Riset Atmosfer Samudera Hindia Masih Minim

- Editor

Senin, 26 Maret 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Riset tentang dinamika atmosfer di perairan Samudera Hindia yang semakin dinamis akibat perubahan iklim masih sangat sedikit. Padahal, penelitian itu penting mengingat Samudera Hindia memegang peran kunci dalam menentukan iklim global termasuk cuaca ekstrem di Indonesia, bahkan dunia.

Hal itu mengemuka dalam pembukaan pertemuan tahunan konferensi International Indian Ocean Expedition (IIOE) 2 di auditorium Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta, Rabu (21/3). Kegiatan ini merupakan wadah pertemuan para pakar oseanografi dan iklim dari negara-negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia.

“Riset dan ekspedisi ini harus dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi lebih banyak dan lebih lengkap tentang kondisi laut sebab Indonesia negara maritim dan pembangunan maritim menjadi poros ekonomi,” kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pelaksana tugas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto mengatakan, pihaknya akan memanfaatkan riset dan ekspedisi tersebut untuk membuat pemetaan tentang kondisi laut Indonesia secara menyeluruh di permukaan maupun kolom air, termasuk biodiversitasnya.

–Konferensi International Indian Ocean Expedition (IIOE) 2 di Auditorium Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta, Rabu (21/3).

“Pemetaan penting untuk merumuskan kebijakan tentang pemanfaatan laut misalnya untuk layanan maritim, pengelolaan lingkungan, prediksi iklim,” kata Bambang.

Selain itu, pemetaan laut bisa menjadi dasar perumusan kebijakan dibidang ketahanan pangan dan energi serta pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir. Masyarakat pesisir memiliki kerifan lokal untuk menjaga kelestarian alam. Hasil riset kelautan juga bisa dimanfaatkan untuk mitigasi bencana seperti gempa bumi, cuaca ekstrem, dan tsunami.

Indonesia berharap mendapat informasi tentang hasil riset di Samudera Hindia yang dilakukan oleh negara lain. Lipi sudah melakukan ekspedisi riset kelautan bersama BMKG dan ke depan bekerja sama dengan Singapura tentang ekspedisi biodiversitas di Laut Jawa.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin menambahkan, sinergi riset kelautan memberikan banyak manfaat. LIPI, BMKG dan sejumlah universitas membangun konsorsium riset samudera. Salah satunya adalah, meneliti sampah di laut Indonesia yang volumenya terbesar kedua di dunia dengan memahami dinamika arus laut yang disebabkan oleh pergerakan angin.

Bisa saja sampah di Indonesia datang dari negara tetangga. Saat musim barat, sampah bergerak dari Bangladesh, India, bahkan Madagaskar ke Indonesia. Sebaliknya saat musim timur, sampah bergerak dari Cina. Sampah-sampah itu menumpuk di Indonesia karena lautnya tenang dan dangkal.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Dirhamsyah, riset terbaru terhadap sampah di laut dilakukan dengan mengambil sampel di Morotai yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Hasilnya ditemukan kandungan nanoplastik dalam sampah.

“Sampah dengan kandungan nanoplastik ini tidak mungkin berasal dari Indonesia. Pasti berasal dari negara-negara di kawasan Pasifik. Ini yang akan diteliti dan dibuktikan kebenarannya,” ujar Dirhamsyah.

Dirhamsyah mengatakan, pihaknya sudah membangun jejaring dengan 15-20 perguruan tinggi negeri dan swasta untuk memonitoring jenis-jenis sampah di laut, mengukur volumenya, dan meneliti asal usulnya dengan memakai metode arus laut. Contoh kasus meneliti banyaknya sampah di Bali, apakah berasal dari Madura atau Bali sendiri.

Konferensi IIOE-2 ini diharapkan memperkuat komitmen negara-negara yang dibatasi oleh Samudera Hindia untuk mengembangkan riset terutama tentang perubahan iklim. Sebagai gambaran, kenaikan suhu udara di dalam maupun diatas permukaan laut hingga 2 derajat celsius akan berdampak pada biota laut.

Ikan dan biota laut lain akan bermigrasi misalnya ke kawasan perairan selatan yang suhunya lebih dingin. Dampak lain kenaikan suhu, jumlah pulau akan berkurang karena permukaan air laut naik.–RUNIK SRI ASTUTI

Sumber: Kompas, 22 Maret 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB