Evaluasi Tata Ruang agar Memperhitungkan Risiko Bencana

- Editor

Senin, 7 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tiga kejadian bencana besar yang menelan banyak korban jiwa pada 2018, seperti Lombok, Palu, dan Selat Sunda, mencerminkan pengabaian risiko bencana dalam perencanaan tata ruang. Ke depan, tata ruang di berbagai daerah harus dievaluasi agar lebih memperhitungkan risiko bencana.

”Ketiga kawasan terdampak bencana, seperti Lombok, Palu, dan pesisir Banten, ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Patut dipertanyakan apakah proses perencanaan KEK ini sudah memperhitungkan risiko bencana,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Nur Hidayati dalam diskusi di Jakarta, Minggu (6/1/2018).

Sebagaimana diketahui, KEK Palu telah ditetapkan sebagai pusat logistik terpadu dan industri pengolahan pertambangan di wilayah Sulawesi, sedangkan Tanjung Lesung (Banten) dan Mandalika (Lombok) sebagai KEK Pariwisata. ”Pemerintah harus menyampaikan secara terbuka tentang kerentanan wilayah sehingga masyarakat bisa mengetahui risikonya dan melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Selama ini informasi risiko ini tertutup,” kata Nur Hidayati.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Direktur Perkumpulan SKALA Trinirmalaningrum menambahkan, pemerintah daerah cenderung menutupi risiko bencana di wilayahnya karena kekhawatiran akan mengganggu investasi. ”Dua bulan sebelum gempa 28 September, saya dan para peneliti yang bergabung dalam tim Ekspedisi Palu Koro telah menyampaikan hasil ekspedisi tentang kerentanan sesar ini kepada Gubernur Sulawesi Tengah. Namun, saat itu tidak mendapat tanggapan baik karena dianggap akan menakuti investor,” ungkapnya.

?Padahal, menurut Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia Dahniar Adriani, pembangunan yang mengabaikan pengetahuan lokal dan penelitian ilmiah tentang kerentanan bencana telah memperbesar jumlah korban bencana. Contohnya, dua daerah terdampak likuefaksi di Kota Palu secara tradisional merupakan ruang konservasi air.

Sementara dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rikardo Simarmata, mengatakan, perspektif bencana seharusnya sudah menjadi bagian dari pengelolaan sumber daya alam dan diintergasikan ke dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dia mengingatkan pentingnya pendidikan bencana agar warga memiliki kesadaran dan kemampuan menyelamatkan diri dari bencana, tanpa menanti peringatan dini dari instansi berwenang yang dalam praktiknya kerap gagal.

?Nur Hidayati juga bersikap secara kritis terhadap wacana pembangunan tanggul laut di Teluk Palu dengan dana utang. Padahal, hutan bakau terbukti lebih baik melindungi area pesisir dan permukiman.

Hal itu sejalan dengan hasil survei ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, yang menemukan rumah-rumah di Kampung Kabonga dan Labuan Bajo, Kabupaten Donggala, tak rusak karena terlindungi hutan mangrove setebal 50-75 meter. Di luar hutan mangrove, tinggi tsunami 5 meter, tapi sampai di rumah warga tinggal 1 meter. Itu membuktikan hutan mangrove efektif meredam dampak tsunami.

Dalam diskusi ini, para narasumber sepakat mendorong pemerintah mengevaluasi tata ruang dengan memasukkan perspektif kerawanan bencana alam ataupun ekologis, serta memperhatikan pengetahuan lokal. Mitigasi bencana alam dan perubahan iklim harus menjadi bagian perencanaan tata ruang nasional dan wilayah. Hal itu bisa dilakukan dengan memasukkan zonasi rawan bencana sebagai nomenklatur khusus di dalam rencana tata ruang wilayah.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 7 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB