Kabut tipis pagi itu bergelayut di atas lembah Meratus. Embun menggantung di daun rumbia, dan dari kejauhan suara burung enggang sesekali memecah keheningan. Hutan masih dalam keadaan basah setelah hujan semalam, ketika Alya menapakkan kakinya di tanah yang licin, menyusuri jalur setapak menuju stasiun penelitian kecil milik lembaga konservasi tempat ia bekerja.
Ia menenteng tabung teleskop dan alat perekam suara burung — tubuhnya ringan, tapi matanya menunjukkan kelelahan yang lama tersimpan. Sudah tiga minggu ia berada di sini, menunggu datangnya kawanan merpati hutan berleher tembaga, burung-burung yang setiap tahun melintasi langit Kalimantan bagian selatan dalam pola migrasi yang nyaris mistis: selalu datang di minggu ketiga bulan Juni, berputar sekali di atas lembah, lalu lenyap ke arah timur.
Namun tahun ini, langit tetap kosong.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Belum ada tanda-tanda?” tanya Pak Awan, penjaga basecamp yang sudah bekerja di hutan sejak Alya masih anak-anak. Suaranya berat, penuh nada sabar orang yang sudah lama berdamai dengan ketidaktahuan.
“Belum, Pak. Padahal seharusnya mereka sudah lewat. Mungkin cuaca berubah,” jawab Alya sambil menyalakan laptop lapangan, memeriksa data suhu dan arah angin dari satelit.
Pak Awan hanya mengangguk. “Atau mungkin mereka tak mau datang lagi.”
Alya tersenyum hambar. Ia sudah terbiasa dengan jawaban setengah mistik dari lelaki tua itu. Tapi dalam senyum itu, ada kegelisahan yang tak sepenuhnya bisa ia sangkal.
Setiap tahun sejak ia masih menjadi mahasiswa biologi di Yogyakarta, Alya mengikuti pola migrasi burung-burung itu. Ia mengumpulkan data, menulis skripsi tentang orientasi magnetik pada merpati hutan tropis. Dalam tesisnya, ia menemukan bahwa jalur migrasi kawanan itu hampir persis mengikuti garis anomali magnetik bumi — seolah burung-burung itu punya kompas batin yang hanya mereka mengerti.
Namun dua tahun terakhir, datanya mulai aneh. Jalur migrasi bergeser, lalu terputus. Sebagian sinyal pelacak yang ia pasang pada burung-burung itu hilang begitu saja. Ia datang kali ini bukan sekadar untuk mengamati, tapi untuk mencari.
Malam hari, ketika listrik dari genset padam, Alya duduk di teras pondok, menatap langit. Suara jangkrik berpadu dengan desir sungai kecil di bawah lembah. Dalam gelap, pikirannya kembali ke satu kenangan: ayahnya, seorang guru desa yang gemar menggambar burung di halaman buku bekas. Dulu, setiap kali hujan reda, mereka akan menatap langit, mencari sekelebat sayap yang melintas. “Kalau kau ingin tahu arah hidupmu,” kata ayahnya, “lihat saja ke mana burung terbang.”
Kalimat itu yang mendorongnya memilih bidang ornitologi. Tapi kini, setelah tujuh tahun menjadi peneliti, ia mulai ragu — jika burung-burung itu benar-benar kehilangan arah, apakah itu juga pertanda manusia telah kehilangan sesuatu yang lebih besar?
Tiga hari kemudian, sebuah laporan datang dari relawan di hilir lembah. Mereka menemukan puluhan bangkai burung di area bekas tambang nikel yang sudah lama ditinggalkan. Alya bergegas ke sana, ditemani Pak Awan dan Bima, mahasiswa magang dari Samarinda.
Begitu tiba, udara berubah panas dan aneh. Tidak ada pepohonan, hanya tanah merah terbuka dan kolam air kehijauan yang berkilau seperti kaca beracun. Di tepian kolam, puluhan burung hutan tergeletak — sayapnya kaku, matanya tertutup.
