Disambut dengan sembilan flotilla (kapal penyambut), pada pukul 08.50 WIT, Senin (12/3), kapal Greenpeace, Rainbow Warrior, berlabut di Pelabuhan Pelindo II, Manokwari, Papua Barat. Lima tahun berlalu sejak kunjungan terakhirnya di Indonesia, Rainbow Warrior kali ini mengusung pesan untuk mempertahankan hutan demi masa depan, “Hutan Kita, Masa Depan Kita”.
Kapal Rainbow Warrior berlayar sejak 5 Maret 2018 dari Tacloban, Filipina dan berencana melanjutkan perjalan ke Bali pada 14 Maret-17 Maret 2018, dan Jakarta pada 22-30 April 2018. Selanjutnya kapal ini akan meninggalkan Jakarta pada 7 Mei 2018 menuju Kuala Lumpur dan berakhir di Songkla, Thailand.
Salah satu alasan memilih Papua Barat dan Manokwari sebagai salah satu tujuan berlabuh adalah deklarasi Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2015 sebagai Provinsi Konservasi-meskipun sampai sekarang belum juga ada peraturan daerah tentang itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
–Penari dalam kapal flotila (kapal penyambut) memandang kapal Rainbow Warrior yang mendekat untuk masuk ke Pelabuhan Manokwari, Pelindo II, Papua Barat, Senin (12/3)
“Kunjungan ini untuk mendorong agar Pemprov Papua Barat segera menerbitkan perda tentang itu,” ujar juru kampanye global hutan Indonesia Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik.
Pemprov Papua Barat sedang merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah menyesuaikan dengan target sebagai provinsi konservasi. Wakil Gubernur Papua Barat Mohammad Lakotani dalam pertemuan dengan pers di geladak Rainbow Warrior menyatakan, “Saat ini luas kawasan lindung masih 36 persen,” ujarnya. Target luas kawasan lindung sebagai provinsi konservasi adalah 70 persen.
Kepala Greenpeace Indonesia Leo Simanjuntak dalam sambutannya mengatakan, “Papua adalah benteng terakhir hutan kita. Kita bisa memulai perlindungan hutan dari Papua karena yang relatif masih utuh ada di Papua.” Menurut dia, untuk Papua yang paling tepat untuk mempertahankan hutan adalah bentuk hutan adat.
Hal ini dikuatkan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, Nataniel D Mandacan. “Seluruh tanah di Papua ada pemiliknya. Tanah adalah milik sah masyarakat. Tanah, hutan, dan laut di Papua itu bertuan,” Katanya.
Dia berharap dengan menjadi provinsi konservasi, masyarakat juga akan maju dan terpenuhi kebutuhan ekonominya. “Kita tidak tahu bagaimana caranya menjaga hutan dan bisa ada pendapatan,” ujar Mandacan.
Sementara, Kapten Rainbow Warrior Hettie Geenen dari Belanda mengatakan, “Saya sudah mengunjungi hutan alam Amazon beberapa kali. Saya sudah menyaksikan secara langsung di hutan hujan tropis itu, di sana banyak terjadi deforestasi di tengah hutan.” Menurut dia, deforestasi yang terjadi di Indonesia lebih buruk daripada di Brasil.
–Kapten Kapal Rainbow Warrior, Hettie Geenen menikmati kebersamaan melalui tarian penyambutan.
Hutan adat
Berlabuhnya Rainbow Warrior di Manokwari juga digunakan sebagai momentum untuk mendorong percepatan pengakuan hak atas hutan adat. Hutan adat merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial yang menjadi salah satu bentuk reforma agraria, program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah pemerintahan Joko Widodo.
“Kami sudah mendampingi dua desa yang kini menjadi hutan desa yaitu di Manggroholo dan Sira, di Kabupaten Sorong Selatan,” ungkap Kiki.
Papua Barat dengan 62 suku sampai saat ini belum ada yang mendapatkan hak atas hutan adat atau hak ulayat. Persyaratan untuk mendapatkan hak atas hutan adat di antaranya adalah perda tentang pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, peta wilayah adat yang terverifikasi, dan ada hukum adatnya.
Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, di seluruh Indonesia sudah ada 19 perda tentang pengakuan masyarakat adat, “Namun di Papua belum ada sama sekali.”
Dia mendorong agar di setiap provinsi dibentuk pokja pengakuan masyarakat hukum adat. “Juga untuk sekitar 62 masyarakat adat itu harus ada percepatan pembuatan basis data,” ujarnya.
Mohamad Lakotani mengakui, Pemprov Papua Barat belum tahu bagaimana bentuk investasi hijau. “Kami tidak menutup diri pada investasi, namun pembangunan nantinya harus lebih memperhatikan aspek lingkungan secara teliti. Kami akan sangat tegas tentang analisa mengenai dampak lingkungan,” katanya.
Setelah penyambutan dengan upacara yang dimeriahkan oleh para penari lokal dan diakhiri pertemuan dengan pers, digelar acara Solusi Perhutanan Sosial, Pengakuan Wilayah Adat dan Komitmen Investasi di Tanah Papua.–BRIGITA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 13 Maret 2018