Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur memiliki potensi menimbulkan konflik masyarakat. Mitigasi terkait hal ini perlu dimatangkan serta dilakukan dialog-dialog partisipatif sampai pada tingkat tapak, yaitu melibatkan komunitas lokal atau masyarakat adat sejak dini.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Diskusi terbatas di Kantor Staf Kepresidenan yang menghadirkan sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil, maupun individu professional, bertema “Pemindahan Ibu Kota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik)”, Selasa (3/9/2019), di Bina Graha, Jakarta.
Menurut data survei penduduk data antar sensus (SupasS, 2015) yang dimiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, komposisi etnisitas (menurut provinsi kelahiran) di Kalimantan Timur, penduduk lokal yang lahir di Kalimantan Timur sebanyak 67 persen, disusul Jawa Timur (11 persen), Sulawesi Selatan (delapan persen), dan daerah lain. Komposisi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara hampir serupa dengan provinsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Komposisi Etnisitas Penduduk seperti dipaparkan Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki dalam diskusi bertema “Pemindahan Ibukota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik)”, Selasa (3/9/2019) di Bina Graha Kantor staf Kepresidenan, Jakarta yang menghadirkan sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil, maupun individu profesional.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2018, Bappenas menunjukkan tingkat pendidikan pekerja di Kaltim sejumlah 38 persen merupakan lulusan SMA, 18 persen SD, 16 persen SMP, dan 13 persen pendidikan tinggi. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, Maret 2018), pendapatan penduduk asli lebih rendah daripada pendatang di kabupaten-kabupaten di Kaltim, kecuali di Samarinda.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Komposisi Tenaga Kerja Tingkat Pendidikan seperti dipaparkan Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki dalam diskusi bertema “Pemindahan Ibukota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik)”, Selasa (3/9/2019) di Bina Graha Kantor staf Kepresidenan, Jakarta yang menghadirkan sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil, maupun individu profesional.
Di sisi lain, Kalimantan Timur memiliki sejumlah konflik kekerasan terkait identitas tertinggi di Pulau Kalimantan yaitu 13 konflik dari total 24 konflik (Survei Nasional Pemantauan Kekerasan, 2014). Dari sisi konflik kekerasan terkait sumber daya alam, jumlah kasus di Kaltim nomor dua yaitu 19 konflik setelah Kalimantan Tengah (23 konflik) dari total 66 konflik.
Yekti Maunati, antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pernah meneliti suku dayak setempat, Selasa (3/9/2019), di Jakarta, mendorong agar pemindahan ibu kota negara tidak menjadi inklusif terhadap masyarakat lokal. Ia pun berpesan agar masyarakat lokal setempat tak termarjinalkan akibat dampak pemindahan ibu kota.
“Masyarakat dayak punya kearifan lokal terhadap tanah. Itu harus digali karena bisa menjadi sumber konflik,” kata dia dalam diskusi terbatas di Kantor Staf Kepresidenan yang menghadirkan sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil, maupun individu profesional, terkait Pemindahan Ibukota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Konflik Kekerasan di Kalimantan seperti dipaparkan Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki dalam diskusi bertema “Pemindahan Ibukota Negara: Sudut Pandang Ekologi dan Kearifan Lokal (Sosial Politik)”, Selasa (3/9/2019) di Bina Graha Kantor staf Kepresidenan, Jakarta yang menghadirkan sejumlah pakar dan organisasi masyarakat sipil, maupun individu profesional.
Cegah disintegrasi
Yekti pun mengatakan penguasaan tanah oleh komunitas masyarakat atau masyarakat adat setempat dimiliki komunal atau beberapa keluarga serta potensi klaim atas ulayat atau hak atas tanah. Ia pun mengingatkan lebih dari 10 tahun lalu pernah terjadi konflik berdampak serius antara pendatang dan masyarakat lokal di Nunukan (dulu Kaltim, kini Kalimantan Utara).
Agar tak terjadi disintegrasi, ia mencontohkan yang dilakukan Singapura dengan mewajibkan apartemen agar dihuni oleh etnis berbeda-beda. Karena itu, ia menilai riskan menimbulkan risiko konflik apabila aparat sipil negara (ASN) dari Jakarta yang pindah ke Kaltim menempati hunian tersendiri.
Herry Yogaswara, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI mengatakan pemindahan ibu kota juga perlu memetakan aktor-aktor atau organisasi setempat yang berbasis etnis. Ia mengatakan organisasi seperti ini memiliki pengaruh besar yang bisa memengaruhi secara sosial maupun politik di masyarakat.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan di Kalimantan teregistrasi 4,6 juta hektar di 391 wilayah adat. Luasan tersebut berdasarkan respons klaim masyarakat adat setempat.
Ia mengatakan registrasi tersebut belum menyentuh lokasi ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. “Belum ada registrasi di PPU dan Kukar, tapi bukan berarti tidak ada (wilayah adat),” kata dia.
Kasmita menyarankan agar keberpihakan berupa pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta kearifan lokalnya menjadi bagian awal dalam proses pemindahan ibu kota. Karena, bila hal ini dilakukan di akhir dan telanjur menjadi masalah, upaya mengurai konflik tenurial menjadi rumit.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki mengatakan masukan dari sisi sosial antropologi ini menjadi masukan dalam proses pemindahan ibu kota. Ia mengakui konflik sosial bisa dipicu oleh ketimpangan ekonomi. Di sisi lain, ia mengatakan konflik kekerasan di Kaltim relatif rendah karena konflik kekerasan tertinggi berada di Sumatera Utara sejumlah 1.200 konflik.
Rivani Noor Machdjoeri Koordinator Nasional Poros Hijau Indonesia mendorong agar resiliensi warga lokal ditingkatkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dari sisi ekonomi, pemindahan ibukota ini juga diiringi program-program perhutanan sosial maupun reforma agraria yang bisa meningkatkan perekonomian setempat serta melibatkan warga lokal dalam pemenuhan kebutuhan warga ibu kota.
Martua Sirait, antropolog kehutanan berharap agar proses daerah menjadi ibu kota Negara dijalankan secara baik dan sehat. “Berharap tidak ada cerita-cerita buruk yang dituturkan kepada anak cucu, tapi sebuah kebanggaan,” kata dia.
Ia memberi contoh baik, pemindahan ibukota Kabupaten Tambrauw di Papua Barat dari Sausapor di daerah pantai ke Fef di daerah gunung. Itu dilakukan dengan persiapan sosial matang dengan menggelar sidang-sidang adat. Hal sensitif seperti kepemilikan ulayat tanah dibicarakan secara tuntas dan mengikuti tata cara adat agar hasilnya bisa diterima secara adat dan tak menjadi masalah pada kemudian hari.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 4 September 2019