Melihat Tanah Papua dengan kacamata kelangsungan kehidupan selalu melahirkan kata: benteng terakhir. Tanah Papua, adalah benteng terakhir hutan tropis dunia karena hutan perawan masih luas, dipandang belum tercacah-cacah. Sebagian orang menegaskan, ‘jangan sampai (Tanah) Papua bernasib seperti Kalimantan’.
Rujukan di balik semua imajinasi itu jelas: hutan tropis di Papua harus dijaga, jangan sampai terjadi penggundulan hutan yang hanya mengundang bencana. Kini setiap tahun Kalimantan mengalami kebakaran sampai orang tidak sempat meributkannya lagi.
Hutan Papua kaya akan segala sumber daya hutan dan keanekaragaman hayati yang bersifat endemik. “Setiap jengkal tanah di Papua ada yang memiliki, masyarakat adat yang memilikinya,” tegas Dominggus Madacan, Gubernur Papua Barat berkali-kali dalam setiap kesempatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Pemandangan hijaunya hutan terlihat jelas melalui jendela pesawat dari Asmat menuju Timika, Papua, Senin (22/1/2018).
Namun ironisnya, kedua provinsi di Papua adalah dua provinsi termiskin di Indonesia. Ironi itu menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Provinsi Papua Barat sebagai bagian dari Tanah Papua pada 19 Oktober 2015 mencanangkan diri sebagai Provinsi Konservasi. Pernyataan ini tidak main-main. Saat pertama mendengar deklarasi tersebut tanggapan pertama adalah kekaguman, yang langsung disusul pertanyaan: apakah mewujudkannya tidak akan sulit? Terbayang kesulitan di depan mata: ibarat menegakkan benang basah.
Di Oslo, pada 26 Juni 2018, Dominggus Mandacan mengulangi tekad tersebut. Dia berkomitmen, akan mengubah 36 persen kawasan lindung saat ini menjadi 60 persen dan sebaliknya sekitar 40 persen adalah untuk area penggunaan lain (APL), permukiman, hutan produksi dan lain-lain.
Hal serupa diungkapkan kembali oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat, Charlie Danny Hetaubun di Jakarta, Selasa (2/10/2018). Luas hutan Papua Barat sekitar 9.370.550 hektar dari luas wilayah provinsi 14.307.600 hektar. Luas hutan itu mencakup 8,12 persen dari luas hutan Indonesia.
“Ini merupakan kesempatan untuk mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” ujar Charlie. Saat ini, menurut Forest Watch sudah lebih dari 50 persen wilayah hutan Papua dan Papua Barat menyandang izin.
Tekad menjadi provinsi konservasi diwujudkan dalam upaya menyusun Rancangan Perdasus (peraturan daerah khusus) tentang Pembangunan Berkelanjutan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Rancangan yang siap disahkan dalam acara International Conference on Biodiversity, Ecowisata, and Creative Economy (ICBE) yang berlangsung pada 7-10 Oktober ini.
Perdasus tersebut juga diharapkan akan bisa menjadi dasar dari transfer fiskal yang bersifat ekologis. Sekitar 30 pemerintah beberapa waktu lalu telah menyusun deklarasi untuk meminta kebijaksanaan pemberian transfer fiskal dari DAK yang memperhitungkan luas wilayah hutan di suatu daerah. Charlie menambahkan, saat ini sedang disiapkan sebuah naskah akademik untuk ecological fiscal transfer agar ada skema fiskal yang lebih hijau.
“Supaya ada insentif bagi masyarakat adat dan bagi pemerintah yang sudah melestarikan hutan dan perairan laut. Salah satu indikator bisa dilakukan dengan luasan hutan yang masih perawan dan terumbu karang yang masih asli, sehingga daerah provinsi dan kabupaten kota yang memiliki kinerja baik dari sisi lingkungan bisa diapresiasi,” tegasnya.
Yang berlaku saat ini adalah, provinsi atau daerah yang hutannya rusak justru mendapatkan dana reboisasi dan dana restorasi lahan. “Sementara kami di daerah Papua dan Papua Barat masyarakat adat secara turun temurun melindungi hutan tapi tidak mendapat insentif. Apa lebih baik kami tebang hutan kami hingga habis? Aga bisa mendapat dana pemberdayaan di daerah lain yang hutannya rusak. Paradigma seperti ini harus kita balik,” kata Charlie.
Dia juga menggarisbawahi kerja sama dengan Papua. “Kami ada di tanah yang sama jadi tidak bisa kami egois dengan tidak mengindahkan daerah lain,” tambahnya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Warga Kampung Sira di Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, Jumat (10/3) menunjukkan pohon merbau berukuran sedang di dalam hutan desa mereka. Warga Kampung Sira dan tetangganya Kampung Manggroholo mendapatkan hak kelola hutan desa pertama di Papua Barat. Hak kelola ini memberi ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan secara lestari.
Pengakuan masyarakat adat
Papua dan masyarakat adatnya seperti dua sisi mata uang. Yang satu ada karena yang lainnya. Charlie menegaskan, di dalam perdasus yang akan segera disahkan itu di dalamnya terdapat soal pengakuan khusus yaitu pengakuan hak masyarakat adat. Regulasi itu dijanjikan bakal menjadi dasar upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat adat.
Sayangnya saat ini ada 42 izin diberikan terkait hutan di Papua. Sebagian aktif, sebagian tidak aktif, sebagian lagi belum aktif. Charlie menggarisbawahi bahwa semua izin-izin tersebut juga akan dikaji ulang akan disesuaikan dengan perdasus nantinya. “Tapi sebagian kewenangan pemberian izin masih berada di pusat,” ujarnya.
Dia menjamin bahwa telah ada upaya untuk membangun kawasan perlindungan baru untuk lingkungan alam dan budaya masyarakat. “Kami buat bersama Provinsi Papua, ada beberapa ribu hektar. Ini akan diumumkan pada hari H, kami sedang konsolidasi,” tutur Charlie. Dia mengatakan, kini pemda menargetkan pembuatan road map pembangunan ekonomi hijau segera setelah mendeklarasikan diri sebagai provinsi berkelanjutan.
Menghindarkan kemiskinan absolut
Hal yang penting adalah memastikan bahwa konservasi berjalan terus hingga generasi mendatang, sementara peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak lagi bertumpu pada sumber daya alam. “Perlu grand design, road map,” kata Charlie. Dia tak ingin, jika wisata alam dikembangkan nanti masyarakat Papua hanya menjadi penonton.
“Kemiskinan kami ini berkaitan dengan nilai intrinsik rupiah. Mereka tidak punya uang tunai namun memiliki natural capital hutan dan perairan yang baik. Mereka bisa hidup, makan, dan berkembang dengan modal alam seperti ini. Ini yang perlu kita lindungi dari awal. Kalau tidak dilindungi akan terjadi kemiskinan absolut. Tidak punya cash dan natura capital habis. Tidak bisa apa apa lagi dan menggantungkan pada belas kasihan pada donor dan lainnya,” Ujar Charlie.
Dengan menjadi provinsi konservasi, kata Charlie, Papua Barat juga berkontribusi pada pembangunan rendah karbon. “Kami akan turut mendorong pencapaian komitmen nasional target emisi negara kita. Hutan yang masih luas dan masih bagus dan masih perawan ada di Papua Barat. Akan kita pastikan bahwa kekayaan ini terjaga kualitas dan kuantitasnya sampai generasi yang akan datang,” kata Charlie.
Lebih kompleks
Sementara itu Frankie dari Pusaka Papua pegiat lingkungan dan bekerja dengan masyarakat lokal di Papua mengatakan, problem di Papua Barat soal sumber daya alam lebih kompleks dibanding Papua.
“Di Papua Barat ini perkebunan kelapa sawit dan hak pengusahaan hutan ada di semua hutan yang di luar kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Banyak tambang eksplorasi mineral, batu bara,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (6/10), di Jakarta.
DOKUMENTASI GREENPEACE–Hasil investigasi Greenpeace yang menemukan deforestasi di Papua yang dijadikan kebun kelapa sawit
Menurut Frankie, Pemerintah Provinsi Papua Barat kalah cepat bergerak dibanding Papua sehingga nampak tertinggal. Menurut dia di Papua pengkajian ulang izin sudah berjalan relatif lebih efektif.
“Di Papua ini yang penting adalah mendorong kelompok akar rumput untuk berbicara. Mereka jarang dilibatkan. Sebaiknya mereka dilibatkan dalam konferensi ini mulai dari proses awal hingga perumusan hasil-hasilnya nanti. Apakah mereka sudah dilibatkan?” ujar Frankie. Wilayah Papua seluruhnya ada 7 wilayah adat. Dua wilayah adat berada di wilayah Papua Barat yaitu Domberai dan Bomberai.
Frankie menggarisbawahi, “Penyelamatan lingkungan tidak cukup dengan mekanisme negara saja karena tenaga untuk mengawal tidak sebanding dengan daerah yang demikian luas.Selain itu kalau orang itu tidak tahu situasi sosial budaya ekonomi masyarakat setempat dan dengan topografinya, komunikasinya tidak mungkin.”
Dia mendorong, “Jangan tinggalkan masyarakat mekanisme tidak harus diberikan ke pusat tapi libatkan seluasnya masyarakat adat. Masyarakat punya pengetahuan lama yang sudah terbukti. Gap keterbatasan itu bisa untuk menemukan inovasi dalam hadapi problem baru.”
Menjelang penyelenggaraan ICBE di Manokwari, Frankie mengatakan, muncul keberatan dari beberapa kalangan masyarakat akan keterlibatan Freeport Indonesia dan perusahaan minyak BP dalam penyelenggaraan ICBE.
Papua Barat adalah Mutiara hijau yang diincar banyak orang. Tak mundah menjaga Mutiara itu. Kerja sama pemerintah dan masyarakat adat adalah sesuatu yang ideal. Namun di dalamnya dibutuhkan adanya kepercayaan satu sama lain, antarpihak. Kita semua menunggu hasil ICBE….–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2018