Kisah manis industri digital dengan berbagai pencapaian inovasi dan bisnis ternyata menyisakan kisah lain. Di beberapa daerah, penggunaan teknologi digital ternyata tak mudah diterapkan. Bukan karena kekurangan uang, bukan pula karena kapasitas sumber daya manusia terbatas, melainkan karena motif korupsi.
Di sebuah kabupaten, proyek pengembangan sistem informasi dan pengadaan barangnya menjadi modus untuk korupsi. Beberapa proyek hanya jalan setengah, bahkan seperempat, dan tidak dikerjakan lagi, tetapi laporan keuangan sudah tuntas. Pelaksana proyek tak jauh dari keluarga birokrat dan pengurus partai.
Pembangunan sistem atau perangkat lunak memang mengandalkan kemampuan pikiran. Proyek semacam ini boleh dibilang “tidak berwujud” apabila inspektur pengawasan tak jeli saat audit anggaran. Akibatnya, kasus seperti ini lolos dari perkara tidak korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika sebuah sistem informasi sudah terbangun, tidak mudah untuk membuat integrasi sistem menjadi lebih besar. Sebagai contoh, sebuah puskesmas sudah memiliki sistem informasi mulai dari pendaftaran, pemeriksaan dokter, pemeriksaan laboratorium, hingga pemberian obat.
Sistem tersebut akan mengetahui dengan mudah kekurangan obat, satu butir pun, karena seluruh data obat, baik penerimaan maupun pengeluaran, diketahui secara jelas. Akan tetapi, ketika sistem ini diintegrasikan dengan sistem dinas kesehatan kabupaten dan otomatis dengan gudang obat, tidak sedikit yang berusaha menghalang-halangi. Gudang obat seperti memiliki sistem sendiri sehingga sesuatu yang sebenarnya telah memudahkan karena mereka dengan mudah mengetahui stok obat di beberapa puskesmas di kabupaten, tetapi ternyata integrasi itu tidak bisa dilakukan.
Memilih perangkat lunak juga menjadi lahan yang mudah untuk melakukan korupsi. Tidak adanya standar pembelian perangkat lunak menjadikan pemilihan pengembang perangkat lunak sebagai modus untuk korupsi. Pemilihan pengembang dilakukan sembarangan dan hasilnya juga kadang tidak bisa diimplementasikan, tetapi yang penting proyek sudah dilaksanakan.
Di samping itu, banyak proyek teknologi informasi yang drop-dropan, tetapi ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan di bawah. Akibatnya, barang dan sistem menumpuk tak terpakai di daerah.
Kasus sejenis pasti lebih banyak. Pemahaman terhadap kebutuhan teknologi informasi dan digitalisasi tidak sama baik antardaerah ataupun antarpelaksana di lapangan. Fasilitas digital hanyalah alat bantu yang memudahkan. Ujungnya, tetap manusia yang menentukan penggunaan alat itu.
Dari berbagai pengalaman melihat proyek teknologi informasi di daerah, yang sangat menentukan adalah visi pemimpin, bukan soal anggaran dan sumber daya manusia pelaksana. Pemimpin yang memahami fungsi teknologi digital akan membuat kerja efisien. (ANDREAS MARYOTO)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2016, di halaman 17 dengan judul “Cerita dari Bawah”.