Planetarium dan Observatorium Jakarta menyediakan teropong bagi masyarakat yang ingin menyaksikan gerhana bulan di Plaza Area Teater Besar, Taman Ismail Marzuki pada 27-28 Juli 2018. Sejumlah petugas dari Himpunan Astronomi Amatir Jakarta berada di titik-titik teropong untuk membantu memberikan penjelasan bagi masyarakat tentang astronomi.
Kepala Satuan Pelaksana Teknik Pertunjukan dan Publikasi Planetarium dan Observatorium Jakarta, Eko Wahyu Wibowo, mengatakan, momentum gerhana bulan ini bisa menjadi sarana pembelajaran langsung bagi masyarakat. Masyarakat, khususnya pelajar, bisa dengan bebas mengajukan pertanyaan pada para petugas dari Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ).
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS–Pengunjung memadati Planetarium dan Observatorium Jakarta sejak Jumat (28/7/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kira-kira ada lebih dari 30 petugas yang sudah disiapkan pada acara ini. Ada kemungkinan bertambah. Kami harapkan masyarakat bisa mendapatkan penjelasan dari mereka. Beberapa tadi banyak yang bertanya secara aktif,” kata Eko, Sabtu (28/7/2018).
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS–Pengunjungsedang mengambil foto gerhana bulan, Sabtu (28/7/2018).
Panitia membuka pendaftaran bagi pengunjung secara daring. Sebanyak 1.212 pengunjung sudah terdaftar secara daring. Hingga pukul 01.15 pengunjung yang sudah datang langsung sebanyak 393 orang. Sebagian besar datang sejak Jumat (27/7/2018) pukul 23.00. Setidaknya ada 11 teropong yang disiapkan bagi masyarakat.
Mereka rela menunggu di pelataran Planetarium dan Observatorium Jakarta sambil duduk dan tiduran. Perkiraan puncak dari gerhana bulan akan terjadi pukul 02.30. Beberapa orangtua juga mengajak anak mereka. Himpunan Astronomi Amatir Jakarta juga menyediakan sarana permainan anak berupa ular tangga. Sejumlah anak nampak mengantre permainan tersebut.
Salah satu pengunjung, Vira Septiana (30), mengajak dua anaknya untuk melihat gerhana bulan melalui teropong. Ia sengaja menidurkan anaknya pada siang hari agar tidak mengantuk malamnya.
“Selama ini teman-temannya bilang kalau pas gerhana bakal muncul buto ijo. Mereka saya ajak supaya tahu langsung bahwa mitos itu salah. Anak-anak juga antusias,” kata Vira.
Selama ini teman-temannya bilang kalau pas gerhana bakal muncul buto ijo. Mereka saya ajak supaya tahu langsung bahwa mitos itu salah.
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPA–Pengamatan gerhana bulan sebagian dari teropong Planetarium dan Observatorium Jakarta, Sabtu (28/7/2018).
(Fajar Ramadhan)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 28 Juli 2018
———————
Mengamati Gerhana Bulan, Belajar tentang Fenomena Alam
Sekitar 200 pengunjung memenuhi dak atap di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, sejak Jumat (27/7/2018) pukul 23.00. Mereka — mulai dari anak-anak hingga orang dewasa — ingin menyaksikan secara langsung Gerhana Bulan Total yang terjadi pada Sabtu (28/7/2018) dini hari.
Para siswa ada yang berasal dari Madrasah Ibtidayah (MI) Azzarofah, Jakarta dan SMP Al Jannah, Cibubur. Andrea (12), murid SMP Al Jannah, mengatakan, dirinya senang mempunyai kesempatan menyaksikan gerhana bulan di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP-Iptek) di TMII. Ia dapat melihat secara langsung fenomena alam yang biasanya hanya dapat dipelajari di kelas.
“Baru pertama kali liat gerhana bulan, rasanya penasaran,” kata Andrea sembari mengantre untuk melihat bulan dari teropong.
SHARON UNTUK KOMPAS–Hasil pengamatan bulan melalui teropong pada pukul 23.00 di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP-Iiptek) di Taman Mini, Jakarta Timur, Jumat (27/7/2018).
Nurharyanto (37), guru SMP Al Jannah, mengatakan, pengamatan fenomena gerhana bulan bermanfaat bagi siswa. Pengalaman ini untuk menunjukkan secara langsung kepada siswa tentang fenomena alam.
Pengamatan fenomena gerhana bulan bermanfaat bagi siswa. Pengalaman ini untuk menunjukkan secara langsung kepada siswa tentang fenomena alam.
“Siswa-siswa senang dan antusias, karena biasanya hanya melihat gerhana dari gambar. Mereka pun tertarik ketika PP-IPTEK ini mengadakan kegiatan melihat bulan lewat teropong,” kata Nurharyanto.
