Temuan baru tulang pinggul manusia purba di Sangiran, Jawa Tengah yang diperkirakan berusia 1,7 juta tahun memunculkan pertanyaan tentang teori migrasi manusia purba “Out of Africa”. Meski demikian, butuh waktu yang panjang dan bukti-bukti yang kuat untuk mematahkan teori ini.
Dalam penelitian pada 12-27 Agustus 2019, Tim Penelitian Puslit Arkenas yang diketuai Prof Harry Widianto menemukan beberapa fragmen tulang hewan dan manusia di Ngampon dan Mlandingan, Desa Sangiran, Kecamatan Sragen. Para peneliti menemukan tulang paha dan gigi geraham harimau (Panthera tigris), gigi geligi buaya rawa (Crocodylus siamensis), pecahan tempurung dada kura-kura, serta fragmen tulang pinggul manusia pada lapisan endapan lempung hitam Formasi Pucangan yang diyakini menunjukkan usia 1,7 juta tahun.
Sebelumnya, pada 17 Juni-4 Juli 2019, tim penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang juga diketuai Prof Harry menemukan Fosil tulang Homo erectus dan kapak perimbas di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yang diperkirakan berusia 1,8 juta tahun. Temuan di Sangiran dan Bumiayu tersebut memunculkan pertanyaan tentang teori migrasi “Out of Africa” yang menggariskan Homo erectus berasal dari Afrika sejak 1,8 juta tahun lalu dan kemudian bermigrasi ke Pulau Jawa pada 1,5 juta tahun silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Pengunjung melihat Pameran Koleksi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran bertema “Evolusi Kita” di House of Sampoerna, Surabaya, Rabu (24/10/2018). Selain untuk menggalakkan minat generasi muda untuk ke museum pameran yang berlangsung hingga 29 November tersebut mengajak pengunjung untuk mengetahui sejarah evolusi manusia.
Dengan dugaan awal bahwa usia Homo erectus di Sangiran berusia 1,7 juta tahun dan Homo erectus Bumiayu 1,8 juta tahun, Harry memperkirakan mereka hadir di tanah tua Jawa jauh lebih awal dibanding dengan teori “Out of Africa” itu. Karena itulah muncul dugaan bahwa mereka bukanlah para migran dari Afrika, akan tetapi merupakan cikal-bakal lokal, yang tumbuh dan berkembang pada masing-masing habitat mereka di Pulau Jawa, sejak 1,8-1,7 juta tahun lalu dan mengalami evolusi lokal, sesuai dengan teori Multi-Regional, bukan “Out of Africa”.
Menanggapi hal ini, arkeolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Daud Aris Tanudirjo mengatakan, munculnya teori “Out of Africa” membutuhkan rangkaian penelitian yang lama dan perdebatan yang panjang. “Afrika diteliti oleh banyak ahli sehingga temuannya banyak dan mereka bisa menyusun rangkaian evolusi manusia secara agak lengkap. Saya cenderung hati-hati. Setelah ada satu temuan, mesti ditunggu dulu apakah ada temuan-temuan lainnya lagi. Karena teori ‘Out of Africa’ didukung dengan bukti-bukti yang banyak, maka klaim itu tidak muncul secara tiba-tiba,” ucap Daud, Jumat (30/8/2019) saat dihubungi Kompas dari Jakarta.
Setelah Eugene Dubois menemukan atap tengkorak dan gigi geraham manusia bercorak primitif pada 1891, banyak ahli berdatangan ke Indonesia. Akan tetapi, sejak 1940, minat peneliti menguak keberadaan manusia purba bergeser ke Afrika karena intensitas penemuan fosil di benua tersebut sangat tinggi dan beragam sehingga para peneliti bisa menyusun tahapan-tahapan evolusi.
PUSLIT ARKENAS FOR KOMPAS–Pecahan tulang pinggul Homo erectus yang ditemukan di Sangiran
Diuji terus menerus
Menurut Daud, dalam memastikan kesahihan sebuah temuan, maka konteks dari temuan itu harus dipastikan terlebih dulu. “Apakah pengendapannya memang terjadi di lapisan itu, ataukah justru temuan sempat tertransportasi? Inilah yang perlu diyakinkan. Bisa jadi, tulang di lapisan tua itu berasal dari lapisan yang lebih muda karena proses penetrasi atau transportasi,” paparnya.
Selain itu, hasil pertanggalan dari temuan juga mesti menggunakan pertanggalan absolut agar lebih valid. Sebab, apabila pertanggalannya masih relatif, maka tingkat ketepatan umurnya berkurang.
Dalam dunia arkeologi seringkali muncul istilah, “satu pertanggalan itu bukan pertanggalan”. Kalau seseorang menemukan artefak, kemudian di situ ada arang dan langsung di-dating dengan umur tertentu begitu saja, maka bisa jadi kepastian umur artefak tersebut belum ditemukan karena keberadaan arang di situ belum tentu semasa dengan artefak yang ada. Karena itu, setiap penemuan wajib dicek dan dicek lagi. Arkeolog mesti berhati-hati dan waspada dalam menyimpulkan hasil-hasil temuannya.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2019