Bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu dan tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu telah memberi perspektif baru di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini juga memicu perubahan dalam strategi mitigasi bencana di Indonesia.
Berbagai perspektif dan temuan baru dari para peneliti dari dalam dan luar negeri tentang bencana alam yang melanda Sulawesi Tengah dan Selat Sunda ini dipresentasikan pada simposium internasional di Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta, Kamis (26/9/2019) dan direncanakan hingga Sabtu ini.
—Untuk memperingati satu tahun setelah bencana di Sulawesi Tengah dan Selat Sunda, BMKG bersama UNESCO-IOC dan didukung sejumlah kementeriannlembaga mengadakan simposium internasional di Jakarta, Kamis (26/9). Sejumlah penelitian baru terkait dua kejadian ini dipresentasikan. Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Acara untuk memperingati satu tahun bencana yang alam menewaskan 4.340 orang di Sulawesi Tengah dan 426 di Selat Sunda ini diinisiasi oleh United nations Educational, Scientific and Cutural Organization-Intergovernmental Oceanographic Commission (UNESCO-IOC) dan sejumlah kementerian serta lembaga pemerintah.
Sejumlah ahli dunia yang mempresentasikan temuannya meliputi A Yalciner dari Ocean Engineering Research Center Turki, Philip L-F. Liu dari National University of Singapore, Hermann fritz dari Georgia Institute of Technology, Fumihiko Imamura dari Tohoku University, serta sejumlah ahli dari Badan Pengakjian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahaun Indonesia, dan perguruan tinggi di Indonesia.
Shahbaz Khan dari UNESCO Kantor Jakarta, dalam sambutannya, mengatakan, bencana yang melanda Sulawesi Tengah dan Selat Sunda jadi momentum untuk belajar dan melakukan perubahan. Salah satu pelajarannya adalah apakah sistem peringatan dini bekerja atau tidak dan kenapa. Lebih penting lagi, bagaimana membuat Indonesia lebih kuat menghadapi bencana dan tidak ada orang yg tertinggal di belakang.
Kepala BMKG Dwikorita mengatakan, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari dua kejadian bencana yang terjadi tahun lalu dan menewaskan ribuan ornag ini. “Banyak pemahaman baru yang kita dapatkan dan kita harus meningkatkan kapasitas untuk mitigasi bencana,” katanya.
Selama ini sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) yang dibangun setelah tsunami Aceh hanya dipersiapkan untuk mengantisipasi tsunami yang bersumber dari aktivitas tektonik atau gempa bumi. Namun, bencana di Selat Sunda menunjukkan tsunami bisa dipicu aktivitas vulkanik.
Integrasi sistem
“Sekarang kita sudah mengintegrasikan sistem deteksi kegempaan dengan aktivitas vulkanik sehingga bisa deteksi risiko Anak Krakatau. Untuk memantau di Selat Sunda juga telah dibangun radar tsunam,” ungkapnya.
Di tingkat hulu tantangannya adalah bisa memberikan peringatan dini tsunami dengan cepat. InaTEWS memandatkan BMKG untuk menyampaikan peringatan dini tsunami lima menit setelah gempa. Padahal, dalam kasus di Teluk Palu, tsunami terjadi kurang dari tiga menit. “Ini akan dilakukan salah satunya dengan menamba kerapatan sensor. Sekarang kita hanya punya 174 sensor. Kita tambah 400 sensor dalam dua tahun,” kata dia.
Tantangan juga terdapat pada aspek sosial budaya, selain juga aspek birokrasi. Sekalipun kewenangan untuk mengeluarkan peringatan dini tsunami ada di BMKG, namun selama ini yang berwenang memerintahkan evakuasi dan memencet sirine tsunami ada di Pemerintah Daerah. Dalam sejumlah kejadian, penjaga tombol sirine yang berada di bawah Badan Penanggulangan Bencana Daerah meninggalkan posisinya saat kondisi darurat.
“Tidak ada regulasi yang bisa memaksa pemerintah daerah untuk memencet sirine tsunami setelah menerima informasi dari BMKG,” ujarnya. Hal ini disebabkan kewenangan untuk memberikan perintah evakuasi masyarakat ada di tangan Pemerintah Daerah. Harapannya, adanya peraturan presiden baru tentang InaTEWS bisa mengurai masalahnya.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 September 2019