DIONISIA GUSDA UNTUK KOMPAS–Azka (10), murid MI Az Zarofah, mengamati proses gerhana bulan total melalui teropong.
Staf Sub Divisi Program Pendidikan PP IPTEK, Sri Wahyu Cahya Ningsih, mengatakan bahwa fenomena Gerhana Bulan Total kali ini merupakan yang terlama di abad ke-21. Pada fenomena ini, bulan berada di titik terjauh dari bumi sehingga bulan disebut minimoon.
“Posisi ini membuat waktu bulan untuk masuk ke bayangan bumi dan keluar lagi akan terjadi sekitar 103 menit. Puncak dari Gerhana Bulan Total ini akan terjadi pada Sabtu dini hari, tepatnya pukul 02.30 hingga 04.00,” kata Sri pada konferensi pers di PP-Iiptek TMII
Untuk memfasilitasi masyarakat melihat bulan secara langsung, PP-Iptek menyediakan empat teropong. Satu teropong tersambung ke kamera dan ditampilkan di televisi. Tiga teropong lainnya dapat langsung digunakan oleh masyarakat untuk melihat bulan.
Untuk memfasilitasi masyarakat melihat bulan secara langsung, PP-Iptek menyediakan empat teropong.
Selain itu, ada dua layar proyektor yang tersambung dengan pengamatan langsung dari Bosscha Observatory, Bandung dan Planetarium, Jakarta. Melalui fasilitas ini, masyarakat pun dapat menyaksikan secara bersama-sama.
SHARON UNTUK KOMPAS–Masyarakat antusias menyaksikan Gerhana Bulan Total. Mereka rela untuk tidak tidur demi menyaksikan fenomena ini.
(Sharon Patricia / Dionisia Gusda Primadita Putri)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 28 Juli 2018
——————
Lapan Sumedang Observasi Gerhana Total Selama 6 Jam
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Masyarakat mengamati gerhana bulan total dari layar yang disediakan Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Lapan Sumedang, Sabtu (28/7/2018) dini hari. Layar ini hasil rekaman yang ditampilkan langsung dari teropong bintang berdiameter 70 milimeter.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengamati gerhana bulan total di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Lapan Sumedang, Sabtu (27/7/2018). Pengamatan ini dimulai dari pukul 00.14 hingga pukul 06.30.
Kepala Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Lapan Sumedang Aries Kurniawan memaparkan, selain untuk pengambilan data, masyarakat juga diajak mengamati fenomena langit ini. Ia berujar, gerhana bulan kali ini istimewa karena terjadi saat oposisi beberapa planet, yaitu Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Selain itu, gerhana bulan terlama ini terjadi hanya 100 tahun sekali dengan durasi gerhana total selama 103 menit. Untuk mempersiapkan pengamatan ini, Aries mengatakan, Lapan mempersiapkan tiga teleskop yang memiliki fungsi berbeda.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Warga berpose di layar yang menampilkan fenomena gerhana bulan, Sabtu (28/7/2018).
Pengamatan benda langit saat gerhana bulan di lokasi yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Bandung ini menggunakan tiga teropong bintang atau teleskop. Aries menjelaskan, untuk memperolah rekaman, BPAA Sumedang menggunakan teleskop Lunt 70 ED. Teleskop ini sering digunakan untuk mengamati hilal.
Lunt 70 ED memiliki lensa 70 milimeter dan dilengkapi motor otomatis yang mengunci kesesuaian antara teleskop dan posisi bulan. Teleskop ini dihubungkan dengan video rekaman yang diputar secara langsung dan ditampilkan ke layar untuk disajikan kepada masyarakat.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Pantulan gerhana total (kanan) tampak lebih merah dibandingkan dengan tampilan di layar. Pengamatan ini dilakukan di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Lapan Sumedang, Sabtu (28/7/2018).
Teleskop kedua yang digunakan adalah Astromaster berdiamater lensa 13 sentimeter. Teropong ini disediakan untuk masyarakat yang ingin mengamati gerhana dengan jelas dan detail.
Teleskop ketiga adalah Celestron dengan diameter lensa sepanjang 11 inci atau 27,9 cm. Teleskop inilah yang digunakan untuk mengamati oposisi Mars, Jupiter, dan Saturnus. Pengamatan ketiga benda langit ini dilakukan sebelum gerhana terjadi.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Petugas mengambil gambar planet Mars yang berada dalam oposisi di BPAA Lapan, Sumedang, Sabtu (28/7/2018).
Peneliti dan petugas Optik BPAA Gerhana, Puannandra Putri, mengemukakan, oposisi adalah jarak terdekat antara planet dan Bumi karena berada dalam posisi sejajar dengan Bumi. ”Jarak yang dekat ini membuat kami bisa melihat ketiga planet tersebut menjadi lebih jelas,” ujarnya.
Menjelang tengah malam, warga mulai berdatangan. Lebih kurang 30 orang yang berasal dari sejumlah daerah berkumpul di BPAA Sumedang untuk mengamati gerhana bulan terpanjang abad ini. Ardhya Argha Andhika (25), warga Arcamanik, Bandung, rela mendatangi BPAA untuk mendapatkan gambar gerhana yang baik dan jelas.
”Saya suka fotografi dan fenomena ini jarang terjadi. Makanya, saya sengaja datang ke sini karena Lapan memberikan pelayanan untuk pengamatan di sini. Saya harap, kegiatan seperti ini tetap dilakukan dengan informasi dan pemberitahuan menggunakan media sosial,” paparnya.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Gerhana bulan diamati dari teleskop berdiamater 13 cm di BPAA Lapan Sumedang, Sabtu (28/7/2018).
Suhu dingin
Saat pengamatan, suhu lingkungan BPAA mencapai belasan derajat celsius. Bahkan, pada pukul 03.00-03.15, suhu malam itu mencapai 11 derajat celsius. Puan menambahkan, suhu dingin ini terjadi akibat musim kering yang melanda Indonesia akhir-akhir ini.
Selain itu, posisi BPAA Sumedang cukup tinggi, sekitar 800 meter di atas permukaan laut.
”Awan yang berfungsi sebagai penjaga suhu bumi tidak terbentuk malam ini. Memang di satu sisi ini merupakan keuntungan dalam mengamati benda langit karena tidak ada penghalang. Namun, cuaca dapat dipastikan lebih dingin jika dibandingkan dengan malam berawan,” ujar Puan.–MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Sumber: Kompas, 28 Juli 2018
—————-
Memburu Pesona Dewi Candra
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA–Untuk mengobati kekecawaan tidak bisa melihat gerhana bulan total, warga bisa bermain teknologi iptek di taman sains, Gedung Sasana Budaya Ganesha, Kota Bandung, Rabu (31/1).
Gerhana Bulan total kembali dapat disaksikan di seluruh Indonesia, Sabtu (28/7/3018) dini hari. Jika langit tak berawan, masyarakat dapat menyaksikan warna Bulan yang berubah dari kuning cerah jadi merah kehitaman.
Bulan dan Matahari ialah dua objek langit paling banyak terekam di ingatan manusia. Sejak peradaban manusia dimulai sampai era tsunami digital saat ini, pesona keduanya tak pernah pudar.
Matahari dan Bulan tak hanya jadi sumber energi dan penggerak kehidupan di Bumi, tapi juga penerang di kala siang dan malam serta penanda waktu yang mengatur ritme hidup makhluk Bumi. Kekuatannya membuat manusia di masa lalu menganggap keduanya sebagai dewa dewi yang memengaruhi hidup manusia.
Pesonanya jadi sumber inspirasi seniman lintas masa, mulai dari pelukis gua prasejarah, dukun pembaca mantra, pujangga, seniman lukis, hingga pelancong (traveler) atau milenial penggila perjalanan. Keindahan keduanya juga jadi sumber ide perayu hingga penggugah semangat nasionalisme bangsa-bangsa.
Keingintahuan dan romantisme tentang Matahari dan Bulan membuat manusia rela pergi jauh menyelami keduanya. Meluangkan waktu, menghabiskan tenaga dan banyak uang demi menyaksikan keindahan keduanya, termasuk saat gerhana.
Rasa penasaran itu mendorong Wijaya Sukwanto (47) pergi dari Medan, Sumatera Utara, ke Bandung, Jawa Barat, demi menyaksikan gerhana Bulan total 28 Juli 2018. Kegagalan melihat gerhana Bulan 31 Januari 2018 di Medan dan gerhana Matahari total 9 Maret 2016 di Palembang, Sumatera Selatan akibat mendung jadi penyemangatnya.
“Sebal karena gagal mengamati gerhana Bulan yang lalu membuat jadi penasaran, seperti apa gerhana Bulan terjadi,” katanya saat bersiap mengamati Bulan di kawasan Setiabudi, Bandung.
Kekecewaan melihat gerhana Matahari 2016 membawanya terbang ke Madras, Oregon, Amerika Serikat, demi melihat gerhana Matahari total 21 Agustus 2017. Ia berharap rasa takjub dan diri yang merasa kecil saat melihat terang Matahari berubah jadi gelap akan terulang saat melihat gerhana Bulan kali ini.
Biasa
Gerhana, Matahari ataupun Bulan, ialah peristiwa alam biasa terjadi sejak Tata Surya terbentuk 4,6 miliar tahun lalu. Gerhana terjadi akibat kesegarisan Matahari, Bumi dan Bulan. Kesegarisan itu ialah konsekuensinya dari gerak Bulan mengelilingi Bumi bersama Bumi memutari Matahari.
Gerhana Bulan pada Sabtu (28/7/2018) dinihari adalah gerhana dengan fase totalitas terlama di abad ke-21 yakni selama 1 jam 42 menit 57 detik. Selain di Indonesia, gerhana Bulan kedua di tahun 2018 ini bisa disaksikan di sebagian besar wilayah Asia, Australia, Eropa, Afrika, dan AS.
Meski bisa disaksikan di Indonesia, tak satu pun wilayah di Indonesia bisa menyaksikan semua proses utuh gerhana Bulan, karena gerhana terjadi bersamaan dengan Bulan terbenam. Wilayah terbanyak bisa menyaksikan tahapan gerhana ialah Indonesia barat yang hanya tak bisa melihat usainya fase gerhana Bulan penumbra.
Namun, itu tak terlalu masalah. “Perubahan warna pada gerhana Bulan penumbra amat sulit diamati, termasuk melalui teleskop,” kata komunikator astronomi dan pengelola situs langitselatan.com Avivah Yamani.
Perubahan warna pada gerhana Bulan penumbra amat sulit diamati, termasuk melalui teleskop.
Di Indonesia barat, gerhana Bulan penumbra dimulai Sabtu pukul 00.15 WIB. Gerhana Bulan sebagian, yang perubahan kecerlangan cahaya Bulannya bisa diamati, terjadi pukul 01.24 WIB. Sementara gerhana Bulan total berlangsung pukul 02.30-04.13 WIB. Gerhana Bulan sebagian berakhir pukul 05.19 WIB dan gerhana penumbra selesai 06.29 WIB. Bagian akhir gerhana penumbra tak bisa disaksikan karena Bulan terbenam.
STELLARIUM–Pemodelan penampakan Saturnus beserta sejumlah satelitnya menjelang gerhana Bulan total 28 Juli 2018.
Antusias
Meski tak semua proses gerhana Bulan bisa diamati, semangat melihat gerhana Bulan pada dini hari tadi, termasuk tinggi. Sejumlah komunitas astronomi di berbagai daerah menggelar pengamatan bersama.
Sebagian pengamatan dibuka untuk umum, tapi ada pula yang terbatas. “Alasan keamanan jadi pertimbangan,” kata Ketua Himpunan Astronomi Amatir Semarang (HAAS) Dwi Lestari. HAAS mengamati gerhana itu di Desa Singocandi, Kudus.
Ada pula pengamatan yang dibuka untuk umum, seperti di Stasiun Geofisika Banjarnegara, Masjid Al Akbar, Surabaya, dan Plaza Teater Jakarta-Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ada pula yang menggelar perkemahan, seperti Surabaya Astronomy Club yang berkemah di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer, Pasuruan dan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung di halaman masjid.
“Mayoritas pesertanya adalah keluarga,” kata Ketua Pelaksana Salman Astro Camp, Masjid Salman ITB Huseino Ahmad.
Rasionalitas
Fenomena gerhana Bulan total jadi momentum mengenalkan astronomi pada masyarakat awam dan anak-anak. Ketertarikan, rasa takjub, dan perasaan Ilahiah menyertai pengamatan gerhana Bulan itu seharusnya bisa dikelola untuk membangun kedekatan dengan alam, budaya ilmiah masyarakat, hingga rasionalitas bangsa.
“Tak apa jika masyarakat, terutama anak muda, ingin berswafoto dengan gawai saat melihat gerhana Bulan. Semangat itu bisa dikembangkan lebih jauh,” kata pengelola observatorium mini dan musholatorium (mushola dan planetarium) Imah Noong, Lembang, Jabar Hendro Setyanto.
Warga bisa menempatkan mitologi sebagai kekayaan pikir masa lalu. Namun, masyarakat justru banyak terjebak dalam hoaks dan cerita palsu terkait gerhana Bulan dan fenomena astronomi lain dengan ramalan astrologi, sesuatu seolah-olah ilmiah, padahal semu.
Kini bangsa-bangsa maju menginjakkan kaki di Bulan hingga mengembara ke ujung semesta. Namun di Indonesia, warga dihadapkan pada perdebatan Bumi datar yang tak produktif dan membodohi.
Semua pihak harus saling membahu agar semangat besar menikmati keindahan fenomena alam itu tak hanya berakhir sebagai kekaguman semata. Karena Dewi Candra, sebutan bulan, masih akan terus menerangi malam hari di Bumi dan mengalami gerhana lagi hingga akhir masa. (TATANG MULYANA SINAGA/ADITYA PUTRA PERDANA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGAN/DWI BAYU RADIUS)–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 28 Juli 2018