Sepeda motor listrik Gesits mulai diproduksi awal 2019. Jika diterima masyarakat, mobil Esemka pun segera diwujudkan.
Awal tahun depan, Indonesia siap memproduksi massal sepeda motor listrik Gesits. Produksi akan berlangsung di pabrik di Sentul, Kabupaten Bogor, dengan kapasitas 50.000-60.000 unit per tahun. Kendaraan ini bisa dipacu sampai 100 kilometer per jam. Harga jualnya di kisaran Rp 20 juta per unit.
Demikian dikatakan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, Kamis (22/11/2018), seusai pemaparan kinerja 4 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Forum Merdeka Barat 9 di Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nasir mengatakan, Gesits merupakan kolaborasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, industri, dan Kemristekdikti. Negara dalam hal ini berperan mendorong produksi kendaraan ramah lingkungan untuk masyarakat secara mandiri. Teknologi kendaraan listrik masih berjalan di dunia meski belum menjadi yang utama. Kendaraan yang mayoritas diproduksi masih memakai bahan bakar minyak atau setidaknya hibrida dengan listrik.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Sepeda motor listrik Gesits saat dipamerkan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur. Kendaraan yang dikembangkan dari penelitian Kampus Sukolilo itu pada Januari 2019 siap diproduksi secara massal.
Menurut Nasir, karena teknologi kendaraan listrik belum menjadi yang utama, Indonesia tidak merasa tertinggal. Meski sepeda motor listrik (semoli) sudah ada yang dipasarkan di Indonesia, tetapi produksi sendiri diyakini akan lebih diminati oleh masyarakat.
Semoli yang dijual di pasaran saat ini rata-rata hanya mampu dipacu maksimal 40 kilometer per jam. Semoli yang bisa dipacu sampai 80 kilometer per jam harga jualnya menembus Rp 100 juta per unit.
Adapun Gesits, lanjut Nasir, merupakan sepeda motor listrik dengan struktur umum. Kendaraan ini bisa dipacu sampai 100 kilometer per jam. Pengukur kecepatan pada kepala kendaraan merupakan telepon seluler yang bisa dicopot dan difungsikan bukan sekadar untuk mengukur laju dan indikasi daya listrik. Selain itu, sistem daya kendaraan memakai metode baterai swap atau tukar baterai yang nantinya berlangsung di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
“Tugas kami dalam penelitian dan pengembangan sudah selesai. Untuk produksi dan harga jual kami sebenarnya tidak berwenang,” kata Nasir. Namun, apabila benar bisa diproduksi awal tahun depan, pemesanan sudah bisa ditempuh.
Mobil Esemka
Jika produksi Gesits berjalan sesuai harapan, pemerintah siap mendorong produksi mobil listrik Esemka. Produksi mobil listrik tentu harus melihat perkembangan Gesits ke depan. Pada 2019, produksi 50.000-60.000 unit setahun itu bisa ditingkatkan sampai empat kali lipat sesuai kapasitas maksimal pabrik di Sentul.
“Jika diterima dengan baik, produksi mobil listrik bisa diwujudkan,” ujar Nasir. Pemakaian kendaraan listrik akan menghemat konsumsi BBM publik. Konsumsi listrik pada kendaraan lebih hemat 30 persen daripada BBM. Padahal, untuk konsumsi BBM, negara harus mengimpor 400.000 barel per hari. Itu senilai Rp 240 triliun per tahun. Penghematan anggaran untuk BBM bisa dialokasikan untuk program lain yang lebih bermanfaat yakni kesehatan, pendidikan, dan prasarana.
Selain kendaraan umum, Indonesia juga mampu memproduksi kendaraan untuk kepentingan industri militer. Kepala Badan Sarana Pertahanan Laksamana Muda Agus Setiadji mengatakan, kurun 2015-2018, Indonesia telah mengekspor produk industri pertahanan senilai 284,1 juta dollar AS. Untuk penjualan dalam negeri atau dipakai oleh TNI/Polri, kurun waktu yang sama telah menembus Rp 4,5 triliun.
Untuk penjualan dalam negeri tahun ini, dianggarkan Rp 3,8 triliun. “Jadi ada beberapa produk tidak boleh beli dari mancanegara atau memakai produk dalam negeri untuk kemajuan industri domestik,” kata Agus.
Industri pertahanan di Indonesia juga terus bersiap untuk megaproyek produksi 12 kapal selam. Meski teknologi kapal selam belum dikuasai secara penuh, tetapi Indonesia telah mampu turut membuat satu unit di PT PAL Indonesia (Persero), Surabaya.–AMBROSIUS HARTO
Sumber: Kompas, 23 November 2018