Alya berlutut. Ia memungut seekor merpati yang bulunya masih lembut, lalu mengusap lehernya yang berkilau tembaga. “Ini spesiesnya,” katanya pelan. “Yang bermigrasi dari lembah itu.”
Pak Awan memejamkan mata, seperti sedang mendoakan. “Mereka mungkin tersesat. Tempat ini dulu hutan, sebelum digali jadi tambang.”
Alya membuka alat deteksi portabelnya, mengukur kadar logam berat di air. Angkanya tinggi, tapi yang membuatnya berhenti adalah data magnetik: jarum alat kompas digitalnya berputar tak tentu arah. Medan magnet di area ini kacau.
“Pak, lihat ini,” katanya. “Gangguan magnetiknya besar sekali. Mungkin mereka kehilangan orientasi karena itu. Mereka berpikir lembah ini adalah titik pulang mereka.”
Bima menatap sekeliling. “Jadi… mereka tersesat oleh tambang?”
Alya mengangguk perlahan. Tapi di dadanya muncul perasaan lain — seperti kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu burung-burung itu tak sekadar tersesat oleh logam dan angka. Mereka tersesat oleh sesuatu yang lebih dalam: kehilangan rumah yang tak lagi ada.
Malamnya, di pondok penelitian, Alya memeriksa data perekaman dari alat pendeteksi suara. Di tengah-tengah suara serangga dan desau angin, ada satu segmen aneh: dengungan rendah, ritmis, seperti bunyi jantung yang besar. Ia memperbesarnya, dan suara itu terdengar semakin hidup — frekuensi yang mirip dengan pola bunyi sayap merpati saat terbang. Tapi ini datang dari tanah, bukan dari udara.
“Seperti gema,” bisiknya. “Seolah hutan masih menyimpan bayangan mereka.”
Pak Awan datang membawa termos kopi. “Burung itu tak benar-benar pergi, Nak. Kadang, alam hanya mengubah wujud mereka.”
Alya tidak menjawab. Ia tahu Pak Awan mungkin hanya bermaksud menenangkan. Tapi dalam dirinya, kalimat itu bergaung seperti mantra.
Pagi berikutnya, ia berdiri di tepi lembah, menatap ke arah timur — arah yang seharusnya menjadi jalur terakhir kawanan merpati. Angin lembut berhembus dari hutan, membawa aroma tanah basah dan serbuk bunga. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri:
Ia akan menemukan ke mana burung-burung itu benar-benar pergi.
Dan jika memang dunia sudah mengacaukan arah mereka, maka ia akan menjadi kompas yang membawa mereka pulang.
Beberapa hari setelah menemukan kawanan burung yang mati di area bekas tambang, Alya memutuskan memperpanjang masa tinggalnya di lembah. Ia menulis surat elektronik singkat kepada lembaganya di Jakarta, menyebut bahwa penelitian harus dilanjutkan karena “indikasi anomali migrasi masih belum terjelaskan”.
Namun alasan sesungguhnya jauh lebih pribadi: ia belum siap pulang.
Setiap pagi ia naik ke bukit kecil di sisi timur lembah, membawa alat perekam suara dan kamera termal. Ia mulai menyadari sesuatu yang ganjil — kadang, di tengah keheningan hutan, ia mendengar bunyi kepakan sayap yang samar, tapi tak ada seekor pun burung di langit. Bunyi itu seperti gema dari dunia lain.
Di catatannya, Alya menulis:
“Jika arah magnetik diubah oleh tambang, apakah mungkin burung-burung ini mencari jalur alternatif? Apakah mereka bisa menciptakan pola migrasi baru, atau akan mengulang kesalahan yang sama sampai punah?”
Pada hari ketujuh, ia dan Bima memutuskan menelusuri peta lama sebelum kawasan tambang dibuka. Mereka menemukan satu area yang dulunya hutan rimba lebat, namun sekarang menjadi rawa dangkal berwarna abu-abu. Dari udara, bentuknya aneh — seperti pusaran spiral raksasa.
