Data Iklim Kelautan di Samudra Hindia Minim

- Editor

Sabtu, 26 Mei 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Samudra Hindia dinilai amat memengaruhi pola cuaca dan iklim skala regional hingga global. Namun, data pemantauan parameter cuaca kelautan di kawasan ini masih amat terbatas.

Minimnya data itu bisa memengaruhi kualitas prediksi cuaca dan iklim secara global, termasuk cuaca di Indonesia sendiri dalam lingkup regional. Karena itu, survei kelautan di Samudra Hindia harus ditingkatkan.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Prabowo Rahadi Mulyono menyampaikan hal itu, Jumat (25/5/2018) di Jakarta, berkaitan dengan pelepasan tim ekspedisi kelautan Indonesia Program Initiative on Maritime observation and Analysis (Indonesia Prima) 2018 dari Pelabuhan Cirebon, Rabu (23/5/2018). Ekspedisi tahunan ini merupakan program kerja sama BMKG dan National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat sejak 2015.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama ini Samudra Hindia merupakan sumber gangguan atmosfer yang memengaruhi kondisi cuaca dan iklim di Indonesia. Namun, data meteorologi di wilayah ini masih sedikit. Karena itu, perlu pengumpulan data memadai untuk memahami lebih rinci karakteristik gangguan atmosfer. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi potensi kondisi ekstrem cuaca dan iklim di Indonesia.

SUMBER: HUMAS BMKG–Tim ekspedisi kelautan Indonesia Program Initiative on Maritime Observation and Analysis (Indonesia Prima) 2018 dari Pelabuhan Cirebon, Rabu (23/5/2018).

Ekspedisi Indonesia Prima juga termasuk bentuk partisipasi BMKG dalam Global Ocean Observing System (GOOS). ”Data survei ini juga digunakan untuk membangun sektor kemaritiman di masa depan sesuai dengan rencana pemerintah membangun poros maritim dunia,” kata Prabowo.

Jalur ekspedisi
Ekspedisi itu memakai Kapal Riset Geomarin III milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tim ekspedisi akan bertolak dari Pelabuhan Cirebon untuk melakukan pelayaran selama tiga pekan sampai pertengahan Juni 2018.

Survei dilakukan di lima titik di Samudra Hindia dan Perairan Barat Sumatera hingga Teluk Benggala. ”Pelayaran akan berakhir di Pelabuhan Sibolga,” kata Prabowo.

Ekspedisi kali ini terdiri atas 12 peserta dari BMKG, Taruna, dan dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Universitas Sriwijaya, dan dari NOAA. Mereka akan melakukan pengamatan data meteorologi maritim, atmosfer, oseanografi, dan pengamatan geofisika kelautan. Pengamatan cuaca dilakukan setiap jam selama rute pelayaran.

Data pelampung
”Survei ini menjadi bagian dari pemeliharaan bouy RAMA (Research Moored Array for African-Asian-Australian Monsoon Analysis and Prediction) yang terpasang di Samudra Hindia,” kata Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama. Selain di Samudra Hindia, jejaring bouy RAMA terdapat di Samudra Atlantik dan Pasifik.

”Dengan data pengamatan parameter lingkungan laut dan udara oleh jejaring pelampung, akan diperoleh data kecenderungan cuaca di Indonesia tersebut,” kata Nelly.

Dengan data pengamatan parameter lingkungan laut dan udara oleh jejaring pelampung, akan diperoleh data kecenderungan cuaca di Indonesia tersebut.

Saat ini ada lima bouy atau pelampung yang terpasang di lima lokasi di Samudra Hindia. Penempatannya dalam pola sejajar pada jarak tertentu berada dekat wilayah perairan Indonesia. Pada ekspedisi ini, lima bouy akan digantikan dengan yang baru. Lima pelampung itu menjadi tanggung jawab BMKG untuk memelihara dan memantaunya.

Data pengukuran dari bouy akan dikirim secara langsung ke pusat pemantau di BMKG dan NOOA. ”Data pengamatan buoy-RAMA nantinya akan terintegrasi pada portal Midas (Maritime Integrated Data System), portal yang dimaksudkan untuk rumah data bagi seluruh kegiatan yang terkait dengan kelautan secara real time atau seketika,” ucap Prabowo.

Selain mengganti buoy Rama, menurut Nelly, target ekspedisi tahun ini akan melengkapi data meteorologi dan oseanografi di jalur ekspedisi. Data ini menjadi masukan bagi kajian tentang interaksi udara laut yang berpengaruh terhadap dinamika cuaca dan variasi iklim, seperti fenomena Madden Julian Oscillation dan Indian Ocean Dipole.

”Adapun ekspedisi tahun lalu tim BMKG menghasilkan kajian ilmiah di bidang meteorologi, oseanografi, dan juga geofisika, dengan menggunakan data buoy-RAMA ataupun data pada jalur ekspedisi,” kata Nelly.–YUNI IKAWATI

Sumber: Kompas, 26 Mei 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB