Lautan adalah masa depan Indonesia. Tak hanya menjadi sumber protein, laut juga menjadi sumber daya mineral masa kini dan masa depan, terutama minyak dan gas, yang kian menipis. Namun, lautan Indonesia juga spesifik karena berpotensi gempa besar dan tsunami sehingga pembangunannya harus ekstra hati-hati.
”Saat ini eksploitasi sumber daya mineral di daratan sudah sangat sulit. Pasti akan memicu banyak konflik karena daratan dipadati penduduk,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono, Selasa (16/9), di Jakarta.
Menurut Surono, salah satu hambatan keterlambatan eksploitasi cadangan minyak dan gas baru di Indonesia karena selama ini surveinya dilakukan di daratan. Adapun survei seismik di daratan sangat sulit, terutama karena persoalan konflik lahan.
”Potensi kita untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas tinggal dari lautan, yang luasannya mendominasi. Bisa dikatakan, masa depan kita ada di laut,” katanya. ”Hanya saja bagaimana ilmu pengetahuan membantu kita mengambilnya tanpa mencemari.”
Berbasis mitigasi
Tidak bisa tidak, kata Surono, eksploitasi maritim di Indonesia harus berhati-hati. Sebab, wilayah laut rentan dilanda gempa besar dan tsunami. ”Sepuluh tahun terakhir ada 12 gempa besar di dunia yang korbannya 1.000 orang lebih. Empat bencana di Indonesia, Aceh tahun 2004, Nias 2005, Yogyakarta 2006, dan Padang 2009,” katanya.
Gempa Aceh tahun 2004 yang menewaskan lebih dari 150.000 orang merupakan tsunami dengan korban terbanyak dalam sejarah modern. ”Dari empat gempa besar dalam 10 tahun terakhir, tiga di antaranya bersumber di laut. Namun, penelitian kita tentang ini masih sangat jarang,” ujarnya.
Surono mengusulkan, mitigasi bencana dilihat sebagai investasi dalam pembangunan yang berbasis maritim. ”Sekarang seolah- olah mitigasi bencana masih dilihat sebagai beban. Padahal, gempa dan tsunami yang terjadi tiba-tiba bisa menyebabkan kerugian triliunan rupiah,” katanya.
Diberitakan Kompas, sepuluh tahun terakhir, kerugian ekonomi akibat bencana Rp 126,7 triliun atau rata-rata Rp 13 triliun per tahun. Namun, menurut Abdul Muhari, peneliti Indonesia yang bekerja di International Research Institute of Disaster Science, setiap tahun dalam APBN tidak ada anggaran untuk menanggulangi potensi kerugian ekonomi akibat bencana. (AIK)
Sumber: Kompas, 17 September 2014