AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

- Editor

Sabtu, 5 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada mulanya adalah kata. Dan kata itu bukanlah “jadilah terang”, melainkan “A, T, C, dan G”.

Empat huruf yang selama miliaran tahun membentuk simfoni kehidupan, mengatur jantung agar berdetak, akar agar menumbuh, dan virus agar menggandakan dirinya. Empat huruf yang menjadi naskah panjang tak terbaca, disimpan dalam gulungan mikroskopis bernama DNA.

Dulu, manusia hanya bisa membaca bagian kecil dari kisah besar itu—dengan kaca pembesar, mikroskop, dan asumsi. Kini, kita menugaskan mesin cerdas untuk membacanya semua, sekaligus. Tak tanggung-tanggung, bukan sekadar buku, tapi perpustakaan DNA seluruh bumi: dalam skala petabyte. Dan mesin itu—bukan siapa-siapa—adalah kecerdasan buatan (AI).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari Buku Linnaeus ke Bahasa Molekuler

Klasifikasi makhluk hidup pernah bersandar pada bentuk luar: daun, kaki, bulu, atau tulang belakang. Linnaeus menyusunnya seperti katalog tanaman hias, Woese mengguncangkannya dengan pohon tiga domain, dan para mikrobiolog lalu merapikannya dalam database digital.

Namun bentuk bisa menipu. Kelelawar mirip burung, padahal mereka lebih sepupu dengan manusia. Ganggang terlihat seperti tanaman, tapi gen-nya malah bersahabat dengan bakteri laut.

Di sinilah genetika masuk sebagai penyair yang membongkar makna sesungguhnya. DNA bukan lagi sekadar untaian basa, tapi bahasa kehidupan itu sendiri. Maka muncullah ide besar: kalau AI bisa menerjemahkan Shakespeare dan Mandarin, mengapa tidak DNA?

Ketika Gen Dibaca Seperti Kalimat

Dalam laboratorium-laboratorium sunyi yang hanya berdengung oleh kipas GPU dan pendingin cair, para ilmuwan mulai melatih AI dengan logika yang sama seperti pada Google Translate. DNA dibagi dalam potongan kecil—disebut k-mer—dan diperlakukan seperti kata-kata dalam kalimat.

Model seperti DNABERT dan GenSLM lahir dari percobaan-percobaan ini. Mereka menyerap jutaan urutan genetik, dari manusia hingga virus laut dalam. Mereka tak hanya cocokkan pola, tetapi mulai memahami konteks biologis: mana gen, mana intron, mana wilayah promotor, dan bahkan—mana spesies.

Seperti pembaca peta genetik yang tak kenal lelah, AI kini bisa mengatakan:

“Urutan ini milik bakteri tanah genus Actinomyces, yang hidup di hutan hujan tropis dan mungkin menghasilkan antibiotik alami.”
Bahkan saat urutan itu belum pernah ditemukan sebelumnya.

Klasifikasi Tak Lagi Manual

Bayangkan sepotong tanah di Papua yang mengandung DNA dari ratusan mikroba tak dikenal. Dahulu, para ahli harus mengisolasi tiap spesies, menumbuhkannya di cawan petri, lalu membandingkan ciri morfologis.

Hari ini? Cukup ekstrak eDNA dari sampel, unggah ke sistem, dan biarkan AI bekerja.

Model seperti BERTax dan pipeline GTDB-Tk bisa mengelompokkan, mengurutkan, dan bahkan memperbarui taksonomi global secara otomatis. Ia meninjau ulang genus dan spesies secara berkala, bahkan memecah genus kuno seperti Clostridium menjadi lebih dari 100 genus baru—semata karena genomnya memang berbeda jauh.

Maka sistem taksonomi, yang dulu seperti museum tenang, kini berubah jadi peta digital yang hidup dan berkembang.

Pohon Kehidupan Kini Berbentuk Jaring

Dulu, kita menggambarkan Tree of Life dengan akar, batang, dan cabang. Tapi ternyata, di dunia mikroba, kehidupan tak berjalan lurus. Mereka saling bertukar gen lewat proses bernama horizontal gene transfer—seperti sahabat pena yang saling mengirim paragraf favorit.

AI membantu kita memahami dunia retikulasi ini. Ia membangun jaring kehidupan, bukan pohon, karena batas antar spesies kadang tembus pandang. Gen berpindah dari virus ke manusia, dari bakteri ke tumbuhan, dan dari siapa saja ke siapa saja.

AlphaFold dan “Penglihatan Molekuler”

Tak hanya membaca DNA, AI kini bisa melihat bentuk hasilnya: protein. AlphaFold—model prediktif dari DeepMind—telah memetakan lebih dari 200 juta struktur protein dari berbagai organisme. Kini versi terbarunya, AlphaFold 3, bisa memodelkan interaksi DNA-RNA-protein dalam satu sistem terpadu.

Artinya, AI bisa menjawab:

“Jika urutan DNA ini berubah di huruf ke-27.000, bagaimana bentuk protein tubuh akan berubah?”

Ini penting untuk memahami mutasi, evolusi, bahkan desain vaksin dan terapi gen masa depan.

Dari Kertas ke Mesin Taksonomi Otomatis

Dengan semua ini, klasifikasi makhluk hidup tak lagi disusun dengan pena dan pemikiran per individu. Ia disusun oleh jaringan AI, yang menyerap, menimbang, dan menyusun kembali seluruh basis data genetik dunia.

Namun ada harga dan tanggung jawab.

Model ini besar, butuh daya listrik setara kota kecil, dan sulit dimengerti cara kerjanya. Seperti kotak hitam yang tahu segalanya, tapi enggan berbagi caranya berpikir. Ada kekhawatiran soal jejak karbon, privasi genetika, dan monopoli teknologi oleh segelintir lembaga raksasa.

Namun satu hal pasti:

Kita telah menciptakan mesin pembaca kehidupan. Ia tak pernah lelah, tak pernah lupa, dan kini memandu kita menulis ulang peta keragaman hayati dunia.

Epilog: Kata yang Tak Pernah Selesai

Dari A, T, C, dan G, AI belajar menyusun ulang silsilah makhluk hidup. Dari genom yang tertinggal di pasir pantai, atau dari udara yang dihirup di laboratorium, ia membaca warisan purba dan kemungkinan masa depan.

Ilmu taksonomi kini tak lagi museum, tapi peta digital real-time, diperbarui setiap detik oleh mesin yang terus membaca.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia tak lagi menjadi satu-satunya makhluk yang membaca kehidupan.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:26 WIB

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Taman di Dalam Taman

Jumat, 18 Jul 2025 - 21:45 WIB

Artikel

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Kamis, 17 Jul 2025 - 21:26 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Kota di Bawah Masker

Kamis, 17 Jul 2025 - 20:53 WIB

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB