Resistensi Antibiotik; Kekayaan Spons Indonesia Berpotensi Jadi Solusi

- Editor

Kamis, 18 Juni 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengembangan obat antibiotik baru mendesak dilakukan karena makin banyak antibiotik yang tak mempan lagi membunuh kuman. Potensi bahan antibiotik baru ditemukan salah satunya pada hewan spons. Dengan tingkat keragaman jenis spons tertinggi di dunia, Indonesia berpeluang jadi penghasil antibiotik baru.

“Berdasarkan laporan Van Soest pada 1989, jumlah spesies spons dari perairan Indonesia timur mencapai 850 jenis,” kata Sekretaris Kelompok Penelitian Budidaya dan Bioprospeksi Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tutik Murniasih, Rabu (17/6), di Jakarta. Indonesia timur dilalui segitiga terumbu karang dunia dengan biodiversitas spesies tinggi.

Bahkan, publikasi-publikasi terkait hewan invertebrata laut menunjukkan, senyawa aktif terbanyak ditemukan pada spons. Dari semua hewan invertebrata dengan senyawa aktif, sekitar 45 persen di antaranya spons. Di posisi kedua adalah hewan karang lunak (20 persen).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal tersebut mendorong Tutik untuk meneliti spons asal Indonesia. Ia memilih mempelajari manfaat mikroba yang hidup dalam spons karena mudah dibiakkan dibandingkan dengan spons. Itu untuk mengantisipasi keterbatasan bahan baku jika nantinya spons terbukti bermanfaat untuk antibiotik dan masuk ranah komersialisasi. Selain itu, mikroba yang bersimbiosis dengan spons berkontribusi pada pembentukan senyawa aktif untuk obat.

imagesTutik dan tim peneliti membuktikannya setelah mengisolasi senyawa antibakteri dari bakteri Rhodobacteraceae bacterium. Bakteri itu hidup dalam spons Aaptos sp., yang dikumpulkan lewat penyelaman di kedalaman 2-10 meter di bawah laut, di sekitar Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan, Juni 2009.

Tutik mendapatkan dua macam senyawa aktif, yakni senyawa golongan amina dan tiochromene. Menurut riset, senyawa itu berkhasiat menghambat perkembangan bakteri patogen Vibrio eltor dan Bacillus subtilis pemicu gangguan saluran pencernaan, termasuk diare, dan Staphylococcus aureus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan. “Saat ini, riset di tahap optimasi (menaikkan produktivitas senyawa aktif),” ujarnya.

Namun, daya hambat bakteri patogen dari senyawa itu kalah dibandingkan antibiotik umum, yaitu ampicillin, seperti tampak dari konsentrasi minimum penghambatan (minimum inhibitory concentrations/MIC). Jadi, MIC ampicillin pada Escherichia coli 16 mikrogram per mililiter, sedangkan MIC senyawa amina yang dihasilkan Tutik 125 mikrogram per ml dan MIC senyawa tiochromene 380 mikrogram per ml (makin besar nilainya, kian rendah daya hambat pada bakteri patogen).

Senyawa aktif dari Rhodobacteraceae bacterium lebih stabil daripada ampicillin. Setelah dua-tiga hari, muncul bakteri patogen di sekitar kertas cakram ampicillin, sedangkan pada area senyawa aktif dari bakteri spons bersih. Kondisi itu merujuk pada ada resistansi pada ampicillin.

Masalah global
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, tidak adanya program penanggulangan signifikan terhadap resistansi antimikroba (termasuk antibiotik) bisa mengakibatkan dunia masuk pada masa setelah antibiotik. Artinya, saat infeksi ringan bisa jadi berat karena mikroba penyebabnya tak mampu dibunuh lagi.

“Tanpa penanggulangan berarti, kematian akibat resistansi antimikroba lebih tinggi daripada akibat kanker dan penyakit lain,” ujar Tjandra dari New Delhi, India, di sela-sela pertemuan pertama Technical Advisory Group on Antimicrobial Resistance.

Salah satu masalah serius terkait resistansi antibiotik ialah kekebalan kuman pada obat tuberkulosis (MDR-TB). Itu membuat perawatan pasien lebih lama dan kurang efektif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, ada sekitar 480.000 kasus baru MDR-TB pada 2013.

Terkait hal itu, Tutik menyatakan akan menguji senyawa aktif Rhodobacteraceae bacterium pada kuman TB demi menemukan solusi atas MDR-TB. (JOG)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Kekayaan Spons Indonesia Berpotensi Jadi Solusi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB