Ada Dana GKBI di Planetarium

- Editor

Senin, 17 September 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tahun depan, Planetarium Jakarta berusia 50 tahun. Planetarium terbukti mampu bertahan, meskipun proses pembangunannya terseok-seok. Tahun 1966, pembangunan planetarium yang berlokasi di bekas kebun binatang Cikini (kini kompleks Taman Ismail Marzuki/TIM) terhenti karena dana dari pemerintah dan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) hanya bisa membangun planetarium sampai akhir 1966. Sementara peralatan seperti lensa, teropong dan proyektor dari Jerman Timur sudah 90 persen tiba di lokasi. Nilai peralatan itu sekitar 1,3 juta dollar AS.

KOMPAS/KARTONO RYADI–”Star ball”, alat yang terdiri atas puluhan lensa buatan Carl Zeiss (Jerman), berfungsi untuk memproyeksikan gambaran bintang dan planet dalam sistem alam semesta, Juli 1972

Ada catatan yang menyebutkan 100 persen dana untuk proyek nonprofit ini dari GKBI, tetapi ada pula yang menulis dana pembangunan awal planetarium dari GKBI dan pemerintah sekitar Rp 12,5 juta. Setelah hampir lima tahun terbengkalai, tahun 1968 pemda DKI Jakarta bertekad mewujudkan proyek ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/KARTONO RYADI–Himpunan Astronomi Amatir Jakarta menyelenggarakan Pekan Astronomi di Planetarium TIM, Jakarta, dalam rangka HUT ke-2 sekaligus menyongsong komet Halley, Selasa (8/4/1986)

Gubernur Ali Sadikin menginstruksikan agar peralatan planetarium diselamatkan di bawah perawatan Drs Santoso Nitisastro. Untuk keperluan itu, pemda DKI memberikan dana Rp 15 juta. Sekitar setahun kemudian, Maret 1969, bangunan berbentuk kubah ini dibuka untuk umum. Planetarium Jakarta dengan diameter 23 meter termasuk salah satu planetarium terbesar di dunia. Tahun 1994, dari 1.748 planetarium di dunia, yang terbesar diameternya ada di Moskwa, Rusia, yakni 25 meter.

Planetarium Jakarta dibuka setiap hari kecuali Senin, dengan dua kali pertunjukan pada pagi dan sore hari. Setiap pertunjukan sekitar 45-50 menit. Sampai tahun 1971, pengunjungnya relatif sedikit. Dari kapasitas sekitar 600 tempat duduk, dalam sehari rata-rata penontonnya 200-300 orang. Untuk menarik perhatian khalayak, planetarium menghadirkan 25 macam acara yang diselenggarakan bergantian. Misalnya, acara dengan tema tentang Bumi sebagai bagian dari planet, tentang pergerakan planet, tata surya, sampai evolusi bintang dan soal Bima Sakti. Ada pula segmen acara yang mengaitkan benda- benda langit dengan kehidupan seperti dalam mitologi Yunani.

KOMPAS/KARTONO RYADI–Bangunan Planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, akhir Oktober 1971. Planetarium adalah gedung teater untuk memperagakan simulasi susunan bintang dan benda-benda di langit.

Pengelola planetarium berusaha menaikkan jumlah penonton. Mereka, antara lain, ikut dalam tim penyusunan kurikulum sekolah. Jadilah pada tahun 1984 pelajaran Ilmu Bumi dan Antariksa masuk kurikulum serta kunjungan siswa ke planetarium menjadi salah satu pendukungnya.–CHRIS PUDJIASTUTI

Sumber: Kompas, 16 September 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 17 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB