Bayangkan dunia Islam yang tak lagi bingung menentukan awal Ramadan atau Idul Fitri. Tak ada lagi meme “lebaran dua kali”, tak ada lagi sidang isbat yang ditunggu-tunggu setiap tahun dengan deg-degan. Semua umat Islam, dari Maroko hingga Indonesia, menyambut bulan suci pada tanggal yang sama.
Inilah mimpi besar dari sebuah gagasan yang kini hangat diperbincangkan: Kalender Hijriyah Global.
Apa Itu Kalender Hijriyah Global?
Kalender Hijriyah Global adalah upaya untuk menyatukan penanggalan Islam berbasis bulan secara seragam di seluruh dunia. Tak lagi bergantung pada hasil pengamatan hilal lokal (rukyat), kalender ini menggunakan pendekatan hisab — metode perhitungan astronomi yang dapat diprediksi secara ilmiah dan berlaku lintas negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi banyak ilmuwan dan organisasi Islam modern, kalender ini dianggap sebagai langkah penting untuk menyatukan umat, menyederhanakan perbedaan waktu ibadah dan perayaan hari besar.
Muhammadiyah dan Inisiatif Kalender Global
Di Indonesia, organisasi yang paling aktif mendorong ide ini adalah Muhammadiyah. Ormas ini memang sudah lama mengadopsi hisab sebagai metode utama dalam menentukan kalender hijriyah, berbeda dari pendekatan rukyat yang digunakan oleh banyak ormas lain.
Bagi Muhammadiyah, ilmu falak atau astronomi Islam menawarkan kepastian, akurasi, dan kepraktisan. Kalender bisa dihitung hingga puluhan tahun ke depan. Bahkan, Muhammadiyah sering kali sudah menetapkan kapan puasa dan Lebaran bertahun-tahun sebelum waktunya tiba. Ini bukan ramalan, tapi hasil perhitungan berdasarkan data astronomi modern yang akurat hingga hitungan detik.
Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah ingin memperkenalkan sistem kalender Islam yang lebih ilmiah, konsisten, dan universal, mirip dengan kalender Gregorian yang digunakan hampir seluruh dunia hari ini.
Sains di Balik Kalender Islam: Antara Hisab dan Hilal
Penanggalan Islam berbasis bulan sinodik, yaitu siklus dari satu konjungsi Bulan-Matahari ke konjungsi berikutnya, rata-rata sekitar 29,5 hari. Masalahnya, “bulan baru” secara astronomi (konjungsi) tidak otomatis berarti “bulan baru” secara syariat.
Mengapa? Karena hilal — sabit tipis pertama yang menandai masuknya bulan baru — harus bisa dilihat atau minimal bisa secara teoritis terlihat. Di sinilah perbedaan besar antara hisab dan rukyat.
Hisab mengatakan: Jika secara astronomi hilal sudah mungkin ada di langit, maka bulan baru dimulai.
Rukyat berkata: Kita harus benar-benar melihatnya dengan mata.
Kondisi hilal yang bisa terlihat juga tak sederhana. Ia tergantung pada:
-
Tinggi Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam
-
Sudut elongasi (jarak sudut Bulan ke Matahari)
-
Kejernihan atmosfer
-
Cahaya sabit itu sendiri
Para astronom bahkan menetapkan ambang visibilitas minimal, misalnya ketinggian 3° dan elongasi 6,4°, agar sabit itu mungkin terlihat. Tapi teknologi modern kadang berhasil memotret sabit yang lebih tipis — menciptakan debat baru: apakah sabit hasil kamera juga bisa dianggap sah menurut syariat?
Penolakan yang Muncul: Mengapa Banyak yang Menolak?
Meskipun kalender hijriyah global menawarkan banyak manfaat, gagasan ini belum sepenuhnya diterima — bahkan banyak ditentang.
Salah satu penolakan paling vokal datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam terbesar di dunia ini tetap konsisten dengan metode rukyat, yakni melihat hilal secara langsung sebagai cara Nabi Muhammad menandai awal bulan.
NU beranggapan bahwa setiap wilayah memiliki perbedaan geografis dan waktu matahari terbenam masing-masing. Maka, waktu awal bulan hijriyah pun bisa berbeda-beda. NU juga menolak ide “pemaksaan” sistem kalender global yang dianggap mengabaikan keberagaman interpretasi fikih dan otoritas ulama lokal.
Lebih jauh lagi, NU dan beberapa pihak lainnya menganggap kalender global ini tidak cukup legitim secara fikih, karena mengandalkan prediksi hisab dan mengabaikan kesaksian mata telanjang — yang selama ini menjadi basis otentik penanggalan Islam.
Selain NU, beberapa negara dengan otoritas keagamaan kuat juga enggan mengadopsi sistem kalender global. Mereka menganggapnya sebagai ancaman terhadap kedaulatan keagamaan nasional, atau bahkan upaya menyatukan umat Islam secara seragam dalam urusan yang semestinya bisa berbeda sesuai konteks wilayah.
Kalangan Sains: Kalender Ini Sebenarnya Sudah Siap
Dari sisi astronomi, sebenarnya tidak ada lagi alasan teknis untuk menolak kalender hijriyah global. Posisi Bulan dan Matahari bisa diprediksi dengan presisi tinggi menggunakan data dari NASA dan observatorium global. Bahkan, model visibilitas hilal sudah dikembangkan berdasarkan ribuan observasi — membuat kemungkinan salah sangat kecil.
Beberapa lembaga seperti ICOP (Islamic Crescents Observation Project) dan observatorium nasional telah menguji dan mengembangkan software yang bisa memetakan kemungkinan hilal terlihat hingga ke tingkat jam dan derajat posisi langit.
Namun masalah utama bukan lagi di langit, melainkan di bumi: penerimaan sosial, fikih, dan politik.
Jadi, Apa yang Menghalangi Kalender Hijriyah Global?
Mimpi menyatukan kalender Islam secara global tidak semata soal astronomi. Ini adalah pertarungan antara:
-
Ilmu modern vs. tradisi syariat klasik
-
Kepraktisan global vs. kedaulatan lokal
-
Keseragaman vs. keragaman fikih
Kalender Hijriyah Global tak hanya bertanya “hilal sudah ada atau belum?”, tapi juga “siapa yang boleh menentukan waktu ibadah kita?”
Penutup: Mungkinkah Kita Akan Bersatu dalam Waktu?
Kalender Hijriyah Global adalah cita-cita yang mulia — menyatukan umat Islam dalam waktu yang sama, menyederhanakan ibadah, dan menghadirkan kepastian. Tapi jalan menuju ke sana bukan sekadar menoleh ke langit, melainkan juga membuka ruang dialog di bumi.
Selama hisab dan rukyat masih diposisikan sebagai dua kutub yang saling bersaing, dan selama masing-masing ormas atau negara belum duduk bersama dalam kerangka fikih yang inklusif, maka “lebaran dua kali” mungkin akan tetap jadi rutinitas tahunan.
Dan mungkin, bukan karena hilalnya tak tampak, tapi karena kita belum cukup mau melihat satu sama lain.