Home / Berita / Literasi Bencana sebagai Investasi

Literasi Bencana sebagai Investasi

Literasi tentang risiko bencana di suatu daerah seharusnya dipahami sebagai investasi bukan sebagai beban sehingga tidak harus ditutupi. Risiko bencana yang dikelola dengan baik dan transparan justru memberi kepastian terhadap investasi dan pembangunan ke depan.

“Negara dengan kerentanan gempa tinggi seperti Jepang misalnya, investasi tetap tinggi dan pembangunannya tetap jalan. Jadi, alasan pengetahuan risiko gempa melemahkan investasi tidak dibenarkan. Harus diubah,” kata Burhanudin dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dalam diskusi dan peluncuran buku Ekspedisi Sesar Palu-Koro, di Jakarta, Selasa (23/4/2019).

Tiang pancang dermaga kuno di Pantai Talise, Kota Palu, Sulteng, tersingkap setelah diterjang tsunami seperti terlihat pada Minggu (30/12/2018). Tsunami menerjang Teluk Palu pada 28 September 2018.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI

KOMPAS/VIDELIS JEMALI–Tiang pancang dermaga kuno di Pantai Talise, Kota Palu, Sulteng, tersingkap setelah diterjang tsunami seperti terlihat pada Minggu (30/12/2018). Tsunami menerjang Teluk Palu pada 28 September 2018.

Ekspedisi Sesar Palu Koro dilakukan sejumlah peneliti, termasuk IAGI dan para penggiat kebencanaan, sebelum terjadi gempa di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. “Ekspedisi ini membuktikan bahwa sesar Palu Koro memang sangat aktif dan gempa bisa berulang, namun dibutuhkan penelitian lanjutan terutama mikrozonasi untuk menentukan arah pembangunan kawasan yang dilaluinya,” kata Burhanudin.

Pada 30 Juli 2018, Tim Ekspedisi Sesar Palu Koro telah memberikan data-data hasil ekspedisi kepada Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola. “Sebelum jalan juga sempat berusaha menghubungi pemerintah, namun kurang mendapat respon baik. Bahkan bisa ketemu Gubernur Sulteng setelah dua tahun. Susah sekali menyampaikan ke pemda tentang risiko bencana karena selama ini hal ini dianggap menakut-nakuti dan beban bagi investasi di daerah,” kata Ketua Tim Ekspedisi, Trinimalaningrum.

Neneng Susilawati, anggota Tim Ekspedisi, mengaku masih menyimpan video pertemuan itu. “Pemerintah tidak responsif pada kajian bencana, Gubernur saat itu juga tak percaya dengan tim geolog. Sebab, dulu Prof JA Katili (Direktur Jenderal Pertambangan Umum pada 1973-1984) menyatakan Palu akan hancur karena gempa, tapi tak terjadi dan membuat warga takut,” kata Neneng.

Neni Muhidin dari Nemu Buku Palu, yang terlibat dalam ekspedisi ini menambahkan, ketidaktahuan tentang risiko bencana juga terjadi di kalangan masyarakat. “Sebelum gempa 28 September, masyarakat kebanyakan tidak tahu bahwa gempa besar, apalagi tsunami bisa terjadi di Teluk Palu. Gempa-gempa kecil memang sering terjadi, tetapi tidak ada yang menyadari bahwa mereka tinggal di atas patahan aktif dan sewaktu-waktu bisa dilanda gempa merusak,” kata dia.

Padahal, data-data sejarah menunjukkan bahwa Teluk Palu telah berulangkali dilanda gempa besar dan tsunami, termasuk juga kemungkinan terjadinya likuefaksi di masa lalu. Literasi yang buruk menyebabkan pengalaman bencana yang berulang di masa lalu tidak sampai ke generasi saat ini

Studi terpisah oleh ahli tsunami Gegar Prasetya (2001) menyebutkan, Teluk Palu dan Selat Makassar kawasan pernah dilanda belasan kali tsunami dalam 200 tahun terakhir. Sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan ini dari tahun 1820 hingga 1882. Adapun sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Ditambah dengan kejadian 2018, berarti total kejadian tsunami di kawasan ini sudah 19 kali, merupakan yang terbanyak di Indonesia.

Partisipatif
Sekalipun gempa yang disusul tsunami dan likefaksi Palu-Donggala pada 2018 menelan ribuan korban jiwa, namun literasi masyarakat tentang bencana juga belum terbangun dengan baik. Kini, sepanjang zona sesar Palu-Koro mulai dibangun kembali. Padahal, seperti direkomendasikan geolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam tulisannya di buku laporan ekspedisi ini, jalur sesar aktif, seperti Palu Koro ini harus dihindari minimal 15 meter tiap sisinya.

–Usulan pembangunan tanggul laut di Palu untuk melindungi tsunami. Sumber: Dokumen Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah

Menurut Neni, risiko bencana ini harus disampaikan kepada masyarakat dan upaya mengatasinya juga dengan melibatkan warga. “Jangan sampai atas dalih mitigasi, justru memicu masalah baru, seperti rencana pembangunan tanggul tsunami di Palu setelah bencana yang selain tidak partisipatif sehingga ditentang masyarakat. Padahal, ada solusi lain lebih ramah lingkungan dan murah, misalnya dengan mangrove,” kata Neni.

Selain mendapat penolakan warga, sejumlah ahli yang tergabung dalam Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) juga telah mengingatkan pemerintah untuk meninjau ulang rencana pembangunan tanggul di pesisir Palu-Koro. Selain berbiaya mahal yang akan ditopang dari dana hutang, tanggul laut yang merupakan usulan dari Jepang ini dinilai tidak sesuai dengan konteks lokal dan belum tentu efektif meredam tsunami.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 24 April 2019

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: