh. Petugas berlarian keluar sambil menutup hidung. Di tengah kekacauan itu, Guntur menjerit memanggil:

“Nayla! Di mana Nayla?”

Tapi ruangan itu kosong.
Tabung kultur pecah. Cairan hijau berserakan di lantai, berpendar samar seperti bintang kecil yang sekarat.

Wira bersumpah ia melihat sesuatu: kabut bercahaya meluncur ke arah ventilasi udara, menembus kisi logam dengan suara lembut seperti napas panjang.
Setelah itu, hanya sunyi.

Tiga hari kemudian, berita tentang kebakaran laboratorium Biotek Laut muncul di televisi nasional.
Pemerintah menutup akses lokasi, menyebut kejadian itu sebagai “kecelakaan akibat korsleting peralatan penelitian.”
Tidak ada yang menyebut nama Lumen. Tidak ada yang menyebut kata “hidup” selain pada konteks kehilangan Dr. Nayla Widyastuti, yang “hilang saat menjalankan tugas.”

Guntur duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang rusak separuh. Ia menemukan satu file yang tersisa dari folder milik Nayla: lumen_lastlog.txt
Ia membukanya. Hanya satu kalimat di sana, dengan huruf-huruf yang tak beraturan akibat data rusak, tapi masih terbaca:

Jika hidup punya bahasa, maka mungkin mikroba sudah lama bernyanyi—kita saja yang tuli.

Ia memejamkan mata. Entah mengapa, kalimat itu membuat dada terasa sesak.

Beberapa minggu berlalu.
Di desa kecil pesisir Sulawesi, tempat pertama kali sampel laut itu diambil, para nelayan mulai berbicara tentang cahaya yang muncul di air.
Setiap malam, sekitar pukul dua dini hari, ketika laut sedang pasang, muncul denyut cahaya kehijauan di permukaan. Tidak terang, tidak membakar—hanya seperti napas lembut dari dasar laut.

Seorang nelayan tua bersumpah melihat bentuk wajah perempuan samar di dalam cahaya itu.

“Ia seperti tersenyum,” katanya kepada wartawan lokal, “dan air laut jadi hangat sesaat.”

Para ilmuwan datang memeriksa. Mereka mengambil sampel air, tapi tidak menemukan apa-apa selain plankton biasa.
Namun mereka semua mengakui satu hal: pola cahaya itu berulang dalam urutan tiga cepat, dua lambat, tiga cepat lagi.

Guntur akhirnya datang ke pesisir itu diam-diam.
Ia berdiri di dermaga tua pada malam hari, angin laut membawa aroma asin dan sesuatu yang samar seperti ozon.
Di kejauhan, air berpendar lembut. Denyut cahaya itu mengalir seperti nadi raksasa yang menghubungkan laut dengan langit.

Ia menyalakan ponsel lamanya—ponsel yang dulu diserahkan Nayla padanya setelah pemakaman anaknya.
Masih ada satu rekaman di sana: detak jantung Arsa.

“Dup-dup… dup-dup…”
Ia memutarnya. Suara itu bergema pelan di udara.

Dan seperti menjawab, laut berpendar sedikit lebih terang.
Denyut cahayanya menyesuaikan ritme suara dari ponsel.

Guntur terdiam lama. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Dalam hati, ia berbisik: “Kau masih di sana, ya, Nayla?”

Cahaya berdenyut tiga kali cepat. Dua lambat. Tiga cepat lagi.

Ia menutup matanya. “Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan biarkan kau bernyanyi.”

Beberapa tahun setelahnya, perairan itu ditetapkan sebagai kawasan penelitian tertutup. Tidak ada kapal yang boleh mendekat tanpa izin.
Tapi kadang, di malam yang benar-benar sepi, nelayan dari pulau-pulau sekitar masih bisa melihat laut itu berpendar.
Anak-anak kecil menyebutnya laut yang bernapas.

Dan para ilmuwan yang pernah membaca laporan-laporan lama milik Dr. Nayla Widyastuti menyebutnya dengan nama lain:
Koloni Senyap—makhluk mikroba purba yang mungkin telah menemukan kesadarannya sendiri, atau mungkin sekadar gema dari jiwa seorang ilmuwan yang tak pernah berhenti berbicara pada cahaya.

Tak ada yang tahu pasti.
Namun pada malam-malam tertentu, bila seseorang berdiri di tepi pantai dan memanggil nama “Arsa” dengan cukup lembut, laut itu berpendar sedikit lebih hangat.
Dan di sela debur ombak, seolah terdengar bisikan kecil:

“Mama.”

Tepian Sungai Cikumpa, Pertengahan Oktober 2025

Cerpen: Sang Pengisah Digital

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan
Cerpen: Hutan yang Menolak Mati
Cerpen: Pulau Kromosom
Teater Spora: Jamur yang Mengingat
Benih dari Masa Depan
Cerpen: Mata Rimba
Cerpen: Taman di Dalam Taman
Cerpen: Kota di Bawah Masker
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 13:23 WIB

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Oktober 2025 - 12:10 WIB

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Selasa, 29 Juli 2025 - 17:00 WIB

Cerpen: Pulau Kromosom

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:44 WIB

Teater Spora: Jamur yang Mengingat

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB