Risiko yang berpotensi terjadi di ibu kota baru adalah bencana meteorologis seperti banjir, tepatnya di muara-muara sungai dan pantai. Ancaman bencana lainnya adalah gelombang tsunami pesisir timur Kalimantan Utara dalam kategori kecil sebagai dampak dari aktivitas kegempaan di Sulawesi.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Lanskap pusat wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (29/8/2019). Penajam Paser Utara dan Samboja akan menjadi bagian dari ibu kota baru yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo.
Tingkat ancaman bencana lokasi ibu kota baru Indonesia di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, bergantung pada tata ruang berbasis risiko bencana. Langkah tersebut juga mesti diimbangi dengan kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernadus Wisnu Widjaja dalam konferensi pers ”Antisipasi Bencana” BNPB di Jakarta, Jumat (30/8/2019), mengatakan, berdasarkan aplikasi pemantau bencana inaRisk, lokasi ibu kota baru lebih aman dari potensi bencana dibandingkan pulau besar lainnya. Dengan catatan, tata ruang dan wilayah harus disiapkan sebaik-baiknya.
”Kondisi aman tersebut adalah kondisi saat ini karena risiko bencana amat dinamis,” katanya.
Wisnu mengatakan, risiko yang berpotensi terjadi di ibu kota baru adalah bencana meteorologis seperti banjir, tepatnya di muara-muara sungai dan pantai. Ancaman bencana lainnya adalah gelombang tsunami pesisir timur Kalimantan Utara dalam kategori kecil sebagai dampak aktivitas kegempaan di Sulawesi.
”Tsunami bisa jadi terjadi, tetapi bencananya belum tentu terjadi jika daerah-daerah pesisir yang rawan tidak ada aktivitas manusia,” ujarnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Bernadus Wisnu Widjaja.
Pengelolaan tata ruang dan wilayah yang baik, kata Wisnu, adalah dengan memisahkan area industri, pemerintahan, dan permukiman dengan menghindari pembangunan di kawasan pesisir. Hal itu juga mesti diimbangi dengan pengelolaan urbanisasi yang terukur agar tidak terjadi penumpukan kepadatan penduduk di satu wilayah.
”Wilayah perkantoran harus untuk perkantoran, perumahan juga untuk perumahan, jangan fleksibel,” kata Wisnu.
Seperti diketahui, risiko bencana akan meningkat seiring dengan perilaku manusia yang tidak bisa menjaga lingkungan. Oleh sebab itu, masyarakat harus diberikan edukasi untuk menjaga lingkungan dan kesadaran bencana sejak awal. Misalnya, dengan tidak membangun hunian di kawasan daerah aliran sungai (DAS).
Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa kondisi tanah di Kalimantan Timur cenderung stabil dalam merespons gelombang gempa bumi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya. Hal tersebut karena kondisi batuan yang kompak dan keras sehingga mampu meredam gelombang gempa.
Pulau Kalimantan sebenarnya bagian dari Benua Asia. Batuan-batuan penyusunnya berusia jutaan tahun sehingga kokoh. Hal itu berbeda dengan struktur batuan di pulau-pulau besar lainnya yang terbentuk akibat tumbukan lempeng-lempeng tektonik.
Risiko rendah
Peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, tingkat risiko ancaman bencana gempa dan tsunami Kalimantan Timur berada di level rendah hingga sedang. Risiko tersebut merupakan dampak dari wilayah lain seperti dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
KOMPAS/EDDY HASBY–Widjo Kongko
Selain itu, potensi tsunami juga bisa disebabkan oleh longsoran bawah laut dari daratan yang ada di Sulawesi. Lokasi longsoran tersebut berpotensi terjadi di sisi barat Sulawesi yang memiliki kemiringan hingga lebih dari 5 persen. Meski begitu, risiko tersebut perlu dikaji lebih lanjut.
”Ke depan, kajian ini perlu disimulasikan lebih lanjut mengingat sebelah timur kalimantan kan dasar lautnya cukup dangkal sekitar 100 meter dengan panjang 75 kilometer,” katanya.
Oleh FAJAR RAMADHAN
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2019