Tutur katanya lembut. Setelan celana panjang dengan scarf melingkari kerah bajunya, membuatnya tampak menonjol di tengah laboratoriumnya yang khas berbau laut, siang itu.
Siapa sangka ia adalah Dr Rachmaniar Rachmat Apt, Kepala Laboratorium Produk Alam Laut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), yang bersama timnya baru-baru ini menemukan bahan baku obat anti-kanker dari spons (Theonella swinhoei), biota laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia.
”Yang menggembirakan, temuan ini adalah senyawa terbaru dan diisolasi dari spons asal Indonesia,” kata Rachmaniar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu lingkup kegiatan produk alam laut LIPI memang mencari substansi bioaktif dari biota laut. Maklum, kekayaan hayati luar biasa yang dimiliki laut Indonesia belum tergali semua. Padahal kenyataan menunjukkan, biota laut prospektif dieksplorasi tidak hanya sebagai sumber cadangan pangan, tetapi juga sebagai bahan baku farmasi dan industri.
Terima kasih kepada LIPI yang diam-diam mengembangkan program penelitian produk alam laut sebagai bagian dari program bioteknologi kelautan. Namun, minimnya dana dan fasilitas, membuat LIPI harus menjalin kerja sama penelitian dengan berbagai pihak, termasuk dengan Osaka University dan Ryukyu University dari Jepang, dalam investigasi bahan obat dari biota laut Indonesia.
Dari kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 itulah, spons di perairan Indonesia diteliti dan menghasilkan senyawa baru yang menjanjikan dalam dunia kedokteran.
”SEMULA kami mencoba tiga biota yaitu rumput laut, spons, dan karang. Tetapi, hasil uji awal menunjukkan, yang paling aktif adalah spons,” tutur perempuan kelahiran Makassar, 30 Desember 1945 ini.
Menurut Rachmaniar, yang disebut produk alam laut adalah metabolit –hasil dari suatu metabolisme–yang dihasilkan oleh biota laut. Makhluk hidup biasanya menghasilkan metabolit primer untuk berkembang biak, dan metabolit sekunder untuk melindungi diri dari lingkungannya.
”Namun, justru metabolit sekunder ini, yang biasanya beracun, berpotensi sebagai obat. Rumput laut menjadi kurang potensial untuk obat dibanding spons, karena kurang beracun,” paparnya.
Senyawa antikanker dari Indonesia itu kemudian dinamai barangamide A, karena berasal dari spons yang diambil di kawasan Pulau Baranglompo, Makassar. Saat ini di seluruh dunia sudah ditemukan 2.500 senyawa kimia antikanker atau lead compound.
Dari jumlah itu, tiga sudah memasuki tahap uji klinis sebagai obat antikanker dan 37 di antaranya merupakan temuan LIPI bekerja sama dengan Osaka University. Barangamide A, salah satunya, adalah senyawa peptida siklik yang beraktifitas terhadap sel kanker kulit.
AKAN tetapi, menjalin kerja sama penelitian dengan pihak luar negeri memang memerlukan kejelian tawar menawar. Soalnya sebagai negara yang amat kaya sumberdaya hayati, Indonesia diminati banyak negara pemilik teknologi untuk dieksplorasi.
Tanpa kejelian, bisa-bisa peneliti Indonesia sebagai partner hanya dijadikan ”tukang koleksi” bahan penelitian, sementara hasilnya yang bisa bernilai ekonomi jutaan dollar AS terbang ke negeri orang.
”Karena itu dalam kerja sama dengan asing saya menerapkan aturan, jangan beri lokasi sumberdaya hayati yang terbaik tetapi juga tidak yang terburuk. Yang sedang-sedang sajalah. Sampel yang diambil pun saya batasi, tidak boleh lebih dari satu kilogram,” Rachmaniar memaparkan kiatnya.
Tidak heran bila pada saat-saat pengambilan sampel di lapangan dan Rachmaniar ikut serta, para anggota timnya suka berkomentar, ”Hati-hati… ada ‘polisi’ tuh.”
Dalam kerja sama dengan Osaka University ini pun, Rachmaniar mencoba mendapatkan benefit sebanyak-banyaknya bagi lembaganya. Mulai dari sampel yang harus dibuat dua batch-satu untuk Indonesia dan satu Jepang, saat pengujian sampel yang harus menyertakan peneliti Indonesia, publikasi ilmiah bersama, sampai hak paten yang setara untuk kedua belah pihak.
Keterbatasan dana di lembaganya, juga sering membuat Rachmaniar menumpangkan berbagai pengujian laboratoriumnya dalam kerja sama itu. ”Soalnya tak mungkin hanya mengandalkan dana yang ada, kecil sekali. Mana cukup untuk meneliti berbagai kemungkinan mendapatkan temuan baru,” katanya.
RACHMANIAR sendiri, bisa dibilang serba kebetulan menjadi peneliti. Berawal dari kekaguman ia dan teman-teman SMP-nya melihat SAA(Sekolah Asisten Apoteker) yang menerapkan sistem gugur, yakni tidak naik kelas keluar, mereka pun ”taruhan” untuk bisa bersekolah di situ.
Maka masuklah Rachmaniar ke SAA itu, bahkan sampai mendapat beasiswa dan lulus dengan nilai memuaskan. Ia sate-satunya yang selesai di antara teman-temannya. ”Tetapi, ya, itu, motivasinya cuma jago-jagoan. Makanya saya suka bilang ke anak saya, jangan kayak Mama. Semua harus terencana,” kata ibu satu-satunya jagoan betulan, yang kini sudah di SMA.
Lulus SAA, ia melanjutkan ke bidang farmasi di Universitas Padjadjaran, Bandung. Lulus sarjana apoteker, ia pun mendaftar ke BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), tahun 1978. ”Saya itu angkatan pertama BPPT, ” kenangnya.
Di situlah kariernya berkembang. Setelah bertahun-tahun meneliti, tahun 1984-1988 ia diangkat menjadi Direktur Pengkajian Ilmu Kehidupan BPPT. Pada periode yang sama pula, ia menjadi Ketua Tim Nasional Pengembangan Rumput Laut.
”Banyak tantangan yang saya peroleh sebagai peneliti, apalagi saat menangani rumput laut. Itu memberi kepuasan batin tersendiri,” katanya.
Salah satu karyanya adalah meneliti kualitas rumput laut Indonesia. Soalnya sebagai salah satu negara pemasok, rumput laut Indonesia sering dihargai rendah. Alasannya selalu tidak bisa memenuhi kualitas.
”Saya kan jadi terpancing, apa betul sih punya kita jelek.” Ternyata setelah diteliti, tidak ada yang salah dengan produk rumput laut Indonesia. Kualitasnya bagus. ”Itu cuma politik dagang saja. Negara pengimpor bikin standar sendiri‘, lalu kita dibilang jelek,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia menganjurkan Indonesia untuk punya standar sendiri agar tidak dipermainkan dan bisa menentukan harga. Hasilnya, kini pengekspor rumput laut Indonesia lebih bisa beenegosiasi. Laboratoriumnya, meski belum diakreditasi, sering digunakan sebagai laboratorium pengujian kualitas rumput laut sebelum diekspor.
BERKAT rumput laut pula, sebagai bahan disertasinya, Rachmaniar mendapatkan doktornya di bidang kimia bahan alam di Universitas Padjadjaran, tahun 1994.
Rumput laut yang membuatnya semakin jatuh cinta pada biota laut, kemudian membawanya ke LIPI sebagai peneliti produk alam laut,tahun 1990 sampai sekarang. ”Saya hanya merasa ini bidang potensial sekali, tetapi tak banyak yang tertarik Kalau tidak dimulai, lalu kapan lagi?” katanya.
Akan tetapi, menjadi peneliti laut ternyata ,tidak membuat Rachmaniar lantas bisa menyelam. ”Penelitian itu kan pekerjaan tim. Biarkan bagian itu ditangani ahlinya. Kemampuan saya di bidang kimia, ya, itu yang saya lakukan sebaik-baiknya. Sebagai peneliti saya lebih baik narrow and deep, mendalami sesuatu secara profesional. Bukan menjadi generalis.” (Agnes Aristiarini)
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Juli 2000