Puluhan juta meter kubik air hujan buatan dihasilkan dari penerapan teknologi modifikasi cuaca di Sumatera dan meminimalkan jumlah titik panas penyebab kebakaran.
KOMPAS/RIZA FATHONI—Awan hujan yang telah terbentuk dari penebaran semai garam sortie sebelumnya di langit kawasan Selat Sunda dilihat dari pesawat CN 295 Skuadron 2 TNI AU yang dipiloti Kapten (Pnb) Gilang dan Kopilot Letda (Pnb) Kukuh saat Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di langit kawasan Selat Sunda, Jumat (3/1/2020).
Teknologi modifikasi cuaca atau TMC untuk mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera diterapkan sejak Maret hingga Juni 2020. Puluhan juta meter kubik air hujan pun dihasilkan dari penerapan TMC dan meminimalkan jumlah titik panas penyebab kebakaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
TMC merupakan usaha pengendalian sumber daya air di atmosfer dengan memanfaatkan parameter cuaca. Hal ini bertujuan menambah atau mengurangi intensitas curah hujan pada daerah tertentu guna meminimalkan risiko bencana alam yang disebabkan faktor iklim dan cuaca.
Kepala Balai Besar TMC Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTMC-BPPT) Tri Handoko Seto, Rabu (17/6/2020), mengatakan, TMC telah dilaksanakan pada tiga periode selama masa pandemi Covid-19. Periode pertama pada 11 Maret-2 April dan periode kedua 13-31 Mei dilaksanakan TMC di Riau. Adapun periode ketiga pada 2-14 Juni dilaksanakan TMC di Sumatera Selatan dan Jambi.
Hujan buatan ini memanfaatkan ketersediaan bibit awan yang masih tersedia di masa peralihan menuju musim kemarau. Diharapkan, hujan buatan bisa membantu membasahi gambut selama mungkin untuk menurunkan risiko kebakaran.
KOMPAS/RIZA FATHONI—Petugas BPPT menunjukkan rute penebaran semai garam saat Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di langit kawasan Selat Sunda dari pesawat CN 295 Skuadron 2 TNI AU yang dipiloti Kapten (Pnb) Gilang dan Kopilot Letda (Pnb) Kukuh, Jumat (3/1/2020).
Saat pelaksanaan periode pertama, BBTMC menggunakan 21.600 kilogram senyawa natrium klorida (NaCl) atau garam sebagai bahan semai dengan 27 penerbangan. Upaya tersebut menghasilkan air hujan sebanyak 97,8 juta meter kubik dan menurunkan hingga 0 titik panas.
Pada TMC kedua, garam yang digunakan sebanyak 12.800 kilogram (kg) dengan 16 penerbangan dan menghasilkan 44,1 juta meter kubik air hujan. Selain mempertahankan jumlah 0 titik panas, upaya itu juga meningkatkan tinggi muka air lahan gambut. Sementara pada periode ketiga di Sumatera Selatan dan Jambi, sebanyak 8.800 kg garam digunakan untuk bahan semai dengan jumlah 11 penerbangan. Adapun air hujan yang dihasilkan sebanyak 24,14 juta meter kubik dan mempertahankan jumlah 0 titik panas.
”Yang perlu disoroti adalah saat ini masa peralihan menuju kemarau. Secara normal ada kecenderungan untuk turun. Kalau kita bisa mempertahankan tinggi muka air, itu sudah bagus, apalagi bisa ditingkatkan,” tutur Seto dalam webinar bertajuk ”Evaluasi Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk Mitigasi Bencana Karhutla”.
Ketua Umum Asosiasi Ahli Atmosfer Indonesia Widada Sulistya mengemukakan, keberhasilan TMC, di antaranya, ditentukan ketepatan dalam memilih awan yang akan disemai. Selain itu, waktu tepat untuk menyemai turut memengaruhi faktor keberhasilan TMC.
Meski demikian, penerapan TMC, menurut Widada, juga menemui sejumlah tantangan. Penerapan TMC memerlukan informasi dinamika atmosfer beresolusi tinggi sehingga dibutuhkan juga sistem komputasi berkapasitas tinggi.
”Informasi berbasis batas administrasi tidak selalu applicable untuk operasi TMC. Jadi perlu kerja sama dan kontribusi dari para ahli atmosfer dalam meningkatkan pemahaman tentang dinamika atmosfer kawasan tropis,” ujarnya.
Siklus penanganan
Tenaga Ahli Menteri Bidang Manajemen Landscape Fire Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan, siklus penanganan karhutla terbagi dalam lima fase. Pada Januari hingga April merupakan fase prakrisis di mana karhutla baru muncul di beberapa daerah, seperti Riau dan Kalimantan Barat.
Fase peringatan terjadi pada April hingga Juni dengan indikasi terjadinya satu atau lebih kejadian kebakaran. Pada Juni hingga Oktober merupakan fase krisis karena kerap terjadi karhutla di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, hingga menyebabkan kabut asap yang berdampak pada ekologi dan kesehatan.
Selanjutnya adalah fase pemulihan pada Oktober hingga November setelah melewati fase krisis dan aktivitas masyarakat kembali normal. Sementara Desember merupakan fase evaluasi terhadap dampak pemulihan yang disebabkan karhutla di beberapa tempat di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam rentang 2014-2019, karhutla terparah terjadi pada 2015 yang membakar 2,6 juta hektar lahan. Karhutla terparah kedua terjadi pada 2019 dengan total luas lahan terbakar sebesar 1,6 juta hektar.
Oleh PRADIPTA PANDU
Sumber: Kompas, 17 Juni 2020