Pemerintah Didorong Bentuk Lembaga Tinggi Pengelola Sumber Daya Iptek

- Editor

Jumat, 23 Februari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Forum Nasional Profesor Riset menilai pemerintah perlu membentuk lembaga pengendali yang mampu mengatur mengenai seluruh sumber daya iptek secara terintegrasi. Selama ini, belum ada lembaga yang mampu mengelola sumber daya iptek yang terpecah di sejumlah kementerian.

Ketua Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) Syamsuddin Harris menjelaskan, perlu adanya Dewan Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi (DK Iptekin) sebagai lembaga pengendali tertinggi terkait sumber daya iptek. “DK Iptekin adalah badan eksekutif yang merumuskan kebijakan dasar dan koordinasi terpadu dalam pelaksanaan kebijakan iptek,” katanya dalam kunjungan ke Redaksi Kompas, Jakarta, Kamis (22/2).

Penasehat FNPR Erman Aminullah menjelaskan, DK Iptekin perlu dibentuk karena sumber daya iptek yang terpecah karena terikat sektoral pada masing-masing kementerian teknis. Selain itu, ketidakfokusan pemerintah dalam menentukan prioritas kebijakan iptek menjadi alasan lembaga ini perlu dibentuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Kunjungan Forum Nasional Profesor Riset ke Kantor Redaksi Kompas, Kamis (22/2)

“Ketidakfokusan ini menyebabkan bidang iptek belum mampu memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian negara. Indonesia bahkan tertinggal dari Vietnam yang mampu meningkatkan nilai ekspor dari barang-barang yang memiliki inovasi teknologi,” katanya.

DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Ketua Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) Syamsuddin Harris (posisi tengah) dan Penasehat FNPR Erman Aminullah (sebelah kanan)

Pembentukan lembaga ini diusulkan seiring dengan perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) 2018. RUU ini diusulkan pemerintah untuk menggantikan UU Nomor 18 Tahun 2002 yang dinilai dinilai belum memberi kontribusi optimal bagi pembangunan nasional.

Kelemahan UU No 18/2002 adalah belum mengatur mekanisme koordinasi antarlembaga dan sektor di tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program dan anggaran, serta pelaksanaannya secara jelas dan lugas. Selain itu, UU tersebut belum mengatur secara jelas aspek pembinaan oleh pemerintah pada kelembagaan, sumber daya, dan jaringan penerapan iptek. (Kompas, 31/8)

“Indonesia memiliki Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan TInggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti), namun kementerian ini tidak punya payung hukum yang kuat untuk mengelola para peneliti,” ucapnya.

Erman berharap, DK Iptekin ini nantinya dapat berperan seperti China Academic of Science (CAS) yang mampu menggenjot perkembangan teknologi di negeri tersebut. China berhasil mensinergikan sumberdaya dan insfrastruktur untuk merealisasikan sasaran iptekin yang ditetapkan oleh presiden.

Misalnya, tahun 1990-an, Presiden China menetapkan misi China akan menciptakan high-speed train dalam 10 tahun. Hasilnya, China mampu menciptakan kereta cepat dan mengkomersialkannya, bersaing dengan kereta Shinkansen dari Jepang.

CAS saat ini telah mengelola 104 lembaga riset dan 22 perusahaan holding teknologi (spin-off inovasi komersial dari teknologi yang dikembangan dari hasil riset). Selain itu, CAS telah mengelola 60 ribu peneliti dan 24 ribu profesor riset.

Selain China, negara maju seperti Jepang, kebijakan iptekin ditetapkan oleh Council for Science, Technology and Innovation (CSTI) dan dipimpin Perdana Menteri. Anggotanya terdiri dari pakar dan industriawan nasional terkemuka.

Erman menjelaskan, dengan dibentuk DK Iptekin, nantinya diharapkan jumlah peneliti di Indonesia bisa meningkat menjadi 1.500 persejuta penduduk atau setara dengan 540 ribu orang pada tahun 2045. Saat ini, jumlah peneliti di Indonesia yang tercatat baru sekitar 23.500 orang.

Peneliti dari Badan Tenaga Nuklir (BATAN) Evvy Kartini mengatakan, butuh konsistensi dari pemerintah terhadap para peneliti. “Perhatian pemerintah harus berkelanjutan, tidak hanya ketika sedang ada di pemerintahan tertentu,” katanya. (DD05)

Sumber: Kompas, 23 Februari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB