Namanya Oyok Indische, diambil dari gabungan bahasa Sanskerta dan Belanda yang berarti ’perebutan Indonesia’. Permainan papan itu dikemas ala kadarnya, memanfaatkan kardus bekas bungkus jam dinding warna coklat, termasuk sampul gambar buatan sendiri dengan guratan pulpen.
Di dalam kotak itu ada kertas karton yang dilipat jadi dua. Bagian dalamnya ditempeli kertas yang dibasahi air teh sehingga bercorak khas seolah lapuk dimakan usia. Kertas itu bergambar empat pulau besar di Indonesia, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang terhubung garis. Pulau Jawa yang ada di bagian bawah dibagi dalam 28 kotak ukuran sama.
Chivalry Gunawan (13), Magali Shareef (13), Kelana Cahaya Muhammad (13), dan Ananda Bintang Purwaramdhona (13) duduk mengelilingi kertas itu dan mengeluarkan token di atas papan. Token berupa kertas karton yang ditempeli penjepit kertas untuk dipasang wajah pahlawan nasional, seperti Panglima Besar Soedirman dan Mohammad Hatta serta wajah jenderal Belanda, misalnya Raymond Westerling.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Chivalry menjelaskan, permainan Oyok Indische yang mereka buat dibagi menjadi dua babak, yakni balapan dan pertempuran. Dua pihak, Indonesia dan Belanda, mengawali permainan dari sisi barat atau timur Indonesia dan berusaha menempatkan token ke sisi seberang.
”Bergantian, kartu berisi fakta sejarah dibacakan. Jika sejarah menguntungkan Indonesia, token bergerak satu langkah, begitu sebaliknya,” ujarnya. Pemenang babak pertama punya keunggulan bergerak pertama kali di babak berikut, yakni pertempuran di Jawa.
Tiap tim mendapat 10 pasukan yang bisa saling mengalahkan dengan mendorong ke luar dari kotak pertempuran.
Adapun permainan Anderpati punya mekanisme berbeda, menempatkan pemain demi menguasai kota di sejumlah pulau.
Layaknya permainan monopoli, pemain lawan yang melintas ke kota yang dikuasai harus membayar pajak atau merebut lewat lemparan dadu. ”Di tengah permainan, pemain harus bisa menjawab pertanyaan fakta-fakta sejarah agar tak kena hukuman,” kata Darius Cristopher Ethan Samuel.
Ethan membuat permainan bernama Anderpati yang berarti ’pemberani’ itu bersama empat temannya. Mereka menggabungkan mekanisme permainan monopoli, trivia, dan kartu.
Riset
Membuat permainan papan merupakan bagian dari pendidikan berbasis proyek yang dilakukan SMP Semi Palar di Bandung, Jawa Barat. Untuk pelajaran sejarah kelas VIII, siswa harus belajar sejarah Indonesia dari kebangkitan nasional hingga kemerdekaan. Jalan yang dipilih bukan dengan membuka buku dan menghafal isinya.
Cecilia Btari Saraswati yang terlibat pembuatan mainan papan Pataka menyatakan tertantang mengumpulkan fakta sejarah dari berbagai referensi di buku dan internet. Terlebih saat ia mencoba bersama keluarga di rumah dan bergembira sepanjang permainan.
Dinamika itu, menurut Andy Sutioso, Koordinator Utama Rumah Belajar Semi Palar, merupakan hal menggembirakan. Para pelajar antusias mencari bahan, menyusun permainan papan, dan menikmati tiap prosesnya. ”Mereka belajar dengan gembira,” kata Andy.
Gembira
Belajar sekaligus bergembira, dua hal itu tak selamanya bertolak belakang. Hal itu dibuktikan Ethan dan rekan-rekannya yang mempelajari sejarah Indonesia lewat permainan papan.
Scot Osterweil, creative director dari Massachusetts Institute of Technology, berkeyakinan, mengemas pendidikan dalam bentuk permainan lebih efektif untuk dipahami siswa. Dengan menekankan aspek bermain, para siswa lebih mengembangkan kreativitas daripada sibuk menghafal isi buku.
”Bergembira tak berarti pengajaran berlangsung dengan tawa. Bergembira bisa berwujud kerja keras, mengatasi tantangan, diakhiri kepuasan karena berhasil melampauinya,” kata Osterweil. Salah satu proyek yang pernah dikerjakan Osterweil adalah Vanished, permainan daring, yang dimainkan 3.000 anak di Amerika Serikat.
Para pemain menerima pesan dari masa depan yang memberi tahu malapetaka yang menimpa bumi sekaligus cara mencegahnya. Instruksi yang diterima itu menggiring para pemain mengunjungi museum, berbincang dengan para ilmuwan untuk mempelajari berbagai topik ilmu pengetahuan alam.
Tantangan para pengajar saat ini, lanjut Osterweil, adalah menyalurkan aktivitas bermain ke hal bermakna tanpa mengekang kebebasan dari permainan itu sendiri. Tiap pengajar harus paham permainan yang menarik minat siswa dan memfasilitasinya, bukan malah mendikte.
Desainer permainan Eko Nugroho mengungkapkan, masalah di Indonesia adalah mainan pendidikan gagal memberi aspek permainan sekaligus kehilangan makna pendidikan. Alasannya sederhana, yakni desain. ”Seolah isi buku dijadikan permainan dan masalah selesai,” ujarnya.
Sebuah permainan punya tujuan, cara bermain agar tujuan mudah tercapai, narasi, dan medium. Kehilangan satu faktor saja membuat permainan tak efektif.
Deta Ratna Kristanti, kurator Bincang Edukasi, sepakat, pengajaran harus melibatkan metode yang menggembirakan. Semua tergantung pada kreativitas pengajar untuk memfasilitasi anak didik mereka.
Oleh: DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas, 6 Desember 2014