Mata uang rupiah seharusnya adalah mata uang tunggal yang berlaku untuk semua transaksi di Indonesia, selain yang masuk dalam pengecualian. Namun, ternyata masih banyak transaksi di dalam negeri yang menggunakan mata uang negara lain, bukan rupiah.
Dari laporan-laporan yang teridentifikasi oleh Bank Indonesia, terdapat transaksi valuta asing tak kurang dari 6 miliar dollar AS per bulan yang seharusnya menggunakan rupiah. Namun, di luar yang teridentifikasi, masih ada transaksi valuta asing yang seharusnya menggunakan rupiah.
Rupiah adalah alat pembayaran dan simbol kedaulatan. Penggunaan rupiah untuk seluruh transaksi di Indonesia menunjukkan bahwa kita berdaulat terhadap perekonomian kita. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, kedaulatan perekonomian kita dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Transaksi menggunakan valuta asing di wilayah Indonesia memang masih diperbolehkan, sejauh sesuai dengan ketentuan pengecualian dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pengecualian transaksi valuta asing di dalam negeri itu antara lain jika terkait dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, hibah dari atau untuk negara lain, perdagangan internasional, transaksi internasional, dan simpanan di bank berdenominasi valuta asing. Transaksi penukaran valuta asing juga termasuk yang diperbolehkan karena memang bisnis inti usaha itu adalah penukaran dua atau lebih mata uang.
Di luar ketentuan pengecualian itu, seluruh transaksi di dalam negeri seharusnya menggunakan mata uang rupiah. Namun, walaupun UU No 7/2011 sudah diimplementasikan, masih ditemukan transaksi menggunakan valuta asing yang seharusnya menggunakan rupiah dengan jumlah yang cukup besar.
Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sejak 1 April 2015. Peraturan ini jelas untuk memperkuat implementasi UU No 7/2011. PBI itu terbit untuk memperkuat kebijakan mewajibkan penggunaan rupiah, terutama karena transaksi valas didominasi oleh transaksi nontunai.
Sekitar 95 persen transaksi valas yang seharusnya menggunakan rupiah itu merupakan transaksi nontunai. Industri manufaktur berkontribusi signifikan dalam transaksi valas yang seharusnya memakai rupiah. Seharusnya hanya importir yang memungkinkan menggunakan valas untuk bertransaksi dengan penjual di luar negeri.
Namun, sejumlah importir melanjutkan transaksi menggunakan valas dengan pembeli di dalam negeri, bahkan berlanjut transaksi dalam valas ini hingga ke hilir. Di luar struktur industri yang demikian, di pelabuhan utama juga terjadi transaksi menggunakan valas. Di negara-negara lain, transaksi di pelabuhan menggunakan mata uang lokal. Di sektor ritel, transaksi valas juga masih terjadi.
Sanksi administratif dan pidana harus ditegakkan untuk mendukung upaya menjadikan rupiah sebagai simbol kedaulatan. Di luar itu, penertiban transaksi valas akan membuat permintaan valas terukur sehingga volatilitas rupiah terjaga. Apalagi, menjelang akhir triwulan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah cenderung meningkat karena terjadi peningkatan permintaan akan dollar AS untuk pembayaran utang dan repatriasi dividen. (A Handoko)
—————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 April 2015, di halaman 17 dengan judul “Rupiah dan Kedaulatan”.