Mumpung Tersedia Bibit Awan, Intensifkan Hujan Buatan

- Editor

Rabu, 29 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebakaran hutan dan lahan mesti diwaspadai. Sebab, beberapa pekan ke depan, sejumlah daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya Sumatera, diperkirakan telah memasuki musim kemarau.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI–Akibat kondisi lahan yang kering, kebakaran lahan kembali merebak di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (2/9/2019). Dalam tiga hari terakhir, titik panas di Sumsel mencapai 131 titik panas. Kebakaran tersebar di beberapa wilayah, seperti Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Penukal Abab Lematang Ilir, dan Musi Banyuasin. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi terus berupaya membuat hujan buatan untuk mengurangi dampak kebakaran.

Beberapa pekan lagi sejumlah daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya Sumatera, diperkirakan telah memasuki musim kemarau. Hal itu meningkatkan risiko berulangnya kejadian kebakaran hutan dan lahan akibat kekeringan pada lahan-lahan gambut dan tidak tersedianya air pada embung dan sumber-sumber air lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kejadian ini agar diantisipasi dengan memanfaatkan ketersediaan potensi awan untuk membasahi lahan-lahan gambut serta mengisikan air semaksimal mungkin pada sekat-sekat kanal dan embung-embung tandon air. Langkah ini masih memungkinkan dilakukan hingga Mei mendatang.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, Selasa (28/4/2020), di Jakarta, menyatakan, kondisi di Sumatera yang telah mengalami peningkatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) agar diantisipasi. Caranya adalah dengan melakukan pencegahan dari darat dan udara.

”Pencegahan karhutla melalui udara bisa dilaksanakan dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membasahi gambut, mengisi embung dan kanal yang sudah dibangun,” ungkapnya. Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hal ini masih memungkinkan dilakukan hingga Mei karena pada bulan Juni diperkirakan hujan mulai turun.

KOMPAS/KOMPAS–Proses modifikasi cuaca dengan pembuatan hujan buatan.

Area prioritas
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyatakan, TMC agar dilakukan pada area prioritas, terutama daerah yang mengalami karhutla berulang selama lima tahun terakhir. Hal itu bertujuan agar biaya TMC yang cukup besar tersebut bisa efektif mencegah kebakaran hutan dan lahan melalui hujan buatan dari penyemaian awan.

Data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menunjukkan, selama tahun 2020 sampai saat ini, patroli udara dan water bombing di Riau telah melibatkan sembilan helikopter dengan air yang sudah dijatuhkan lebih dari 11 juta liter. Sementara itu, TMC sudah dilakukan sebanyak 27 sorti dengan menaburkan lebih dari 21 ton garam.

Upaya lain, KLHK melalui Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan mengirimkan surat kepada 15 gubernur dan 31 bupati/wali kota untuk mendorong dilakukannya pembasahan lahan untuk mencegah karhutla. Dalam surat tersebut dilampirkan peta lahan gambut yang sudah ditumpang-susun (overlay) dengan titik kebakaran serta peta kelembaban tanah.

Wakil Menteri Alue Dohong menambahkan, selain TMC yang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), BMKG, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), upaya manual pembasahan gambut dan pencegahan karhutla juga dilakukan tim darat, yaitu Manggala Agni dan Brigade Kebakaran Hutan.

—-Pekerja memuat garam ke dalam badan pesawat Cassa sebelum pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di landasan Bandara Sultan Thaha, Jambi, Kamis (23/10). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengangkut 1 ton garam untuk menyemai awan di wilayah udara perbatasan Kabupaten Batanghari, Sarolangun (Jambi), dan Musi Banyuasin (Sumsel) dalam upaya menghasilkan hujan buatan di daerah itu.

Ia mengingatkan agar hal ini tetap dilakukan dengan memperhatikan protokol pencegahan Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru selama masa pandemi.

Berdasarkan satelit Terra/Aqua (NASA) dengan tingkat keyakinan di atas 80 persen, perbandingan total jumlah titik panas tahun 2019 dan 2020 (tanggal 1 Januari-27 April 2020) sebanyak 746 titik, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah titik panas sebanyak 1.186 titik (terdapat penurunan jumlah titik panas sebanyak 440 titik/37,10 persen).

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 28 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB