Sejumlah studi terbaru menunjukkan terapi menggunakan donor plasma konvalesen dari pasien Covid-19 yang telah sembuh ini tidak efektif. Di Indonesia, uji klinis terapi plasma konvalesen masih berlangsung.
Plasma konvalesen menjadi harapan pengobatan dari banyak pasien, dan permintaannya meningkat seiring dengan lonjakan kasus Covod-19. Namun, sejumlah studi terbaru menunjukkan terapi dengan donor plasma darah dari pasien Covid-19 yang telah sembuh ini, tidak efektif.
Hasil akhir uji klinis plasma konvalesen Covid-19 yang dilakukan National Health Institute of Health, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa terapi ini tidak mencegah perkembangan penyakit pada kelompok pasien rawat jalan Covid-19 di fase awal sakitnya. Kajian ini menguatkan tidak signifikannya terapi plasma konvalesen untuk berbagai level keparahan. Di Indonesia, uji klinis masih dilanjutkan hingga akhir tahun 2021.
Uji klinis plasma konvalesen yang dilakukan National Health Institute of Health (NIH) diterbitkan di The New England Journal of Medicine edisi 18 Agustus 2021. Uji klinis sebelumnya dihentikan pada Februari 2021 karena kurangnya kemanjuran berdasarkan analisis sementara yang direncanakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami berharap penggunaan plasma konvalesen Covid-19 akan mencapai setidaknya 10 persen pengurangan perkembangan penyakit pada kelompok ini, tetapi pengurangan yang kami amati justru kurang dari 2 persen,” kata Clifton Callaway, peneliti utama untuk uji klinis yang juga profesor kedokteran di University of Pittsburgh.
Menurut Callaway, hasil uji klinis ini mengejutkan. ”Sebagai dokter, kami ingin terapi ini membuat perbedaan besar dalam mengurangi penyakit parah dan ternyata tidak,” kata dia.
Plasma konvalesen Covid-19 diambil dari plasma darah dari pasien yang telah pulih dari penyakit ini. Tahun lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS mengeluarkan Otorisasi Penggunaan Darurat untuk mengizinkan penggunaan plasma konvalesen pada pasien rawat inap dengan Covid-19. Sejumlah kajian sebelumnya menunjukkan, plasma konvalesen dinilai tidak bisa membantu pasien Covid-19 yang sudah memasuki stadium berat.
Oleh karena itu, uji klinis ini, menurut Callaway, difokuskan untuk mengetahui apakah pemberian plasma konvalesen Covid-19 bermanfaat pada orang yang baru saja terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, tetapi tidak sakit parah dan dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan. Tujuannya untuk mencegah perkembangan penyakit Covid-19 yang parah.
Uji coba ini diluncurkan pada Agustus 2020, dan dirancang untuk menjawab pertanyaan itu. Uji klinis acak terkontrol melibatkan pasien rawat jalan dewasa yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala Covid-19 ringan selama minggu pertama pascainfeksi.
Uji coba melibatkan lebih dari 500 peserta dari 48 unit gawat darurat di seluruh Amerika Serikat. Para peserta beragam ras dan etnis dengan usia rata-rata 54 tahun, dan sedikit lebih dari setengahnya adalah perempuan.
Peserta juga memiliki setidaknya memiliki satu faktor risiko untuk berkembang menjadi Covid-19 yang parah, seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau penyakit paru-paru kronis.
Para peneliti secara acak memberikan pengobatan plasma konvalesen Covid-19 titer tinggi atau plasebo, yaitu larutan garam yang diresapi dengan multivitamin. Hasil terapi pada kedua kelompok dalam waktu 15 hari pengobatan kemudian dibandingkan untuk melihat secara khusus apakah pasien perlu mencari perawatan darurat atau darurat lebih lanjut, dirawat di rumah sakit, atau meninggal.
Hasilnya, para peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam perkembangan penyakit antara kedua kelompok. Dari 511 peserta, perkembangan penyakit terjadi pada 77 (30 persen) pada kelompok plasma Covid-19 dibandingkan dengan 81 pasien (31,9 persen) pada kelompok plasebo.
”Hasilnya menunjukkan bahwa plasma konvalesen tampaknya tidak bermanfaat bagi kelompok tertentu ini,” kata Nahed El Kassar, anggota tim peneliti.
Studi di Indonesia
Peneliti utama dalam uji klinis plasma konvalesen di Indonesia yang juga profesor di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman David Mulyono, Rabu (25/8/2021) di Jakarta, mengatakan, uji klinis plasma konvalesen untuk terapi Covid-19 di Indonesia masih akan dilanjutkan hingga akhir tahun 2021, sebagaimana direncanakan sejak semula.
”Uji klinis ini dilakukan di 21 lokasi walaupun sejauh ini belum menunjukkan hasil baik,” tuturnya.
Sebelumnya, hasil uji klinis plasma penyembuhan di Argentina yang dipublikasikan di jurnal The New England Journal of Medicine pada 25 November 2020 menyimpulkan, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam status klinis atau kematian antara pasien yang diobati dengan plasma penyembuhan dan mereka yang menerima plasebo.
Kajian terpisah oleh Anup Agarwal, dari Clinical Trial and Health Systems Research Unit, Indian Council of Medical Research, India dan tim di jurnal BMJ pada 22 Oktober 2020 juga menyimpulkan, uji klinis penggunaan plasma penyembuhan tidak menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 yang parah.
Meskipun penggunaan plasma penyembuhan meningkatkan resolusi sesak napas dan kelelahan pada pasien dengan Covid-19 sedang dan menyebabkan konversi RNA SARS-CoV-2 negatif yang lebih tinggi pada hari ke-7 setelah pemberian, hal ini tidak secara otomatis menurunkan risiko keparahan dan kematian.
David mengatakan, sesuai protokol uji klinis, plasma konvalesen diujikan di Indonesia untuk pasien dengan kategori moderat, bukan kritis. Selain untuk memberi dasar ilmiah terhadap praktik terapi yang sudah dilakukan, uji klinis ini secara tidak langsung bisa juga untuk mempelajari titer antibodi SARS-CoV-2.
Sebagaimana diketahui, tantangan terbesar dalam pemberian plasma konvalesen, yakni menentukan titer antibodi donor maupun penerimanya. Pengukuran titer antibodi ini juga bisa dimanfaatkan dalam penerapan vaksin ke depan.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 25 Agustus 2021