Dimensi Sosial Masih Diabaikan pada Pemulihan Pasca Bencana

- Editor

Rabu, 16 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi tahapan sangat penting bagi penyintas untuk kembali menata hidup lebih baik dan lebih aman dari bencana. Namun, selama ini fase ini lebih difokuskan pada aspek infrastruktur fisik dan mengabaikan dimensi sosial budaya.

Pengabaian dimensi ini sosial kerapkali memicu berbagai persoalan, seperti juga terjadi di Sulawesi Tengah setelah bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. ?Berbagai persoalan pascabencana di Sulawesi Tengah ini ditemukan tim peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gusti Ayu Ketut Surtiari, dalam seminar, di Jakarta, Selasa (15/1/2019), mengatakan, penelitian ini menemukan adanya persoalan terkait lambannya pemulihan sumber penghidupan warga, baik petani maupun nelayan, yang mendominasi profil penyintas. Keterlambatan ini, salah satunya dipicu karena belum adanya pendataan profesi penyintas dan juga lahan yang terdampak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

–Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gusti Ayu Ketut Surtiari (berdiri), memaparkan kajiananya terkait pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah dalam seminar, di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

?Selain itu, juga ditemukan persoalan pada hunian sementara. “Standar huntara (hunian sementara) yang beda-beda yang memicu terjadinya kesenjangan sosial. Ada huntara yang baru dipakai rusak, tanpa fasilitas MCK dan air bersih. Bahkan, ada huntara yang berada di daerah rawan banjir,” kata Ayu.

?Menurut Ayu, salah satu penyebab persoalan ini karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan huntara. Hal ini menyebabkan adanya penolakan huntara. Bahkan, saat ini muncul gerakan penolakan masyarakat di daerah terdampak likuefaksi di Balaroa dan Petobo, Kota Palu terhadap rencana relokasi.

?Kajian ini memberikan dua rekomendasi untuk pemulihan tempat tinggal dan sumber penghidupan. “Pemerintah harus menjaga kualitas sesuai standar minimal sehingga penyintas tidak menjadi lebih rentan dan perlahan dapat kembali ke kehidupan normal. Huntara yang berkualitas baik, juga bisa menjadi transisi untuk pembangunan kembali yang lebih baik,” kata dia.

?Untuk rencana relokasi ke depan, termasuk lokasi dan detail perencanaannya, direkomendasikan untuk dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. “Ini menjadi kunci keberhasilan relokasi,” kata dia.

Berbasis komunitas
?Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan Bappenas, Sumedi Andono Mulyo, yang menjadi pembahas kajian ini mengatakan, untuk membangun pascabencana yang lebih baik (build back better) idealnya dengan pendekatan berbasis komunitas. Namun, ini membutuhkan proses dan waktu yang lebih lama. Padahal, banyak tekanan politik dan ekonomi, yang menuntut proses pemulihan dilakukan lebih cepat.

?Perencana Ahli Utama Bappenas yang juga Sekretaris Tim Koordinasi dan Asistensi Pemulihan dan Pembangunan Sulawesi Tengah-Nusa Tenggara Barat Suprayoga Hadi mengakui, rencana induk pemulihan Sulawesi Tengah masih menyimpan banyak kekurangan. Temasuk juga masih adanya keberatan dari Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terkait peta risiko bencana ke depan.

?“Untuk huntara memang ada persoalan lokasinya yang cukup jauh dengan kampung semula maupun hunian tetapnya. Ini akan diatasi dengan perbaikan akses. Sedangkan keberatan BMKG sudah coba diakomodasi. Tetapi, jika masih ada yang belum terwadahi, bisa disempurnakan dalam revisi RTRW-nya. RTRW ini yang lebih menentukan karena akan mengikat pembangunan di kawasan ini sampai 20 tahun ke depan,” kata Suprayoga.

?Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti, dalam sambutannya mengatakan, dari kajian ini menegaskan pentingnya kajian yang terintegrasi dan multidisiplin dalam penanganan pascabencana. Ini bisa dilakukan dengan menempatkan ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.

?Menurut Nuke, sejak tsunami Aceh 2004, sejumlah upaya untuk menanggulangi bencana telah dilakukan, tetapi sifatnya parsial. “Dari tiga bencana terakhir yang terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda belum terlihat ada sinergi yang jelas,” kata dia.

“Belajar dari bencana-bencana yang berulang, Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI sedang membangun Pusat Kebencanaan. Harapanya penelitian ini memberikan kontribusi pada kebijakan yang lebih baik,” kata Nuke.–Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 16 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 20 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB