Untuk memperkuat eksistensi aksara Jawa di era digital, sejumlah pihak berupaya mendaftarkan aksara tersebut menjadi nama domain internet. Namun, jalan panjang mesti ditempuh, dan melibatkan semua pihak.
Upaya untuk memperkuat eksistensi aksara Jawa di era digital dilakukan dengan mendaftarkannya menjadi nama domain internet. Namun, jalan panjang membentang untuk merealisasikannya. Penggunaan aksara Jawa oleh masyarakat mesti lebih masif agar ikhtiar itu terwujud.
Pada Juli 2020, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) secara resmi mendaftarkan aksara Jawa agar bisa menjadi nama domain di internet. Pendaftaran dilakukan ke Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) selaku lembaga pengelola internet dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pandi memang punya target menjadikan aksara Jawa sebagai salah satu alternatif nama domain,” kata Wakil Ketua Pandi Bidang Pengembangan Usaha, Kerja Sama, dan Marketing Heru Nugroho, Sabtu (5/6/2021).
Selama beberapa tahun terakhir, nama domain internet memang tak lagi menjadi monopoli huruf Latin. Heru menyebut, ada sejumlah negara yang telah berhasil mendaftarkan aksara selain Latin untuk menjadi nama domain. Beberapa negara yang berhasil menjadikan aksara lokal mereka sebagai nama domain misalnya Arab Saudi, India, Jepang, Korea Selatan, China, Malaysia, dan sebagainya.
“Nama domain itu kan yang banyak diketahui pakai aksara Latin. Nah, beberapa negara, selain punya domain dengan aksara Latin, juga mengajukan untuk membuat domain dengan aksara lokal,” ujar Heru.
Kondisi itulah yang mendorong Pandi mengajukan aksara Jawa agar bisa menjadi nama domain internet. Pengajuan itu didukung berbagai pihak, misalnya Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sejumlah komunitas pelestari aksara Jawa.
Jika pengajuan itu disetujui ICANN, aksara Jawa bisa digunakan untuk alamat website sekaligus nama domain sehingga eksistensi aksara tersebut di dunia digital kian kuat. Apabila aksara Jawa sudah bisa menjadi nama domain, maka alamat website Kompas.id, misalnya, bisa dibuat dengan aksara Jawa.
Akan tetapi, pendaftaran aksara Jawa untuk menjadi nama domain itu ternyata belum dikabulkan ICANN. Ketua Pandi, Yudho Giri Sucahyo, mengatakan, ada sejumlah alasan kenapa pendaftaran aksara Jawa sebagai nama domain internet belum dikabulkan. Salah satu alasannya, aksara Jawa dinilai belum banyak digunakan masyarakat.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS—Pegiat komunitas Sega Jabung mengetik di laptop menggunakan aksara Jawa di sela-sela pertemuan komunitas tersebut, Jumat (4/6/2021) sore, di Desa Trirenggo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sega Jabung merupakan komunitas pelestari aksara Jawa yang memiliki perhatian khusus pada pemakaian aksara Jawa di dunia digital.
Penggunaan yang masih minim itu antara lain tampak dari komunikasi sehari-hari masyarakat Jawa yang masih jarang menggunakan aksara Jawa. Bahkan, komunikasi tertulis dengan bahasa Jawa pun lebih sering menggunakan huruf Latin, bukan aksara Jawa.
Yudho menambahkan, alasan lain belum dikabulkannya pendaftaran aksara Jawa menjadi nama domain adalah belum masuknya bahasa Jawa sebagai bahasa administratif di Indonesia dalam ISO 3166. ISO 3166 merupakan standar pengkodean untuk negara dan daerah di dalam negara tersebut. Dalam ISO 3166, juga tercantum daftar bahasa administratif yang digunakan di suatu negara.
Selain itu, kegagalan aksara Jawa menjadi nama domain juga terjadi karena status aksara Jawa di Unicode masih dalam kategori “Limited Use Script” atau penggunaan terbatas. Unicode merupakan standar teknis agar teks dan simbol dari berbagai sistem tulisan di dunia bisa digunakan di komputer.
Sejak tahun 2009, aksara Jawa memang sudah masuk ke Unicode sehingga aksara tersebut bisa dikenali oleh mesin komputer. Namun, karena penggunaan aksara tersebut masih terbatas, statusnya di Unicode pun berada dalam kategori “Limited Use Script”.
Tak menyerah
Meski pendaftaran aksara Jawa sebagai nama domain belum dikabulkan oleh ICANN, Pandi dan para pegiat aksara Jawa tak menyerah. Berbagai upaya dilakukan untuk memperkuat eksistensi aksara Jawa agar suatu saat aksara tersebut bisa menjadi nama domain internet.
Salah satu upaya itu adalah menyusun beberapa standar yang berkaitan dengan aksara Jawa. Penyusunan standar itu dilakukan dalam Kongres Aksara Jawa I yang digelar 22-26 Maret 2021. Acara yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan DIY itu mempertemukan para pegiat aksara Jawa dari beragam latar belakang, misalnya akademisi, budayawan, birokrat, serta masyarakat umum.
Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah, Bahasa, Sastra, dan Permuseuman Dinas Kebudayaan DIY Rully Andriadi mengatakan, Kongres Aksara Jawa I berhasil menyepakati beberapa standardisasi terkait aksara Jawa. Standardisasi yang telah disepakati itu adalah standar tata tulis aksara Jawa, standar transliterasi aksara Jawa, standardisasi huruf atau font aksara Jawa, dan standar keyboard atau papan ketik aksara Jawa.
Rully menambahkan, saat ini, standar transliterasi, font, dan keyboard aksara Jawa itu sedang diajukan ke Badan Standarisasi Nasional (BSN) agar mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Setelah mendapatkan SNI, standar-standar terkait aksara Jawa itu juga diharapkan bisa terdaftar ke ISO sebagai standar yang bersifat internasional.
“Saat ini, kita sedang mengirimkan usulan ke BSN terkait tiga standardisasi itu, yakni standar transliterasi, standar font, dan standar papan ketik aksara Jawa,” ujar Rully. Pengurusan standardisasi itu tak hanya melibatkan Dinas Kebudayaan DIY, tetapi juga Pandi dan komunitas pegiat aksara Jawa.
Anggota Komunitas Seneng Gaul Jawa Budaya Linuhung (Sega Jabung), Arif Budiarto, mengatakan, standar transliterasi, font, dan keyboard aksara Jawa itu diharapkan bisa mempermudah berbagai pihak untuk menggunakan aksara Jawa di platform digital. Dengan kemudahan itu, jumlah pengguna aksara Jawa di dunia digital pun diharapkan semakin banyak.
“Kalau sudah ada standardisasi, harapannya, masyarakat lebih mudah menggunakan aksara Jawa. Ketika penggunaannya lebih mudah, nanti user (pengguna) aksara Jawa akan makin banyak,” ujar Arif yang terlibat aktif dalam Kongres Aksara Jawa I.
Arif menambahkan, jika pengguna aksara Jawa di platform digital menjadi kian banyak, aksara tersebut diharapkan bisa didaftarkan lagi ke ICANN untuk menjadi nama domain internet. Namun, dia mengakui, meningkatkan jumlah pengguna aksara Jawa bukan perkara mudah dan tak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Agar jumlah pengguna bisa meningkat signifikan, butuh upaya bersama berbagai pihak untuk terus mengenalkan dan mengakrabkan aksara Jawa dengan masyarakat. “Jadi, ini memang jalan panjang,” ungkap Arif.
Oleh HARIS FIRDAUS
Editor: GREGORIUS FINESSO
Sumber: Kompas, 12 Juni 2021
Memahat Aksara Jawa di Ruang Fisik dan Virtual
Upaya pelestarian aksara Jawa di DIY dilakukan dengan beragam cara. Ada komunitas yang gencar mengenalkan pemakaian aksara Jawa di platform digital, ada pula kelompok warga yang memasang papan aksara Jawa di rumah.
Eksistensi aksara Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta terus dipertahankan di ruang publik maupun platform digital. Pemerintah daerah bersama-sama warga berupaya memanggungkan karya agung literasi para leluhur itu agar tetap lestari.
Singgih Indarta (24) membuka situs aksaradinusantara.com yang memuat jenis huruf atau font berbagai aksara lokal di Indonesia melalui telepon cerdasnya. Selesai diunduh, font tersebut disinkronkan ke ponsel dengan bantuan aplikasi. Tak lama, tampilan papan ketik ponsel Singgih pun berubah dari huruf Latin menjadi aksara Jawa.
“Sekarang kita memang sudah bisa menulis aksara Jawa di smartphone,” tutur Singgih sambil memencet-mencet beberapa tombol untuk memberi contoh tampilan aksara Jawa di layar ponsel, Jumat (4/6/2021), di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Singgih merupakan Ketua Komunitas Seneng Gaul Jawa Budaya Linuhung (Sega Jabung). Komunitas yang resmi berdiri 2019 itu adalah salah satu komunitas di DIY yang bergerak di bidang pelestarian aksara Jawa. Berbeda dengan sejumlah komunitas aksara Jawa lain, Sega Jabung memiliki perhatian khusus pada pemakaian aksara Jawa di dunia digital.
Berdirinya Sega Jabung berawal dari rasa keprihatinan bahwa banyak anak muda di Jawa yang tidak bisa lagi membaca dan menulis aksara Jawa. “Komunitas ini berawal dari keresahan teman-teman yang melihat anak zaman sekarang tidak akrab dengan aksara Jawa. Mungkin ada yang menganggap aksara Jawa itu kuno,” kata dia.
Karena menyasar kalangan anak muda atau generasi milenial, Sega Jabung lebih berfokus mengenalkan aksara Jawa di dunia digital. Melalui platform digital, aksara Jawa diharapkan lebih mudah diterima anak-anak muda. “Kami fokus ke digital karena sasaran kami itu generasi milenial yang sehari-hari memakai smartphone,” ujar Singgih.
Singgih memaparkan, sejak 2009, aksara Jawa telah masuk ke dalam Unicode yang merupakan standar teknis agar teks dan simbol dari berbagai sistem tulisan di dunia bisa digunakan di komputer. Dengan masuknya aksara Jawa ke Unicode, aksara tersebut sudah bisa dikenali oleh mesin komputer. Sejak beberapa tahun lalu, aksara Jawa juga telah bisa digunakan di telepon cerdas meskipun masih membutuhkan aplikasi tambahan untuk memasangnya.
Di kalangan pegiat aksara Jawa, penggunaan aksara Jawa di telepon cerdas dan komputer sudah banyak dikenal. Bahkan, banyak pegiat aksara Jawa yang rutin menggunakan aksara Jawa untuk berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp atau menulis di media sosial.
“Kalau teman-teman di Sega Jabung, sudah biasa pakai aksara Jawa di grup WhatsApp,” kata Singgih.
Namun, Singgih menyebut, publik banyak yang belum mengetahui bahwa aksara Jawa bisa digunakan di telepon cerdas dan komputer. Itulah kenapa, Sega Jabung gigih mensosialisasikan pemakaian aksara Jawa di perangkat elektronik tersebut. Selama beberapa tahun terakhir, komunitas tersebut kerap mengisi pelatihan mengenai aksara Jawa, baik di wilayah DIY maupun provinsi lain.
Dalam setiap pelatihan, Sega Jabung selalu mengenalkan penggunaan aksara Jawa di telepon cerdas dan komputer. Meski demikian, komunitas tersebut juga tetap mengenalkan penulisan aksara Jawa secara konvensional atau tulis tangan. Bahkan, Sega Jabung juga memperkenalkan kertas daluang dan daun lontar yang digunakan untuk medium penulisan aksara Jawa di masa lalu.
“Saat pelatihan, biasanya kami kenalkan dulu sejarah aksara Jawa, persebarannya, dan jenis-jenisnya. Setelah itu, kami kenalkan aksara Jawa di masa lampau dan aksara Jawa di era digital. Biasanya, kami juga bantu setting (pengaturan) keyboard aksara Jawa di smartphone,” ungkap Singgih.
Kampung Aksara
Dalam bentuk berbeda, upaya mempertahankan eksistensi aksara Jawa juga dilakukan warga Dusun Payak Cilik dan Dusun Bintaran Wetan di Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul. Sejak tahun lalu, sejumlah warga dua dusun tersebut membentuk komunitas yang diberi nama Kampung Aksara.
Salah satu kegiatan Kampung Aksara adalah pemasangan papan nama dengan aksara Jawa di rumah-rumah warga Dusun Payak Cilik dan Dusun Bintaran Wetan. Papan nama itu bertuliskan nama pemilik rumah dan ditempel di depan bagian depan rumah. Oleh karena itu, warga dari daerah lain yang datang ke dua dusun tersebut bisa melihat dengan jelas papan bertulis aksara Jawa di sana.
Tokoh masyarakat Bintaran Wetan, Akhmad Fikri (49), mengatakan, ada sekitar 200 rumah di Payak Cilik dan Bintaran Wetan yang telah dipasangi papan nama bertuliskan aksara Jawa. Pemasangan papan nama itu bertujuan mengakrabkan kembali aksara Jawa di tengah masyarakat. “Gerakan ini juga agar masyarakat memiliki kebanggaan terhadap aksara Jawa,” tuturnya.
Tim Kampung Aksara juga membuat buletin dengan aksara Jawa yang disebarkan ke masjid-masjid menjelang pelaksanaan shalat Jumat. Penerbitan buletin itu dilakukan sejak Februari 2020 saban Jumat pertama dan terakhir setiap bulan. Saat ini, buletin tersebut dicetak sekitar 1.000 eksemplar dan dibagikan ke puluhan masjid di Bantul.