“Ini bekas tambang pertama,” kata Bima sambil menunjuk peta. “Waktu itu perusahaan menggali terlalu dalam, terus muncul air bawah tanah, akhirnya ditinggalkan.”
Alya menatap titik itu lama sekali. Ada sesuatu dalam bentuk pusaran itu yang membuatnya tak tenang — seperti pola tarian yang tak selesai.
Keesokan harinya, mereka menempuh perjalanan menuju lokasi. Udara di sana terasa lebih berat, dan tanah di sekitarnya lembek oleh endapan lumpur mineral. Di tengah area itulah Alya melihatnya: puluhan jejak kaki burung — bukan hanya satu atau dua, tapi puluhan — membentuk lingkaran di lumpur kering.
Bentuknya nyaris sempurna, seperti mandala yang tergores di tanah oleh sayap yang menari.
Bima menatap terpaku. “Bu, ini… mereka datang lagi?”
Alya berjongkok, menyentuh bekas jejak itu. “Tidak mungkin. Tak ada burung yang sanggup bertahan di daerah seberacun ini.” Tapi matanya bergetar, seolah tak sepenuhnya yakin pada kata-katanya sendiri.
Ia mengambil alat perekam suara dan menyalakan mode sensitif. Dari speaker kecilnya, terdengar dengung halus seperti getaran udara yang terus-menerus berpadu — frekuensi rendah, mendekati suara detak jantung.
“Ini sama seperti rekaman malam itu,” katanya pelan. “Tapi sumbernya di sini.”
Bima mencoba tertawa gugup. “Apa mungkin itu cuma pantulan dari peralatan tambang?”
Alya tidak menjawab. Ia menutup matanya, menajamkan pendengaran. Getaran itu bukan sekadar bunyi; ada pola, ada irama — naik turun, teratur, seolah-olah… bernyanyi.
Mendadak seekor burung kecil melintas, satu-satunya yang tampak hidup di tengah tanah mati itu. Bulunya coklat gelap, sayapnya pendek, tapi matanya berkilat seperti tembaga. Burung itu terbang rendah, berputar tiga kali di atas lingkaran jejak, lalu menghilang di antara kabut.
Alya tertegun. Ia merasa baru saja menyaksikan sisa dari sesuatu yang jauh lebih besar — tarian terakhir dari kawanan yang sudah tiada.
Malam itu, di basecamp, Pak Awan datang membawa peta tua peninggalan penjajah Belanda. Ia membentangkannya di meja kayu. “Dulu daerah itu disebut Lembah Burung Hilang,” katanya. “Orang Dayak bilang di sanalah burung-burung terakhir menari sebelum dunia berubah.”
Alya menatapnya dengan mata yang berkilat lelah. “Apakah maksudnya… mereka tahu kalau mereka akan punah?”
Pak Awan tersenyum pahit. “Mungkin bukan tahu. Mungkin hanya merasakan.”
Kata-kata itu menembus sesuatu dalam diri Alya. Ia teringat ayahnya lagi — lelaki yang dulu sering menulis di tepi buku: Setiap makhluk punya tarian terakhirnya sendiri. Bahkan manusia.
Beberapa hari berikutnya, Alya nyaris tak tidur. Ia merekam semua data, mencoba menautkan frekuensi suara dengan pola magnet bumi. Ia menemukan korelasi aneh: setiap kali suara “gema sayap” itu muncul, medan magnet bumi di daerah itu sedikit meningkat, lalu menurun perlahan seperti denyut nadi.
“Bima,” katanya pada pagi yang lain, “aku rasa hutan ini masih menyimpan jejak orientasi mereka. Seperti ingatan yang menempel di tanah.”
“Ingatan magnetik?” tanya Bima.
Alya mengangguk. “Ya. Mereka mati, tapi pola migrasinya mungkin tersimpan di sini — seperti rekaman di bumi.”
Ia menatap jauh ke arah langit yang memudar. “Dan mungkin, kalau pola itu bisa dipulihkan, kita bisa bantu kawanan lain menemukan jalur mereka kembali.”
Bima tersenyum kecil. “Maksud Ibu, seperti mengembalikan arah rumah mereka?”
“Ya,” jawabnya pelan. “Mengembalikan arah pulang.”
Namun semakin ia berusaha menjelaskan secara ilmiah, semakin ia merasa ada yang tak bisa diterjemahkan oleh data.
Setiap kali ia memutar rekaman “suara sayap” itu pada malam hari, udara di sekitar pondok berubah lebih dingin, dan angin berputar seperti menyusup ke sela-sela pepohonan, membawa aroma tanah dan air yang asing. Kadang ia terbangun di tengah malam, merasa ada bayangan putih kecil berkelebat di jendela.
Suatu malam, ia membuka pintu dan menatap keluar. Di bawah cahaya bulan, ia melihat ratusan burung kecil beterbangan di atas lembah — bayangan transparan, nyaris tak bersuara, tapi bergerak dalam pola spiral yang sama seperti di tanah tambang itu.
Mereka bukan burung biasa. Mereka seperti ingatan yang menari.
Alya berdiri diam. Air matanya menetes tanpa ia tahu kenapa. Dalam tarian itu, ia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh magnet, peta, atau laboratorium. Ia melihat harapan — bahwa alam tak pernah benar-benar kehilangan arah; hanya berubah bentuk agar bisa mengingat dirinya sendiri.
Pagi harinya, ia menulis satu kalimat terakhir di buku catatannya:
“Mungkin tujuan migrasi bukan untuk berpindah tempat, tapi untuk memastikan dunia masih punya arah untuk pulang.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kedatangannya, Alya merasa damai.
Hujan pertama bulan Juli turun dengan tenang. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat tanah di sekitar lembah menguarkan aroma basah yang lama dirindukan. Alya menatap dari jendela pondok, memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Ia baru saja menuliskan laporan akhir untuk lembaganya di Jakarta:
“Kawanan merpati hutan yang bermigrasi tahunan tampaknya telah punah. Namun, sinyal orientasi magnetik di lembah menunjukkan aktivitas berulang setiap malam antara pukul 23.00–02.00. Diduga fenomena ini berkaitan dengan ingatan elektromagnetik dari ekosistem yang rusak.”
Ia menutup laptopnya, tapi matanya masih lekat pada layar kosong — bukan karena lelah, melainkan karena ia merasa kalimat terakhir itu tidak jujur sepenuhnya. Ia tahu, di balik istilah ilmiah dan kata “diduga”, ada sesuatu yang lebih halus, lebih hidup, yang tak bisa ia tulis tanpa kehilangan kepercayaannya sebagai peneliti.
Di luar, kabut mulai turun, menutup lembah seperti tirai tipis.
Malamnya, Alya berjalan sendirian ke arah bukit timur. Bima sudah pulang seminggu lalu, membawa data untuk diserahkan ke kampusnya. Pak Awan pun sedang berada di desa, memperbaiki jembatan kayu yang putus karena banjir kecil.
Untuk pertama kalinya, ia sendirian di tengah hutan itu — benar-benar sendiri.
Ia menyalakan alat perekam suara, bukan untuk mengumpulkan data, tapi untuk memanggil.
Getaran rendah yang pernah ia dengar dari tanah mulai terdengar lagi, kali ini lebih teratur, lebih hangat. Seolah hutan menjawab panggilan yang sudah lama tertunda.
Ia berdiri di atas tanah berlumpur, memandang ke arah langit. Angin bertiup pelan, membawa aroma mineral dan dedaunan basah. Di kejauhan, petir kecil menyambar, menyalakan awan sekejap.
Dan di saat itu — seperti menembus kabut waktu — terdengarlah suara kepakan sayap.
Bukan satu, tapi ratusan.
Alya mendongak, napasnya tercekat. Di atas kepalanya, langit yang selama ini kosong perlahan dipenuhi bayangan burung-burung berleher tembaga. Mereka berputar, membentuk spiral besar di udara, persis seperti jejak di tanah tambang itu. Sayap mereka berkilau, menyala di bawah cahaya petir yang singkat.
Ia tahu sebagian dari itu mungkin ilusi optik, mungkin pantulan awan, mungkin sekadar gema dari suara lama yang tertinggal di udara. Tapi ketika seekor merpati turun rendah — begitu dekat hingga ia bisa merasakan desir anginnya di pipi — Alya merasakan denyut kecil di dadanya, seperti jantungnya menyatu dengan denyut bumi.
Burung itu melintas, lalu terbang naik ke langit bersama kawanan lain.
Mereka menari sekali lagi — perlahan, hening, namun penuh makna — sebelum menghilang ke arah timur, ke garis horizon tempat hutan dan langit bertemu.
Alya berdiri lama di sana. Hujan mulai turun, membasahi rambutnya, wajahnya, catatan di tangannya. Tapi ia tidak bergerak. Ia tahu, apa pun yang baru saja terjadi, itu bukan sekadar fenomena alam. Itu adalah pengembalian arah.
Keesokan paginya, Pak Awan kembali. Ia menemukan Alya duduk di beranda pondok, wajahnya tenang, seperti seseorang yang baru saja menempuh perjalanan panjang.
“Bagaimana, Nak Alya?” tanya Pak Awan. “Sudah dapat yang kau cari?”
Alya tersenyum kecil. “Sudah, Pak.”
“Burungnya?”
Ia menatap langit yang bersih, tanpa kabut. “Mereka sudah pulang.”
Pak Awan mengangguk pelan, tidak menanyakan lebih jauh. Di matanya ada pengertian yang tak butuh penjelasan. Ia menatap pepohonan di lembah, dan seolah-olah hutan itu sendiri juga tersenyum — lembut, diam, tapi penuh kehidupan.
Beberapa minggu kemudian, Alya kembali ke Jakarta. Lembah itu ia tinggalkan dengan catatan dan data lengkap. Tapi yang tersisa di hatinya bukan deretan angka atau grafik, melainkan rasa lega yang aneh — seperti seseorang yang akhirnya tahu arah rumahnya sendiri.
Ia mulai menulis esai pendek di jurnal ilmiah, tapi juga diam-diam menulis catatan lain — bukan untuk jurnal, melainkan untuk dirinya sendiri:
“Naluri bukan sekadar dorongan bertahan hidup. Ia adalah ingatan purba, sebuah cara alam mengingat rumahnya.
Mungkin manusia pun punya naluri seperti itu, tapi kita menutupinya dengan peta, teori, dan suara mesin.
Jika burung-burung bisa tersesat karena magnet bumi berubah, maka mungkin kita tersesat karena hati kita tak lagi tahu arah mana yang disebut pulang.”
Beberapa tahun kemudian, lembah Meratus itu dijadikan kawasan konservasi khusus. Kawanan burung merpati hutan kembali tercatat, walau hanya sedikit. Mereka tak lagi migrasi sejauh dulu, tapi bertelur di tepi hutan yang masih tersisa.
Di sebuah laporan, nama Alya disebut sebagai peneliti yang pertama kali menemukan anomali ekomagnetik di kawasan itu. Tapi bagi Alya sendiri, semua penghargaan itu hanyalah catatan. Yang benar-benar penting telah terjadi di malam sunyi, ketika langit terbuka dan kawanan burung yang hilang kembali menari — bukan untuk manusia, tapi untuk dunia yang berusaha mengingat dirinya sendiri.
Pada senja terakhir di lembah, sebelum benar-benar pulang, Alya berdiri di pinggir tebing. Angin lembut berhembus, membawa daun-daun kecil menari di udara. Ia menutup mata, mendengar kembali suara sayap di kepalanya — bukan gema, bukan ilusi, melainkan lagu alam yang belum selesai.
Ia tahu, selama dunia masih punya yang mau terbang, manusia masih punya alasan untuk berharap.
Dan di kejauhan, langit tampak bergetar perlahan — seolah bumi sendiri sedang bernapas lega.
















