Populasi badak sumatera saat ini lebih kurang dari 100 ekor di alam liar. Jika dibiarkan, hewan langka ini akan punah dalam 20 tahun.
Badak yang hampir punah ini sulit untuk dikonservasi karena persebarannya luas, terisolir, dan sulit dalam perkawinan.
Direktur Jenderal Konservasi Alam Sumber Daya Alam dan Ekositem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno di Jakarta, Jumat (19/1) menyatakan, proteksi taman nasional menjadi penting dan setiap pihak harus mengupayakan untuk menjaga badak sumatera agar bisa hidup bebas di taman nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Wiratno, saat ini jumlah badak sumatera diperkirakan kurang dari 100 ekor.
Hewan ini tersebar di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA UNTUK KOMPAS–Direktur Jenderal Konservasi Alam Sumber Daya Alam dan Ekositem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mewakili Menteri LHK dalam pembukaan Pameran Seni Badak Sumatera di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (19/1)
Namun, tuturnya, badak sumatera tidak ditemukan lagi di Taman Nasional Kerinci Seblat yang dulu merupakan habitat hewan ini. Terakhir, pada tahun 2016 badak sumatera diidentifikasi berada di hutan wilayah Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Perburuan begitu masif di Sumatera menjadikan perlindungan di taman nasional menjadi penting.
“Perburuan begitu masif di Sumatera menjadikan perlindungan di taman nasional menjadi penting. Kami melakukan patroli bersama mitra dan masyarakat,” kata tuturnya seusai pembukaan Pameran Seni Badak Sumatera di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
“Tindakan hukum yang keras harus dilakukan kepada para pemburu hewan langka. Saya khawatir, nanti badak sumatera ini hanya bisa dinikmati dari lukisan saja,” katanya lagi.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA UNTUK KOMPAS–Executive Director International Rhino Foundation (IRF) Susie Ellis (tengah), Country Director Wildlide Conservation Society-Indonesia Program Noviar Andayani (tiga dari kanan), dan Wiratno (tiga dari kiri) memegang lukisan badak yang disumbang oleh Menteri LHK untuk pameran
Selain Wiratno, acara ini juga dihadiri oleh Executive Director International Rhino Foundation (IRF) Susie Ellis, Ketua Pengurus Yayasan Badak Indonesia (Yabi) Widodo Ramono, dan Country Director Wildlide Conservation Society-Indonesia Program Noviar Andayani.
Ellis menyatakan, IRF telah mendukung penyelamatan satwa langka ini selama lebih dari 20 tahun.
Ia mengaku, lembaga yang fokus terhadap kelestarian badak di seluruh dunia ini telah menghabiskan lebih dari 15 juta dolar untuk riset dan informasi kepada masyarakat dalam kampanye kelestarian badak sumatera.
Lembaga yang fokus terhadap kelestarian badak di seluruh dunia ini telah menghabiskan lebih dari 15 juta dolar untuk riset dan informasi kepada masyarakat dalam kampanye kelestarian badak sumatera.
Ellis berharap semua pihak bekerja sama dalam upaya melestarikan badak Sumatera. “Kita harus bertindak sekarang. Jika tidak, dalam 20 tahun hewan ini akan punah,”ujarnya.
Menurut Ellis, upaya pengawasan badak sumatera memiliki kesulitan yang berbeda dibandingkan badak lainnya.
”Kesulitannya berbeda. Di Afrika kami bisa memantau dari kendaraan, karena habitatnya di padang luas. Berbeda dengan badak Sumatera yang hidup di hutan tropis. Saya saja belum pernah bertemu di alam liar,” ujarnya.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA UNTUK KOMPAS–Wiratno (dua dari kanan) memajang lukisan di tempat pameran, lantai 1 Perpustakaan Nasional
Noviar Andayani menambahkan, pemerintah sebagai otoritas dalam pengelola dan pengembangan kawasan konservasi bertanggung jawab dalam kelestarian aset bangsa ini.
Menurut Noviar, keterbatasan dari pemerintah harus diimbangi dengan kampanye dan dukungan masyarakat, terutama generasi muda.
“Semoga generasi muda di masa depan menjadi pribadi yang tidak konsumtif. Jika peduli, tidak akan ada lagi yang mengorbankan hutan tropis yang menjadi habitat satwa langka ini,” tuturnya.
Sulit konservasi
Badak Sumatera memiliki keunikan dalam hidup dan bereproduksi. Widodo menjelaskan, butuh waktu 12 tahun menjalankan proses perkembangbiakan hewan ini hingga bisa menghasilkan keturunan.
Badak jantan dan betina hanya bertarung karena pada dasarnya hewan ini bukan berjenis sosial, atau berkelompok.
Ia menjelaskan, hal ini terjadi karena siklus estrus (waktu kawin) badak betina hanya 24 hari dalam tiga tahun.
Selain itu, tutur Widodo, badak jantan dan betina hanya bertarung karena pada dasarnya hewan ini bukan berjenis sosial, atau berkelompok.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA UNTUK KOMPAS–Model badak sumatera yang di tunjukan kepada peserta.
Widodo menjelaskan, daya jelajah yang mencapai 12 kilometer per harinya membuat badak sumatera sulit untuk dideteksi.
Persebarannya yang luas, tuturnya, membuat hewan ini sulit untuk kawin secara alami.
Selain itu, pembukaan lahan oleh masyarakat membuat badak sumatera semakin terisolasi dan sulit ditemukan, karena sensitif terhadap keberadaan manusia.
Noviar Andayani menambahkan, yang perlu dilakukan adalah mengamankan habitat hewan langka ini. Ia berujar, badak sumatera membutuhkan ekosistem yang beragam untuk hidup dalam wilayah yang luas.
Badak sumatera membutuhkan ekosistem yang beragam untuk hidup dalam wilayah yang luas.
Ia memaparkan, badak sumatera membutuhkan ruangan, atau hutan terbuka untuk mencari makan, hutan yang lebat dan tertutup untuk beristirahat, hingga kolam air garam untuk berendam.
Tidak hanya habitat, Noviar berpendapat, menyatukan populasi badak sumatera yang tersebar dan terisolasi ke dalam wilayah konservasi juga menjadi strategi penyelamatan, sehingga tiap individu bisa dikontrol dan dikembangbiakkan dengan baik.
“Badak Sumatera dianggap sebagai spesies payung. Artinya, hewan ini memiliki jelajah yang jauh, dan berperan menyebarkan biji-biji pohon yang dia makan. Jadi, hewan ini benting bagi dalam ekosistem hutan Sumatera,” tuturnya. (DD12)
Sumber: Kompas, 19 Januari 2018