“Mulai Juli, buletin itu rencananya akan kami terbitkan 5.000 eksemplar dan disebarkan di lima kabupaten/kota di DIY. Kalau sekarang, baru disebarkan di sekitar 30 masjid di Bantul,” ujar Fikri.
Menurut Fikri, pemasangan papan nama dan buletin beraksara Jawa itu mendapat sambutan baik dari masyarakat, meski masih banyak warga yang tak fasih membaca aksara Jawa. Dia menambahkan, pembuatan papan nama dan buletin aksara Jawa itu penting untuk membiasakan masyarakat melihat dan membaca aksara Jawa.
Jika masyarakat telah biasa melihat aksara Jawa, diharapkan suatu saat, mereka akan tertarik belajar agar bisa membaca dan menulis aksara tersebut. “Semakin sering mereka melihat aksara itu, akan semakin terbiasa karena direkam di otak,” kata Fikri.
Peran pemda
Upaya melestarikan aksara Jawa juga dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, misalnya dengan menggelar Kongres Aksara Jawa I pada 22-26 Maret 2021. Kongres tersebut mempertemukan para pegiat aksara Jawa dari beragam latar belakang, seperti akademisi, budayawan, birokrat, serta masyarakat umum.
Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah, Bahasa, Sastra, dan Permuseuman Dinas Kebudayaan DIY Rully Andriadi mengatakan, Kongres Aksara Jawa I berhasil menyepakati beberapa standardisasi aksara Jawa. Standardisasi yang telah disepakati itu adalah standar tata tulis aksara Jawa, standar transliterasi aksara Jawa, jenis huruf, dan papan ketik aksara Jawa.
Standar-standar tersebut sangat penting untuk melestarikan dan memasifkan pemakaian aksara Jawa, termasuk di platform digital. Menurut Rully, tiga standardisasi yang diputuskan dalam Kongres Aksara Jawa I itu sedang diusulkan ke Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk diakui secara resmi.
Sejak 2020, lanjut Rully, Pemda DIY juga telah memiliki jenis huruf resmi aksara Jawa yang diberi nama Nyk Ngayogyan Jejeg. Font tersebut dipilih karena telah digunakan dalam manuskrip-manuskrip lama dan bentuknya dinilai sesuai untuk kepentingan resmi pemda. “Font ini juga lebih mudah dibaca,” katanya.
Sejak beberapa waktu lalu, font Nyk Ngayogyan Jejeg telah dipakai dalam tata naskah dan persuratan di lingkungan Pemda DIY. “Font itu antara lain dipakai untuk tulisan Jawa di kop surat resmi Pemda DIY dan mulai banyak digunakan untuk papan nama instansi. Font itu juga terbuka bebas digunakan oleh masyarakat,” tutur Rully.
Dari sisi regulasi, Pemda DIY juga telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Perda itu secara eksplisit menyatakan, aksara Jawa berkedudukan sebagai aksara daerah di DIY.
Rully menuturkan, Perda DIY Nomor 2 Tahun 2021 itu akan ditindaklanjuti dengan aturan turunan berupa peraturan gubernur (pergub). Dalam pergub itu, akan ada aturan yang lebih teknis mengenai penggunaan aksara Jawa.
Saat ini, aksara Jawa memang baru dipakai secara resmi di kop surat, papan nama lembaga, dan penunjuk arah di lingkungan instansi Pemda DIY. Dia menambahkan, penggunaan aksara Jawa untuk papan nama jalan di DIY belum diatur secara resmi meski banyak papan nama jalan di provinsi itu yang telah memakai aksara Jawa.
Rully menyebut, penggunaan aksara Jawa di ruang publik, termasuk papan nama jalan, bisa saja diatur di dalam pergub yang menjadi aturan turunan Perda DIY Nomor 2 Tahun 2021. “Implementasi dari perda itu kan perlu ditindaklanjuti di pergub. Dalam pergub itu bisa mengatur (penggunaan aksara Jawa) di ranah publik,” ujar dia.
Setelah pergub itu terbit, diharapkan aksara Jawa bisa digunakan secara lebih massif oleh berbagai elemen masyarakat. Tak hanya dipakai di ruang fisik, eksistensi aksara Jawa juga diharapkan hadir di dunia digital agar bisa lebih akrab dengan generasi milenial.
Oleh HARIS FIRDAUS
Editor: GREGORIUS FINESSO
Sumber: Kompas, 12 Juni 2021