Mengingat Krakatau

- Editor

Rabu, 29 Agustus 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, dalam beberapa hari terakhir menyemburkan  material vulkanik berupa pasir dan bebatuan pijar rata-rata setiap 15 menit. Foto diambil Rabu (22/8) dinihari dari Pulau Rakata.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY (ARB)
22-08-2018

Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, dalam beberapa hari terakhir menyemburkan material vulkanik berupa pasir dan bebatuan pijar rata-rata setiap 15 menit. Foto diambil Rabu (22/8) dinihari dari Pulau Rakata. KOMPAS/ARBAIN RAMBEY (ARB) 22-08-2018

CATATAN IPTEK
Gunung Krakatau di Selat Sunda kembali bergejolak. Data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), pada Senin (27/8) hingga Selasa (28/8), gunung ini mengeluarkan 29 kali letusan dengan durasi 15 detik hingga 102 detik. Letusan ini memunculkan bunga api yang terlihat berpijar di malam hari.

Di malam hari, letusan ini ibarat kembang api, yang dinyalakan sebagai pengingat atas petaka besar yang terjadi tepat 135 tahun lalu. Pada 27 Agustus 1883 pagi, Gunung Krakatau hancur berkeping-keping.

Ledakan berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak hanya menghancurkan tubuh gunung. Kehancuran juga melanda pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas dan tsunami yang menyertai letusannya menghancurkan pesisir Banten dan Lampung, menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kengerian itu digambarkan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam,”Kegelapan menyelimuti, guncangan gempa tiada henti, dan datang gelombang menghanyutkan. Besar gelombang tidak terperi, lalulah masuk ke dalam negeri, berlarian orang ke sana kemari….”

Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, dalam beberapa hari terakhir menyemburkan material vulkanik berupa pasir dan bebatuan pijar rata-rata setiap 15 menit. Foto diambil Rabu (22/8) dinihari dari Pulau Rakata.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY (ARB)
22-08-2018

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY–Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, dalam beberapa hari terakhir menyemburkan material vulkanik berupa pasir dan bebatuan pijar rata-rata setiap 15 menit. Foto diambil Rabu (22/8) dinihari dari Pulau Rakata.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten 1888 menyebutkan, kesengsaraan akibat bencana telah memantik kesadaran masyarakat Banten untuk melawan penjajahan. Dua bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang. Seorang serdadu Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian. Kejadian berulang sebulan kemudian. Serentetan perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan hingga pada Juli 1888 muncullah pemberontakan petani Banten.

Setelah letusan tahun 1883 itu, Krakatau seperti lenyap dari Selat Sunda. Namun, pada 29 Desember 1927, di lokasi yang sama muncul gunung baru, yang kerap disebut sebagai Anak Krakatau. Berdasarkan hasil pengukuran topografi (Suhadi, dkk 2004), pada 1983 luas Anak Krakatau 156,75 hektar (ha) dengan ketinggian 201,5 mdpl dan pada tahun 2004 luasnya menjadi 212,5 ha dengan ketinggian 286,63 mdpl. Tahun 2018 ini, ketinggiannya sudah mencapai 305 mdpl.

Anak Krakatau yang muncul di atas zona tumbukan atau subduksi, antara kerak dasar Samudra Hindia dan kerak Benua Asia, memang tergolong tumbuh dengan cepat. Di daerah ini gunung api mempunyai daya tumbuh secara intrusif sebesar 93 persen dan secara ekstrusif 7 persen (Wohletz dan Heiken, 1972; Winchester, 2003).

Pertumbuhan secara intrusif mencerminkan besarnya volume magma yang menerobos kulit bumi dan kemudian membentuk batuan beku terobosan di bawah gunung api. Pertumbuhan secara ekstrusif adalah erupsi magma ke permukaan bumi, baik secara eksplosif maupun secara leleran, menghasilkan bahan piroklastika dan aliran lava yang pada akhirnya akan membangun tubuh kerucut gunung api.

Krakatau diketahui juga pernah meletus besar pada 416 sebelum Maeshi, yang menyebabkan tsunami dan pembentukan kaldera (Judd, 1889). De Neve (1981) menyebutkan, sebelum letusan 1883, beberapa letusan juga terjadi pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16 dan 17 yang diikuti dengan pertumbuhan kerucut Rakata, Danan, dan Perbuatan yang hancur pada 1883.

Hanya soal waktu Anak Krakatau akan kembali meletus hebat. Kita hanya bisa menunggu dengan waspada….–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 29 Agustus 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB