Sumber Daya Laut Terus Dikuras

- Editor

Rabu, 29 Januari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Investasi dan eksploitasi terhadap lautan hendaknya mempertimbangkan aspek keberlanjutan untuk menjaga masa depan laut bagi umat manusia.

PERTAMINA–Salah satu anjungan pengeboran migas lepas pantai di Kalimantan Timur milik Pertamina.

Tekanan manusia terhadap lautan meningkat tajam pada awal abad ke-21 dan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Investasi dan eksploitasi ini agar mempertimbangkan aspek keberlanjutan untuk menjaga masa depan laut bagi umat manusia. Ini menjadi hasil dari analisis baru yang komprehensif tentang keadaan lautan oleh sekelompok peneliti dari Stockholm Resilience Centre, Universitas Stockholm.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Laporan berjudul The Blue Acceleration: The Trajectory of Human Expansion Into The Ocean ini dipublikasikan dalam jurnal One Earth, 24 Januari 2020. Para ilmuwan mensistensis 50 tahun data berseri mulai dari pengiriman, pengeboran, penambangan laut dalam, budidaya perairan, bioprospeksi, dan banyak desalinasi.

Disebutkan dalam laporan ilmiah tersebut, sektor minyak dan gas merupakan industri laut terbesar yang bertanggung jawab atas sepertiga dari nilai ekonomi kelautan. Kemudian, pertambangan material pasir dan kerikil dari dasar laut untuk memenuhi permintaan industri konstruksi pun tak kalah tajam.

Sementara itu, pengolahan air laut menjadi air tawar atau proses desalinasi ternyata juga masuk perhitungan dalam eksploitasi tersebut. Kebutuhan air tawar yang semakin langka akibat perubahan iklim dan bencana membuat manusia ”terpaksa” membangun 16.000 pabrik desalinasi di seluruh dunia dalam 50 tahun terakhir dengan kenaikan tajam sejak tahun 2000.

”Mengklaim sumber daya dan ruang laut bukanlah hal baru bagi umat manusia, tetapi tingkat, intensitas, dan keragaman aspirasi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Jean-Baptiste Jouffray dari Stockholm Resilience Center, penulis utama pada laporan itu, seperti dikutip Sciencedaily 24 Januari 2020.

Kemajuan teknologi
Industrialisasi laut berlangsung pesat pada akhir abad terakhir, didorong oleh kombinasi kemajuan teknologi dan menurunnya sumber daya berbasis darat. Proses yang disebut para peneliti dengan ”Akselerasi Biru” ini dilihat sebagai perlombaan untuk sumber daya dan ruang laut, menghadirkan risiko dan peluang untuk keberlanjutan global.

KOMPAS/RENY SRI AYU–Warga menikmati areal bersantai di kawasan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di sekitar Pantai Losari, Makassar, Jumat (17/1/2020). Kawasan reklamasi ini memanfaatkan tambang pasir dari laut di Kabupaten Takalar.

Studi ini menyoroti beberapa dampak positif manusia, misalnya area yang dilindungi dari eksploitasi meningkat secara eksponensial dengan lonjakan sejak tahun 2000 yang juga tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Teknologi ladang angin lepas pantai telah mencapai kelayakan komersial dalam periode ini memungkinkan dunia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Di Indonesia misalnya—tak disebut dalam jurnal tersebut—memiliki luas kawasan konservasi laut 23,14 juta hektar. Ini masih terus digenjot hingga mencapai 10 persen dari luas laut Indonesia seluas 325 juta hektar sesuai target Konferensi Para Pihak (COP) The Convention on Biological Diversity (CBD) pada 2010.

Para ilmuwan Stockholm Resilience Centre, Universitas Stockholm, menyerukan agar sisi-sisi positif ini pun terus diakselerasi dan mendapatkan perhatian. Ini bisa membahas dengan siapa yang harus mendukung Akselerasi Biru, apa yang membiayai, dan siapa yang diuntungkan darinya. Para ilmuwan mengatakan, ini adalah kesempatan untuk menilai dampak sosial-ekologis dan mengelola sumber daya laut untuk keberlanjutan jangka panjang.

Mereka menyoroti tingkat konsolidasi yang tinggi terkait industri makanan laut, eksploitasi minyak dan gas bumi, serta bioprospeksi dengan hanya segelintir perusahaan multinasional yang mendominasi setiap sektor. Tim tersebut menyarankan agar bank dan investor lain dapat mengadopsi kriteria keberlanjutan yang lebih ketat untuk investasi laut.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor: YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 28 Januari 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 14 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB