Tanpa Sains dan Teknologi, Indonesia Ditelan Dunia

- Editor

Sabtu, 21 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sains, teknologi, dan inovasi adalah ramuan ampuh untuk bertahan di dunia yang sangat kompetitif.

Saya bukanlah seorang ilmuwan, tetapi saya termasuk yang banyak terlibat langsung dan jadi pemerhati perkembangan teknologi, utamanya otomasi perbankan, di Indonesia maupun dunia, antara 1970 dan 1980-an. Dari pengalaman tersebut, saya berpendapat penguasaan sains dan teknologi sama pentingnya dengan peran serta kita dalam mewujudkan pembangunan dunia.

Sungguh, Indonesia sangat kurang terwakili di dunia sains dan teknologi. Tak hanya di tingkat dunia, bahkan di Asia sekalipun, yang berakibat tidak adanya produk unggulan industri Indonesia di Asia, apalagi di dunia. Apa yang bisa dan harus dilakukan untuk menarik lebih banyak orang Indonesia agar terjun ke dunia sains dan teknologi?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di Indonesia, ilmuwan dan teknolog sangatlah jarang. Saya mengira penyebabnya sudah berakar jauh sejak masa kolonial Belanda terkait dengan pendidikan sejak usia dini. Terdapat kepercayaan yang kuat bahwa pelajaran sains dan teknologi adalah hal yang sulit dan lebih sulit lagi kelak ketika dewasa mencari nafkah sebagai seorang ilmuwan atau teknolog.

Anak-anak Indonesia jarang terpapar mainan berteknologi tinggi atau soal tanya jawab matematika. Akibatnya, mereka sering kurang percaya diri dalam kemampuan sains dan teknologi. Dukungan yang bersifat intelektual dari orangtua, taman kanak-kanak, dan sekolah yang dapat membantu mengatasi hal ini tidak ada. Anak-anak harus belajar untuk tidak takut bertanya, mengeksplorasi atau mencoba hal-hal baru tanpa hambatan atau mengasumsi suatu hal yang bukan untuk mereka. Ini juga butuh perubahan sistem pendidikan dan guru yang sensitif pada hal-hal yang tidak stereotip.

Tidak banyak anak muda Indonesia yang menghadiri konferensi internasional dalam bidang sains, teknologi, ataupun komunikasi. Sementara seminar atau konferensi loka-domestik semacam itu di Indonesia hampir-hampir tidak ada sama sekali. Tidak ada orang Indonesia yang benar-benar meraih sukses dalam bidang ini.

Prasyarat bangsa unggul
Bagian penting dari masalah ini adalah bahwa di Indonesia, rata-rata, ilmuwan atau insinyur berpenghasilan jauh lebih rendah daripada profesi lain dan ilmuwan tidak menghasilkan uang sama sekali. Jadi, seorang ilmuwan biasanya condong jadi pengusaha, pengacara, atau politisi.

Hari-hari kerja dalam penelitian, terutama di awal, memerlukan siswa yang dapat bekerja sama dengan peneliti senior dan profesional yang berpengalaman. Selain memiliki hubungan guru-murid yang baik, para profesional berpengalaman tahu bagaimana menciptakan atmosfer dan lingkungan kerja ilmiah yang baik. Mereka perlu merangkul ilmuwan muda dan menghargai kontribusi mereka untuk berbagai jenis proyek penelitian. Bekerja pada proyek-proyek inovatif yang penting harus dapat dinikmati oleh ilmuwan muda. Selain itu, ilmuwan perempuan dan laki-laki harus diberi kesempatan yang sama.

Orang Indonesia yang terdidik sebagai ilmuwan, yang belajar di luar negeri, tidak boleh didesak atau diskriminasi, tetapi perlu didorong kembali ke Indonesia guna membantu pengembangan teknologi baru. Indonesia seharusnya tidak menyia-nyiakan peluang untuk berkolaborasi dengan koleganya dari negara tetangga dalam kerangka Asia Timur dan ASEAN. Kolaborasi semacam itu akan memperluas wawasan ilmiah dan budaya Indonesia.

Saya bukan seorang ilmuwan, tetapi saya mencoba untuk melihat secara pragmatis karier seseorang dalam sains, terutama pada orang-orang muda. Dengan akal dan dari apa yang saya lihat selama bepergian di berbagai pelosok dunia dan berbicara dengan para ilmuwan, ternyata hanya sains, teknologi, dan inovasilah yang dapat membantu suatu negara jadi bangsa yang unggul.

Ambil contoh Jepang dan Korea. Mereka tak punya sumber daya alam seperti Indonesia, tetapi sumber daya manusia mereka sangat sesuai dengan pemikiran inovatif. Jepang, Korea, Austria, Belanda, Swiss merupakan negara miskin kekayaan alam, tetapi kaya dan sejahtera terutama karena kekayaan dan kemampuan berpikir masyarakatnya. Indonesia sebaliknya.

Dukungan pemerintah
Inovasi itu mahal. Ini membutuhkan banyak penelitian tanpa jaminan bahwa hasilnya akan signifikan. Contoh terbaik adalah industri farmasi, yang menghabiskan sejumlah besar uang untuk penelitian. Investasi semacam itu akan terbukti menguntungkan ketika terjadi pengembangan obat yang efektif, tetapi tidak selalu demikian. Banyak hasil penelitian akhirnya dimasukkan ke dalam tong sampah. Sebagian hasil dari peningkatan inovasi yang tercipta dan ketika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi aset yang substansial.

Tidak seperti perusahaan yang hanya bersedia berpartisipasi dalam proyek yang menjamin keuntungan cepat, pemerintah harus mendukung para ilmuwan yang terbukti serius dan meyakinkan tentang ide-idenya. Beberapa inovasi yang spektakuler tidak memerlukan pengeluaran dana yang besar, seperti aplikasi komputer dan jenis perangkat lunak lainnya.

Seperti yang saya sebutkan, saya terlibat dalam tahap awal perbankan daring ketika bekerja di Citibank. Sejak dari kemajuan teknologi komunikasi dan jaringan, tidak hanya intrabank, antarbank, tetapi juga transaksi interkontinental berskala dunia.

Saya melihat kemajuan utama dalam telekomunikasi secara pasti, termasuk pengembangan metode transmisi baru, khususnya pengodean. MIMO (multiple input, multiple output) multi-antena teknologi dan sistem MIMO besar-besaran (dengan jumlah antena yang sangat besar) dengan akses dinamis, pembagian spektrum, perangkat lunak berbasis pendekatan pengelolaan dan pengendalian jaringan telekomunikasi dan virtualisasi jaringan adalah sejumlah inovasi yang hanya membutuhkan pikiran jernih lagi cerdas, tanpa terlalu banyak kebutuhan finansial. Di sinilah Indonesia harus menjadi pemain.

Teknologi radio kognitif, misalnya, memungkinkan penggunaan sumber daya spektral yang lebih efisien, pita frekuensi gelombang elektromagnetik dapat membantu menyediakan layanan telekomunikasi untuk mendukung ilmuwan berkomunikasi di berbagai belahan dunia.

Pengembangan Internet of Things akan menjadi kunci, sebagai cara berkomunikasi antara orang dan perangkat sains dan teknologi. Penggunaan teknologi gelombang milimeter akan membuat ilmuwan hidup lebih mudah untuk berkomunikasi dan melakukan penelitian bersama di dunia. Di sini kita tidak boleh ketinggalan.

Teknologi pengontrol jarak jauh (remote control) dan teknologi robotik tentu akan berkembang, menggantikan orang dalam melakukan tugas berat tertentu dan sebagian menggantikan orang dalam produksi industri, ruang operasi, laboratorium eksperimental, serta kehidupan sehari-hari. Inilah basis Revolusi Industri 4.0 yang harus kita songsong. Indonesia harus bangkit dan para pemimpin kita harus dibangunkan.

Peter F Gontha Duta Besar RI untuk Polandia

Sumber: Kompas, 21 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB