Ketika Lautan Kehabisan Oksigen

- Editor

Kamis, 11 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejak 50 tahun terakhir, oksigen terlarut di lautan terus menyusut. Pemanasan global menjadi penyebab utamanya. Penyusutan oksigen ini akan berdampak besar terhadap kehidupan makhluk hidup di Bumi.

Oksigen merupakan penopang utama kehidupan di mana sekitar separuh cadangan di Bumi terlarut di lautan. Namun, konsentrasi oksigen di lautan kini cepat menyusut. Seiring dengan penyusutan ini, luas zona lautan mati, yaitu perairan tanpa kehidupan, pun meluas. Bencana besar di ambang mata.

Kajian yang dipublikasikan di jurnal Science, pada 4 Januari 2018, menunjukkan, dalam 50 tahun terakhir, luasan perairan terbuka yang kehilangan oksigen terlarut berlipat empat kali. Kadar oksigen terlarut yang digolongkan rendah jika kurang dari 2 miligram per liter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kajian ini diinisiasi tim peneliti yang tergabung dalam Global Ocean Oxygen Network, yaitu kelompok kerja yang dibentuk Komisi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disebutkan, volume penyusutan oksigen di lautan lepas dalam kurun itu diperkirakan sebesar 2 persen atau sekitar 77 miliar metrik ton. Sementara luasan lautan minim oksigen telah mencapai 4,5 juta kilometer persegi atau seluas Uni Eropa.

Penurunan konsentrasi oksigen secara cepat terutama terjadi di kawasan pesisir, yaitu mencapai 500 lokasi. Jumlah ini berlipat 10 kali sejak tahun 1950-an dan diperkirakan bisa lebih banyak lagi, karena banyak pesisir di negara berkembang yang tidak ada data pantauan rutinnya, seperti di Indonesia.

Denise Breitburg, ketua tim peneliti yang juga ahli ekologi kelautan dari Smithsonian Environmental Research Center, mengatakan, penyusutan oksigen terlarut atau dikenal sebagai deoxygenation ini merupakan perubahan amat penting di alam yang disebabkan ulah manusia. Hal ini karena oksigen merupakan unsur dasar bagi proses biologi dan biokimia di lautan.

Penurunan oksigen terlarut akan mengubah produktivitas lautan, keragaman hayati, dan siklus biokimia. Dalam skala yang parah, penyusutan oksigen menyebabkan laut mati, yaitu menghilangnya organisme dari lautan. Fenomena ini misalnya telah terjadi di Teluk Meksiko.

Sekalipun perairan di laut terbuka di Indonesia tak termasuk yang disebut mengalami penyusutan kadar oksigen, kita perlu waspada untuk kawasan pesisir ataupun perairan tertutup. Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo ataupun Etty Riani dari Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebut, secara nasional ada tren penurunan kadar oksigen terlarut, terutama di pesisir perkotaan dan kawasan teluk.

Salah satu contoh daerah yang mengalami penyusutan kadar oksigen terlarut ialah Teluk Jakarta dan pesisir timur Surabaya. Menurut kajian Emmy Woelansari dari Jurusan Oseanografi Universitas Hang Tuah, Kepulauan Riau (2017), kadar oksigen terlarut di pantai timur Surabaya pada level terendah mencapai 2,5 mg per liter.

Faktor manusia
Dalam kajian ini disebutkan, pemanasan global yang dipicu meningkatnya gas rumah kaca menjadi penyebab utama terjadinya penurunan kadar oksigen di lautan terbuka. Memanasnya permukaan laut menyebabkan oksigen sulit masuk ke laut lebih dalam. Oleh karena itu, seiring dengan pemanasan permukaan air, kadar oksigen lautan secara global juga menurun.

Seiring dengan laju pemanasan global, permukaan laut pun memanas. Data dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tahun 2017 mencatat, suhu daratan dan lautan jadi yang terpanas ketiga dalam sejarah. Tahun terpanas terjadi pada 2016 dan 2015. Namun, 2017 menjadi tahun terpanas sepanjang masa tanpa ada El Nino. Disebutkan, pada November 2017, suhu Bumi lebih panas sekitar 2 derajat celsius dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya.

Sementara penurunan oksigen di perairan pesisir terutama dipicu oleh peningkatan nutrisi, utamanya fosfor dan nitrogen, serta pencemaran limbah organik, dari rumah tangga, kegiatan pertanian, dan bahan bakar fosil. Melimpahnya nutrisi dan material organik di perairan memicu suburnya pertumbuhan ganggang, yang ketika mati dan membusuk menyebabkan oksigen di air terkuras. Oksigen terkuras lantaran digunakan oleh mikroba untuk mengurai ganggang tersebut.

Pertambahan populasi manusia yang berlipat kali sejak tahun 1950 telah memicu sektor pertanian untuk meningkatkan produksi. Jalan yang ditempuh adalah menggenjot penggunaan pupuk kimia. Menurut kajian A F Bouwman (2005), hanya dalam kurun waktu 30 tahun dari tahun 1970-2000, volume nitrogen yang dilepaskan dari sektor pertanian ke sungai-sungai dan kemudian ke pesisir telah meningkat hingga mencapai 43 persen.

Kekhawatiran global
Temuan terbaru tentang penyusutan oksigen di lautan ini telah menguatkan kekhawatiran para ilmuwan tentang masa depan kehidupan di Bumi. Pada November 2017, sebanyak 15.364 ilmuwan dari 184 negara mengeluarkan peringatan bahwa Bumi telah mendekati titik akhir di mana laju kehancurannya tak bisa lagi dicegah.

Perubahan iklim jadi kekhawatiran utama. Rata-rata emisi karbon dioksida meningkat sampai 62 persen sejak 1992
sehingga laju kenaikan suhu atmosfer dan lautan susah direm.

Peringatan yang ditulis dalam jurnal BioScience ini merupakan peringatan kedua setelah pada tahun 1992, lebih dari 1.700 ilmuwan terkemuka dunia, termasuk sebagian besar peraih Nobel yang tergabung dalam Union of Concerned Scientist, mengeluarkan seruan senada. Dalam manifesto itu, mereka menunjukkan, kehancuran Bumi itu disebabkan ulah manusia yang mengeksploitasi alam di luar batas kemampuannya.

Dalam seruan tahun 1992 itu, ancaman tentang meluasnya zona laut mati (ocean dead zone), termasuk yang telah dikhawatirkan. Namun, kondisinya ternyata semakin parah.

Nasib Bumi di masa depan bergantung pada tindakan kita saat ini. Bumi yang telah berumur miliaran tahun ini pernah mengalami pemusnahan massal setidaknya lima kali. Berbeda dengan pemusnahan sebelumnya yang dipicu peristiwa alam, seperti letusan gunung api raksasa, banjir besar, ataupun jatuhnya meteor, pemusnahan massal kali ini dipicu olah ulah manusia. (AHMAD ARIF)

Sumber: Kompas, 11 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Berita Terbaru