Hujan baru saja mengguyur tanah Sumatra ketika Naya tiba di Pos Jaga Rimba Lestari. Jalur setapak masih basah dan licin, bau humus memenuhi udara. Ia turun dari truk logistik dengan sepatu boot berlepotan lumpur dan tas besar berisi perlengkapan elektronik di punggung.
Seorang pria bertubuh tegap dengan wajah keras menyambutnya dari beranda pos kayu. Topinya miring, rokok tergantung di bibirnya.
“Namamu Naya, ya?”
“Iya, Pak Jaka. Saya dari tim pengawasan AI pusat.”
Jaka menatapnya dari atas ke bawah, lalu berkata, “Di sini bukan tempat main drone atau pasang kamera buat feed TikTok.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Naya tersenyum kaku. Ia tahu perkenalan pertamanya tak akan mulus. Ini bukan seminar atau pameran teknologi. Ini hutan sungguhan — dan penjaganya bukan orang yang mudah diyakinkan oleh angka-angka.
***
Hari-hari pertama di pos dilalui Naya dengan menanam sensor, mengkalibrasi alat, dan membangun sistem monitoring berbasis AI yang ia beri nama Mata Rimba. Alat ini dirancang untuk mengenali suara gergaji mesin, langkah kaki manusia, bahkan detak jantung melalui tanah.
“Sensor ini bisa mendeteksi suara perburuan bahkan sebelum pelurunya ditembakkan,” jelas Naya dengan antusias kepada Jaka.
Jaka menatap monitor yang menampilkan peta hutan dengan titik-titik merah. “Kau percaya pada layar. Aku percaya pada burung hantu yang mendadak diam. Pada suara aneh di balik semak.”
“Keduanya bisa bekerja sama,” kata Naya lembut. “Data dan insting tak harus saling meniadakan.”
***
Beberapa malam kemudian, titik merah muncul pada layar. Suara mesin terekam dari sektor timur. Naya langsung mengecek log dan mencocokkan dengan peta.
“Jaka, ada aktivitas di zona rawa. Gergaji mesin aktif sejak 20 menit lalu.”
Jaka memicingkan mata. “Rawa itu bukan untuk orang biasa. Kecuali…”
“Sarad,” ujar mereka hampir bersamaan.
Sarad. Nama yang selalu menghantui pos ini. Dulu kawan seperjuangan Jaka. Kini perambah hutan yang membandel, cerdik, dan tak kenal takut.
***
Di malam sunyi itu, Naya dan Jaka duduk di teras pos.
“Kenapa kau tak pernah menangkap Sarad?” tanya Naya.
Jaka menarik napas panjang. “Dulu, waktu hidup susah, aku dan dia sama-sama ambil kayu buat hidup. Tapi aku berhenti. Dia tidak.”
“Dia bukan sekadar pelanggar hukum buatmu, ya?”
Jaka diam. Hujan mulai turun lagi, menyamarkan air mata kecil yang jatuh dari pelupuk mata tuanya.
***
Naya dan Jaka menyusun strategi. Mereka meminjam drone cadangan, menyamar sebagai surveyor, dan menanam jebakan visual berupa pola pencahayaan AI untuk menipu para penebang agar mereka meninggalkan jejak.
Namun Sarad terlalu cerdik. Ia menyuruh anak buahnya berjalan mundur, menutupi tapak dengan dedaunan. Bahkan sensor suara gagal mendeteksi pergerakan saat mereka menggunakan sepatu karet tebal.
Sistem canggih Naya kalah oleh kelicikan manusia.
Dan Jaka merasa makin tertinggal oleh waktu.
***
Tiga malam kemudian, alarm darurat berbunyi. Bukan suara mesin, bukan langkah kaki, tapi sinyal bahan kimia pembakar.
“Dia akan bakar hutan,” bisik Naya ngeri.
“Kita harus bergerak sekarang,” kata Jaka, menggenggam parang dan senter.
Di hutan gelap, mereka menyusuri jalur yang diselimuti kabut dan rintik hujan. Di antara pohon, mereka melihat kilatan api. Bayangan lelaki berdiri di dekat jeriken.
“Sarad!” seru Jaka.
Lelaki itu menoleh. “Akhirnya datang juga.”
“Sarad, hentikan. Kau tak harus lakukan ini.”
“Aku lelah hidup di bayang-bayang. Pemerintah datang hanya bawa sensor dan larangan. Tak ada nasi dari drone.”
“Kami ingin jaga hutan. Tapi tak bisa tanpa bantu kalian juga!” seru Naya.
“Kalian bantu dengan apa? Dengan algoritma?”
Percakapan berubah jadi perkelahian. Jaka melawan dua orang. Naya sempat terjatuh, drone-nya hancur diinjak.
Api mulai menyebar. Angin meniup bara ke arah pohon-pohon tua. Langit jadi merah. Naya menjerit. “Kita harus padamkan api!”
***
Bantuan datang telat, tapi cukup untuk menyelamatkan kawasan utama. Sarad tertangkap, luka-luka, namun masih hidup.
“Maafkan aku,” katanya kepada Jaka saat diborgol.
Jaka menatap kosong. “Kau membakar bagian diriku juga.”
Naya mengunggah data kejadian, dan video AI-nya menjadi bukti kuat di hadapan hukum. Namun ia tahu: menang secara sistem belum tentu menyembuhkan luka di hati manusia.
***
Beberapa minggu kemudian, pos jaga jadi tempat diskusi. Bukan hanya pemantauan, tapi juga pembelajaran. Warga dilatih mengoperasikan sensor, diberi kompensasi untuk menjaga zona rawan.
Jaka kini duduk di samping Naya saat memeriksa layar. “Mata Rimba bagus. Tapi butuh telinga tua sepertiku untuk membacanya.”
Naya tertawa. “Dan aku butuh cerita-ceritamu untuk memahami hutan. Data saja tak cukup.”
Mereka menatap peta digital yang kini lebih hijau, lebih damai. Di luar, seekor rangkong terbang melintas, seolah memberi salam pada persahabatan baru antara manusia dan mesin.
















