Peneliti Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan fosil tulang binatang yang diduga telah berusia sekitar 11.000 tahun di sebuah goa di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur dalam sebuah penelitian pada April-Mei 2018. Diperkirakan, fosil tersebut merupakan sisa tulang-belulang hewan yang dahulu dikonsumsi oleh manusia awal penghuni Pulau Kangean.
Jika diamati secara lebih teliti, pada bagian fosil tulang hewan tersebut terdapat sisa-sisa pembakaran. Pertanda inilah yang menguatkan dugaan bahwa hewan itu dibakar dan kemudian dimakan oleh manusia yang hidup pada masa itu.
–Pulau Kangean dilihat dari Google Maps.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain menemukan fosil tulang, peneliti Balar DIY juga menemukan artefak-artefak lain berupa cangkang kerang, biji-bijian, cangkang kepiting, dan gerabah.
“Sampai sekarang kami memang belum berhasil menemukan tulang-belulang manusia. Akan tetapi, keberadaan fosil tulang hewan, cangkang kerang dan kepiting, serta jejak lainnya menunjukkan bagaimana Pulau Kangen turut menjadi ‘batu loncatan’ bagi manusia-manusia awal yang bermigrasi ke Nusantara,” kata arkeolog Balai Arkeologi DIY Alifah Ali, Kamis (28/2/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Aneka macam fosil tulang, cangkang, dan biji-bijian tersebut ditemukan di Goa Arca di Pulau Kangean setelah peneliti menggali lubang uji 1 meter x 1 meter dengan kedalaman 45 sentimeter. Tahun ini Balar DIY akan melanjutkan penelitian di tempat tersebut dengan melakukan ekskavasi untuk mengungkap lebih dalam lapis-lapis sejarah hunian manusia di Pulau Kangean.
Batu loncatan
Dengan penemuan jejak hunian manusia lebih dari 11.000 tahun lalu di Pulau Kangean, Alifah meyakini bahwa pulau tersebut dimanfaatkan sebagai “batu loncatan” arus migrasi besar manusia ke pulau-pulau Nusantara. Untuk membuktikan dugaan ini, para peneliti kemudian mencoba mengekskavasi permukaan-permukaan goa-goa di Pulau Kangen, Pulau Paliat, dan Pulau Salarangan yang juga masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep.
“Di lubang uji, kami juga menemukan batu-batu rijang berwarna cokelat dengan ciri-ciri terdapat sisa pangkas atau jejak pakai,” tambah Alifah.
Arkeolog senior Balar DIY Harry Widianto mengatakan, manusia modern (Homo Sapiens) awal datang ke Indonesia sekitar 70.000 tahun silam. Mereka bermigrasi dari arah timur (Melanesia, Australia Tenggara, dan Tasmania) bergerak ke selatan dan barat, lalu bertemu dengan migrasi barat dari jalur Moh Khiew, Tabon, Wajak, dan Niah untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara.
“Keturunan mereka, ras Australomelanesid, kemudian tersebar luas sejak 15.000 tahun yang lalu, dan segera digantikan oleh pendatang baru, yaitu ras Mongoloid, sekitar 4.000 tahun silam,” kata Harry.
Manusia modern datang ke Kepulauan Nusantara melalui dua gelombang migrasi yang berbeda dari arah timur dan barat. Ras Australomelanesid yang mampu bertahan, bahkan hingga saat ini, kemudian berbaur dengan ras Mongoloid, terutama di daerah Wallacea bagian selatan dengan hasil pembauran berupa penduduk Indonesia bagian barat saat ini.
”Betapa pun kuatnya diversitas ras dan etnik saat ini yang dimiliki Indonesia, situasi ini justru mengajarkan bahwa kita ini sebenarnya berasal dari akar genetis yang sama. Keragaman yang dimiliki bangsa ini sebenarnya adalah buah dari pohon yang sama, pohon evolusi, yang berakar setidaknya sejak 70.000 tahun lalu tanpa terputus,” tutur Harry.
Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 1 Maret 2019