Penetapan batas wilayah antara Papua Niugini dan Provinsi Papua di Indonesia sepanjang 900 kilometer disepakati memakai sistem baru. Pengukuran batas itu berbasis global positioning system mengacu pada Sistem Geodesi Dunia (WGS) tahun 1984. Saat ini, WGS 84 digunakan hampir semua negara di dunia dalam pemetaan, geodesi, dan navigasi.
Kesepakatan itu melalui perundingan 11 tahun. “Sistem baru itu menggantikan pola pengukuran berbasis astronomi, yaitu penetapan posisi relatif bintang untuk menentukan koordinat di Bumi,” kata Lulus Hidayatno, Kepala Bidang Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial (BIG), Selasa (11/5).
Datum atau standar koordinat skema WGS 84 adalah referensi sistem koordinat atau Kerangka Referensi Datum Batas Wilayah (Common Border Datum Reference Frame/CBDRF) yang digunakan GPS saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengukuran CBDRF dengan skema WGS 84 di perbatasan dibuat BIG pada 2005. Dari rencana pemasangan 52 pilar atau meridian monument (MM) telah terbangun 49 MM. Monumen itu berupa tonggak setinggi 1-2 meter berpenampang 50×50 cm.
Pada perundingan dengan PNG, akhir April lalu, menurut Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG Tri Patmasari, disepakati menyelesaikan pembangunan 3 MM lagi. Pemasangan pilar itu melalui joint field survey. “Selain itu juga akan dilaksanakan perapatan pilar batas 10 titik tahun ini,” ujar Tri.
Menurut Lulus, jumlah sebanyak itu relatif jarang. Minimal, setiap 2 km perlu ada satu pilar. Jadi, untuk panjang batas sekitar 900 km diperlukan total 450 pilar. Sebagai pembanding, batas wilayah Indonesia-Malaysia sepanjang 2.000 km di Kalimantan terpasang 20.000 pilar.
Soal akurasi
Menurut Lulus, penggunaan GPS untuk penetapan koordinat setiap pilar jauh lebih akurat daripada sistem astronomi yang tergolong konvensional. Penyimpangan GPS hanya dalam itungan milimeter, sedangkan berbasis posisi bintang ordonya hingga ratusan meter. “Mengacu GPS, batas ditetapkan secara jelas dan tegas,” ujarnya.
Selain itu, dengan menggunakan GPS, dapat dilakukan perapatan pemasangan pilar atau pada garis batas tersebut. Dengan adanya perapatan pilar, kasus lintas batas dapat diredam.
BIG juga akan mengukur lagi kedalaman batimetri sebagian kecil Sungai Fly yang menjadi bagian garis perbatasan. Bagian sungai itu melengkung, berada di antara garis batas tegak lurus utara-selatan yang memisahkan Pulau Papua. “Bagian taweh atau dasar sungai terdalam dari sungai itu sebagai median batas wilayah akan diukur,” ujarnya. Saat ini, sungai itu mendangkal.
“Penyelesaian batas negara merupakan salah satu program prioritas yang harus diselesaikan BIG melibatkan instansi terkait,” kata Kepala BIG Priyadi Kardono. Untuk penyelesaian batas wilayah dengan PNG, BIG terlibat dalam Joint Implementation Monitoring Working Group Indonesia-PNG, akhir April 2016, di Bogor.
Pertemuan teknis yang dipimpin Lulus mewakili RI dan Christ Manda dari PNG itu dihadiri wakil Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, Direktorat Topografi Angkatan Darat, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Badan Intelijen Strategis TNI. Pertemuan lanjutan di tingkat menteri akan dilakukan tahun ini. (YUN)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Batas Wilayah Papua dan PNG Berbasis GPS”.