Indonesia Butuh Lebih Banyak Kapal Survei

- Editor

Rabu, 16 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebutuhan penambahan kapal survei untuk mempercepat pembuatan peta laut mendesak dipenuhi. Pemetaan laut itu mutlak diperlukan untuk merealisasikan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Indonesia membutuhkan lebih banyak kapal survei dari yang sekarang dimiliki berbagai lembaga penelitian.

Dalam hal ini, Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidrosal) TNI AL merupakan lembaga yang ditunjuk untuk membuat peta laut itu. Kepala Pushidrosal Laksamana Muda Harjo Susmoro, Selasa (15/1/2019), mengatakan, tantangan yang harus dihadapi dalam pembuatan peta laut itu adalah keterbatasan jumlah kapal survei.

Menurut Harjo, saat ini baru ada tiga kapal, yaitu KRI Rigel-933, KRI Spica-934, dan KRI Dewa Kembar-932, yang memiliki kemampuan untuk mengemban tugas tersebut. ”Hambatannya, KRI Dewa Kembar saat ini sudah mendekati waktu pensiun karena usianya sudah tua.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–KRI Spica-934 dikerahkan untuk mencari rekaman suara kokpit (CVR) pesawat Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (14/1/2019). KRI Rigel-933 dan KRI Spica-934 saat ini merupakan dua kapal survei paling modern di Asia Tenggara buatan Perancis.

Kondisi itu mengakibatka Keduanya saat ini merupakan kapal survei tumpuan utama yang dimiliki Pushidrosal. KRI Rigel dan KRI Spica saat ini merupakan dua kapal survei paling modern di Asia Tenggara buatan Perancis.

KRI Spica merupakan kapal riset Pushidrosal yang ikut membantu dalam operasi pencarian cockpit voice recorder (VCR) pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat. KRI Spica ikut membantu dalam pemindaian profil dasar laut dengan alat multibeam echosounder (MBES). KRI Spica juga memiliki peralatan sub-bottom profiling untuk mengetahui kondisi lapisan di bawah dasar laut.

Dukungan pencarian dari KRI Spica ini yang turut membantu tim penyelam dari Komando Pasukan Katak dan Dinas Penyelam Bawah Air Armada I TNI AL berhasil menemukan VCR pada Senin (14/1/2019).

Selain tiga kapal riset yang ada, Pushidrosal memiliki juga KRI Leuser-974, KRI Pulau Rote-721, KRI Pulau Romang-723, dan KRI Pulau Rempang-723. Namun, keempat kapal itu, menurut Harjo, tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk mengemban tugas pembuatan peta laut.

PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidrosal) TNI AL Laksamana Muda Harjo Susmoro saat menghadiri peringatan hari Dharma Samudra di atas KRI dr Soeharso-990 yang bersandar di Dermaga Sunda Pondok Dayung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (15/1/2019).

Sebelumnya, Harjo pernah mengatakan, saat ini baru 35 persen peta laut Indonesia yang mutakhir. Untuk memetakan 65 persen yang tersisa, jika memakai sumber daya yang ada seperti saat ini, dibutuhkan waktu sekitar 47 tahun (Kompas, 4/7/2018).

Harjo mengatakan, pemenuhan data hidrografi sangat penting untuk mendukung gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kapal dagang asing hanya akan bersedia memasuki wilayah perairan Indonesia jika tersedia peta yang menjamin jalur itu aman dilewati.

”Saat ini, tuntutan pembuatan peta laut semakin tinggi. Peta dua dimensi atau yang sering disebut paperchart sudah tidak lagi digunakan,” kata Harjo.

Oleh karena itu, dalam usaha pembuatan peta laut, Pushidrosal berusaha mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan peta multilayer. Peta multilayer atau electronic navigational chart (ENC) merupakan peta elektronik yang menyajikan sejumlah informasi, misalnya kekuatan arus, perubahan cuaca, dan siklus pasang surut.

”Tentu dengan anggaran dan alutsista yang kita punya saat ini, butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan pembuatan peta multilayer yang mencakup wilayah seluruh Indonesia,” ucap Harjo.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–KRI Rigel-933, Rabu (31/10/2018), menyusuri perairan utara Karawang, Jawa Barat, mencari pesawat Lion Air yang jatuh di kawasan tersebut pada Senin (29/10/2018).

Kerja sama
Dihubungi secara terpisah, pengajar Universitas Pertahanan, Haryo B Rachmadi, mengatakan, penambahan alutsista bukan hanya soal ketersediaan anggaran. ”Pembelian alutsista tidak seperti membeli barang di pasar. Ketersediaan anggara belum tentu menjamin alutsista akan terbeli,” ujarnya.

Menurut Haryo, Indonesia lebih dulu perlu meyakinkan negara tetangga bahwa gagasan poros martim akan membawa manfaat bagi kepentingan kawasan. Menurut dia, diplomasi maritim itu perlu diupayakan agar Indonesia lebih mudah membeli alutsista baru tanpa dicurigai akan mengganggu stabilitas keamanan kawasan.

Kedua, Haryo menyarankan agar pemangku kepentingan menyadari bahwa poros maritim merupakan kepentingan bersama. ”Seharusnya, ego sektoral diturunkan agar join forces antarlembaga negara dapat berjalan dan mempercepat tugas yang belum rampung,” katanya.

Setidaknya ada tiga lembaga yang, menurut Haryo, bisa diajak bekerja sama turut serta mempercepat pembuatan peta laut itu, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Menanggapi hal itu, Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT Muhammad Ilyas menyatakan, akan dengan senang hati membantu pemetaan laut jika nantinya Pushidrosal menggandeng mereka. ”Kita selalu siap membantu lembaga lain jika memang diminta,” ujarnya.

Ilyas mencontohkan, tahun ini BPPT mendapat tugas membantu BIG dan Kementerian Koordinator Maritim menyurvei Bathymetri di utara Papua. ”Kami punya alat dan sumber daya manusia yang cukup untuk membantu lembaga lain, tetapi yang kami tidak punya justru biaya untuk menggerakkan kapal kami ke laut,” katanya.

Ilyas mengatakan, BPPT saat ini memiliki empat kapal riset, yaitu Baruna Jaya I, Baruna Jaya II, Baruna Jaya III, dan Baruna Jaya IV. ”Yang terjadi saat ini, kami sebenarnya justru membutuhkan program dari lembaga lain untuk membiayai pemeliharaan kapal agar keempat kapal itu tetap bisa beroperasi normal,” ucapnya. (PANDU WIYOGA)

KHAERUDIN

Editor KHAERUDIN

Sumber: Kompas, 15 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 15 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB