Evolusi Kalimantan

- Editor

Rabu, 28 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Akhirnya, ibu kota negeri ini diputuskan pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur, persisnya Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Di luar perdebatan tentang besarnya anggaran pemindahan ibu kota yang mencapai Rp 466 triliun, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta seharusnya dilakukan sejak dulu sebelum Jakarta meraksasa dan akut masalahnya seperti saat ini.

Daya dukung lingkungan dan daya tampung Jakarta yang sangat terbatas jelas tidak layak untuk menampung 10,37 jiwa penduduk dan menjadi pusat segala aktivitas di negeri ini. Sejak dibangun Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 sebagai pusat operasi kongsi dagang Belanda (VOC), Jakarta selalu langganan kebanjiran. Jakarta yang sejatinya merupakan cekungan banjir dan muara 13 sungai ini kini juga dihantui banjir rob seiring dengan penurunan tanah yang rata-rata 7,5-20 sentimeter per tahun.

Kemacetan dan polusi udara menjadi beban tambahan yang tak teratasi. Belum lagi ancaman gempa bumi, yang menurut catatan sejarah pernah berulang mengguncang dan merusak kota ini. Kajian Arthur Wichman (1918) menyebut, gempa kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 dini hari. Selain meruntuhkan banyak bangunan, gempa memicu longsor di Gunung Gede Pangrango dan Salak. Pada 22 Januari 1780, gempa kuat yang guncangannya dirasakan sampai tenggara Sumatera juga melanda Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemilihan Kalimantan sebagai calon ibu kota baru memiliki alasan kuat. Posisinya yang berada di jantung Indonesia pernah menjadi alasan Soekarno memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Secara geologi, Kalimantan juga paling stabil dibandingkan daerah lain di negeri ini. Sekalipun memiliki sejumlah jalur sesar lokal, risiko gempa bumi di Kalimantan paling rendah dibandingkan pulau besar lainnya di Indonesia.

Di era prasejarah, Kalimantan juga memiliki posisi penting. Jejak arkeologis menunjukkan, penghunian manusia modern pertama (Homo sapiens) di Kepulauan Asia Tenggara sejak 50.000 tahun lalu telah ditemukan di pulau ini, persisnya di Goa Niah di wilayah Sarawak, Malaysia. Jejak itu juga bisa ditemukan pada lukisan tangan di gua karst Sangkulirang Mangkalihat di Kalimantan Timur yang merekam perjalanan manusia dalam rentang 50.000-3.500 tahun lalu.

Jejak panjang penghunian di pulau terbesar ketiga di dunia—setelah Greenland dan Papua—ini menandai pentingnya posisi Kalimantan. Pulau ini menjadi jembatan strategis migrasi manusia sejak zaman purba, yang menghubungkan Kepulauan Filipina, Semenanjung Melayu, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa.

Pada awal era sejarah, Kalimantan tetap menempati posisi penting. Pulau ini termasuk yang paling awal dengan peradaban dari luar, ditandai keberadaan Kerajaan Hindu tertua di Nusantara di Kutai Mulawarman sejak abad ke-5 Masehi. Namun, pusat pertumbuhan di Nusantara bergeser ke pesisir timur Sumatera dan berikutnya ke pantai utara Jawa.

Sekalipun eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan telah dimulai sejak era kolonial, yaitu ketika Sultan Kutai memberikan konsesi batubara dan minyak bumi kepada pengusaha Belanda, Jacobus Hubertus Menten, pada 1888, pedalaman Kalimantan hingga saat itu belum terusik. Kalimantan lebih banyak dikisahkan sebagai rimba belantara yang dihuni para pemenggal kepala hingga “manusia berekor” (Carl Alfred Bock dalam The Head Hunters of Borneo, 1881).

Baru pada tahun 1904, hutan-hutan di hulu Sungai Barito mulai ditebang dan dihanyutkan melalui sungai hingga ke pantai, khususnya di sekitar Kutai (Potter, 1988). Eksploitasi besar-besaran hutan Kalimantan terjadi sejak era Orde Baru di pengujung 1960-an, yang diikuti penambangan batubara, pembukaan lahan gambut, dan konversi untuk kelapa sawit.

Kajian David Gaveau (jurnal Plose One, 2014) menyebutkan, lebih dari 30 persen hutan tropis Kalimantan hilang selama periode 1973-2010. Hancurnya ekologi Kalimantan ini juga memicu bencana, terutama kebakaran hutan dan lahan, selain banjir yang semakin luas. Sejak kebakaran dahsyat pada 1997/1998, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi di Kalimantan di musim kemarau.

Inilah salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan. Jangan sampai pemindahan ibu kota baru hanya memindahkan atau bahkan menambah masalah baru di Pulau Kalimantan yang telah merosot daya dukung lingkungannya.– Ahmad Arif

Sumber: Kompas, 28 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB