Aspek Sosial Kebencanaan Diabaikan

- Editor

Selasa, 4 Desember 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dimensi sosial terkait kebencanaan terabaikan dalam manajemen pengurangan risiko di Indonesia. Pengabaian dimensi sosial itu menjadi salah satu penyebab terus tingginya korban dan kerugian ekonomi dari setiap bencana, termasuk dalam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September lalu.

”Bencana di Palu ini harus jadi momentum perubahan. Kenapa pengetahuan yang sudah ada selama ini, terutama sejak tsunami Aceh 2004, tidak mampu mengurangi besarnya jumlah korban dan kerugian ekonomi di Palu,” kata Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Yogaswara dalam pertemuan dengan para peneliti kebencanaan, Senin (3/12/2018), di Jakarta.

KOMPAS/AHMAD ARIF–Masjid Apung di tepi Pantai Talise, Kota Palu, benar-benar terapung di tengah laut setelah gempa dan tsunami yang melanda kawasan ini pada 28 September 2018. Pergeseran tanah di Lembah Palu mencapai 6 meter dan penurunan tanahnya secara vertikal mencapai 3 meter setelah gempa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertemuan itu diinisiasi LIPI dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mendiskusikan kontribusi yang bisa dilakukan ilmuwan sosial di bidang kebencanaan, terutama untuk membantu memulihkan Sulawesi Tengah pascabencana. Peneliti bidang keteknikan juga turut hadir.

Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya mengatakan, risiko gempa bumi dan tsunami di Teluk Palu telah diketahui sejak lama. Pada 1996 dan 2001 pihaknya juga memublikasikan kajian tentang keberulangan gempa dan tsunami di kawasan itu.

”Salah satu publikasi saya menyebutkan, peringatan dini tsunami tak akan efektif di Palu karena sumbernya dekat daratan sehingga waktu tibanya amat pendek. Selain persoalan komunikasi di publik, masalah kita sebenarnya juga di birokrasi yang menangani kebencanaan,” kata Gegar.

Kapasitas lokal
Menurut antropolog Universitas Gadjah Mada, Esti Anantasari, sejak 2010 sebenarnya penguatan kapasitas lokal terkait risiko bencana di Palu dan Donggala telah dilakukan bekerja sama dengan pihak Selandia Baru.

”Palu dan Donggala merupakan proyek percontohan untuk intervensi risiko ini. Sejak 2010 kami sampaikan kepada DPRD dan pemerintah daerah, tetapi risiko bencana ini tidak menjadi perhatian di daerah, bahkan kerap dianggap mengganggu investasi. Ini salah satu tantangan besar yang harus diatasi,” ujarnya.

Hasil kaji cepat peneliti LIPI, Syarifah Dalimunthe, terhadap kelompok penyintas bencana di Sulawesi Tengah menunjukkan, warga umumnya belum memahami apa yang harus dilakukan untuk menghindari fatalitas.

Iriana Rafliana dari Center for Interdisciplinary and Advanced Research-LIPI menambahkan, kejadian di Sulawesi Tengah menunjukkan, alur sistem peringatan dini belum berjalan baik sehingga tidak dapat memperingatkan penduduk segera menyelamatkan diri. ”Ini harus jadi pelajaran,” katanya.

Para peneliti yang datang dalam diskusi itu menyepakati pentingnya pendekatan multidisiplin dalam pengurangan risiko bencana, termasuk dalam pembangunan kembali Sulawesi Tengah.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 4 Desember 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB