Perjalanan Plastik ke Atmosfer dan Menginvasi Kehidupan

- Editor

Sabtu, 13 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Plastik yang bersifat sulit terurai menghasilkan serbuk mikro dan nanoplastik yang bisa ditemukan di ujung-ujung gunung, hutan, dan laut, bahkan di udara. Ini akhirnya nanti bisa berakhir di tubuh manusia sendiri.

Pikirkan ulang jika Anda hendak menggunakan plastik sekali pakai. Riset terbaru menunjukkan, sedotan plastik yang dibuang tahun 1980-an ternyata tetap bertahan di Bumi, menjadi potongan-potongan yang terlalu kecil untuk dilihat, dan berputar melalui atmosfer, lalu menyusup ke tanah, air laut, dan udara, dan akhirnya meracuni kita sendiri.

Kini, plastik mikro dan nano telah menginvasi Bumi dan menjadikannya seolah sebagai planet plastik. Plastik telah memengaruhi cara tanaman tumbuh, melayang melalui udara yang kita hirup, dan menembus ekosistem yang jauh. Mereka dapat ditemukan di berbagai tempat seperti aliran darah manusia hingga usus serangga di Antartika.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penelitian Steve Allen dari EcoLab, Perancis, di jurnal Nature Geoscience pada April 2019 menunjukkan, sebaran luas plastik mikro ini ke berbagai pelosok Bumi. Dalam kajian itu, Allen menyajikan pengamatan pengendapan mikroplastik di atmosfer di daerah tangkapan pegunungan yang masih asli dan terpencil di Pyrenees Perancis.

”Kami menganalisis sampel, diambil selama lima bulan, yang mewakili deposisi basah dan kering di atmosfer dan mengidentifikasi serat mikroplastik di daerah pegunungan terpencil ini. Kami mendokumentasikan hitungan harian relatif dari 249 fragmen, 73 film, dan 44 serat per meter persegi yang disimpan di daerah tangkapan,” tulis Allen.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—-Peneliti dari Ecoton menunjukkan sampel air Sungai Kalimas di Taman Petekan Riverside, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (8/7/2020). Pengambilan sampel air untuk meneliti kandungan mikroplastik dan uji kualitas air dari Sungai Kalimas. Dari hasil penelitian diketahui Sungai Kalimas tercemar oleh limbah mikoplastik dan klorin.

Analisis lintasan massa udara menunjukkan transportasi mikroplastik melalui atmosfer dalam jarak hingga 95 km. ”Kami menyimpulkan, mikroplastik dapat menjangkau dan memengaruhi daerah terpencil dan jarang dihuni melalui transportasi atmosfer,” sebut Allen.

Kini, kajian terbaru yang ditulis peneliti Janice Brahney dari Department of Watershed Sciences, Utah State University, Amerika Serikat, dan tim semakin menunjukkan bagaimana masuknya plastik dalam sistem atmosfer, yang kemudian menginvansi kehidupan di Bumi. Kajian itu dipublikasikan di jurnal PNAS untuk edisi April 2021.

”Memahami bagaimana mikroplastik bergerak melalui sistem global sangat penting untuk menyelesaikan masalah,” kata Brahney, dalam keterangan tertulis, Senin (12/4/2021).

Dalam penelitian terbaru ini, Brahney berfokus pada bagaimana potongan-potongan plastik yang tak terlihat ini bisa masuk ke atmosfer, berapa lama mereka tetap bersirkulasi di atas, dan di mana kemudian mikroplastik plastik ini diendapkan.

Menurut kajian ini, plastik masuk ke atmosfer tidak langsung dari tempat sampah atau tempat pembuangan sampah. Akan tetapi, dari sampah yang telah tertimbuhan bertahun-tahun hingga terdegradasi baru kemudian masuk ke atmosfer.

—-Gambaran sumber utama mikroplastik ke atmosfer dan kontribusi relatifnya terhadap pengendapan di lingkungan darat di Amerika Serikat bagian barat. Di wilayah ini, pengendapan mikroplastik adalah 84 persen dari jalan, 11 persen dari semprotan laut, 5 persen dari debu pertanian, dan 0,4 persen dari debu di dekat pusat populasi. Beban atmosfer di atas wilayah ini adalah 1 Gg (0,001 Mt). Sumber: Janice Brahney dkk, PNAS (2021)

Jalan raya merupakan sumber besar plastik ke atmosfer. Potongan-potongan kecil plastik yang tak terlihat itu mengalami turbulensi kuat yang diciptakan laju kendaraan.

Selain itu, gelombang laut pun penuh dengan partikel plastik tak larut yang dulunya merupakan pembungkus makanan, botol soda, dan kantong plastik. Partikel-partikel ”plastik warisan” ini terombang-ambing ke lapisan atas air dan diaduk oleh gelombang dan angin, dan terlempar ke udara.

Sumber penting lainnya untuk emisi plastik ialah debu yang dihasilkan dari lahan pertanian. Plastik masuk ke dalam tanah saat pupuk dari hasil pengolahan limbah digunakan.

”Begitu berada di atmosfer, plastik dapat tetap berada di udara hingga 6,5 hari, waktu yang cukup untuk melintasi benua,” kata Natalie Mahowald, anggota tim peneliti dari Department of Earth and Atmospheric Sciences, Atkinson Center for Sustainability, Cornell University.

Dengan meneliti pola aliran udara, tim ini melihat bahwa tempat yang paling mungkin untuk pengendapan plastik dari atmosfer ialah di atas (dan ke) lautan Pasifik dan Mediterania. AS, Eropa, Timur Tengah, India, dan Asia Timur juga merupakan pusat (hotspot) pengendapan plastik di darat.

Di sepanjang pantai, plastik di udara dari sumber laut menjadi lebih menonjol, termasuk pantai barat Amerika, Mediterania, dan Australia selatan. Sumber debu dan pertanian untuk faktor plastik di udara lebih menonjol di Afrika utara dan Eurasia. Sementara sumber yang diproduksi dari jalan raya memiliki dampak besar di wilayah padat penduduk di seluruh dunia.

Kajian ini penting, menurut Brahney, diharapkan bisa mengingatkan kita tentang dampak jangka panjang dari perilaku menggunakan dan membuang plastik secara sembarangan. Apalagi, dunia hingga saat ini tidak memperlambat produksi atau penggunaan plastiknya.

Masalah terbesar
Data-data menunjukkan, produksi plastik global mencapai 288 juta ton pada 2012, melonjak 620 persen sejak 1975. Tahun 2013, angkanya menjadi 299 ton (worldwatch.org). Penggunaan plastik terbesar untuk kemasan sekali pakai. Maka, seiring dengan peningkatan produksinya, sampah plastik semakin tinggi.

Sebagian sampah plastik ini berakhir di lautan, baik berupa lembaran maupun yang telah terurai menjadi plastik ukuran mikro ataupun nano. Diterbitkan di jurnal Science, Februari 2015, studi oleh kelompok ilmuwan dari UC Santa Barbara’s National Center for Ecological Analysis and Synthesis (NCEAS) menghitung jumlah plastik yang dibuang ke lautan. Hasilnya mencengangkan, tiap tahun 8 juta ton plastik berakhir di lautan, atau rata-rata di setiap 1 meter sepanjang pantai di dunia ditemukan 1,5 kantong keresek.

Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, polusi plastik telah menjadi salah satu masalah lingkungan dan sosial yang paling mendesak di abad ke-21, selain krisis iklim. Ancaman plastik terutama mengemuka karena partikel ini bisa masuk ke dalam rantai makanan.

Misalnya, riset bersama Universitas Hasanuddin dan University of California Davis (2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar, Sulawesi Selatan. Hasil riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature, September 2015.

”Sepertiga sampel atau 28 persennya mengandung plastik mikro,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar, Akbar Tahir, yang juga menjadi anggota tim peneliti.

Berikutnya, penelitian terbaru menunjukkan bahwa garam tradisional juga tercemar partikel kimia beracun ini. Penelitian tentang cemaran plastik mikro pada garam juga dilakukan akademisi dari Universitas Hasanuddin dan dipublikasikan di Global Journal of Environmental Science and Management pada Oktober 2019. Tim peneliti menemukan plastik mikro di kolam penghasil garam, sampel air laut, sedimen, dan garam yang baru dipanen di Pallengu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan.

”Garam yang diproduksi di Jeneponto itu lebih dari 95 persen untuk kepentingan dapur masyarakat dan hanya 5 persen untuk industri,” kata Akbar Tahir, yang memimpin studi itu.

Anggota tim peneliti ialah MF Samawi dan S Werorilangi dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, serta P Taba dari Pogram Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unhas.

Berbagai temuan ini ini telah mengonfirmasi tentang bahaya membuang sampah plastik sembarangan. Tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga meracuni tubuh kita sendiri. Namun, kita bisa mencegah kerusakan yang lebih parah ini, setidaknya dengan memulai dari diri sendiri untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 13 April 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB