Singkronisasi antara fakultas kedokteran dengan rumah sakit pendidikan perlu ditingkatkan di segala aspek kerja sama. Fasilitas kesehatan yang juga merupakan tempat pendidikan bagi mahasiswa kedokteran dan para calon dokter spesialis terbukti memiliki mutu lebih baik daripada fasilitas kesehatan reguler.
Demikian isi pidato Ratna Sitompul saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Sabtu (12/1/2019). Ia menjadi guru besar untuk bidang ilmu kesehatan mata.
“Saat ini, sistem akademik kesehatan (Academic Health Systems/AHS) ada di UI, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin. Dalam praktik kerja sama dengan fasilitas kesehatan, ditemukan beberapa aturan yang tumpang tindih, terutama di sektor pendanaan,” tutur Ratna yang menjabat sebagai Dekan FKUI periode 2008-2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk Bidang Ilmu Kesehatan Mata Ratna Sitompul seusai pengukuhannya di Jakarta, Sabtu (12/1/2019).
Ia menjabarkan, kerja sama AHS adalah antara universitas yang di dalamnya mencakup fakultas kedokteran, fakultas kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, farmasi, keperawatan, psikologi, maupun jurusan lain terkait kesehatan; fasilitas kesehatan (faskes) mulai dari puskesmas, rumah sakit umum daerah, dan rumah sakit umum pusat; dan pemerintah daerah. Tercatat dari 2.820 rumah sakit di Indonesia ada 95 rumah sakit pendidikan dan 368 rumah sakit yang bermitra dengan fakultas kedokteran.
Permasalahan yang membebani pelaksanaan AHS salah satunya adalah pemda jarang mengalokasikan dana layanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ditemukan oleh para dokter yang sedang menjalani praktik pendidikan kedokteran di faskes tersebut.
“Seolah bagi pemda peningkatan mutu dokter dan penemuan riset tidak dihiraukan,” tuturnya. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju yang pemda sangat menjaga relasi antara fakultas kedokteran dengan faskes. Temuan-temuan fakultas kedokteran banyak digunakan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan dan konsultasi di faskes.
Ratna mengatakan, faskes yang menjadi tempat pendidikan bagi mahasiswa kedokteran dan calon spesialis akan terangkat mutunya karena AHS memiliki standar ketat dengan pengawasan dan pembenahan yang berkesinambungan. Di UI, adanya AHS berkontribusi pada peningkatan publikasi jurnal ilmiah hingga 50 persen. Mayoritas adalah di bidang kesehatan.
AHS juga menyinergikan layanan kesehatan pada tingkat primer, sekunder, dan tersier. Tidak semua penyakit perlu dirujuk ke rumah sakit, sebagian besar semestinya bisa diselesaikan di puskesmas dengan ketentuan ada pelayanan kesehatan yang baik dan terstandar.
Ratna mengatakan, puskesmas yang menjadi tempat praktik pendidikan kedokteran akan selalu mendapat informasi mengenai kemajuan di bidang kesehatan. Di samping itu, ilmu kesehatan sejatinya tidak sebatas mengobati penyakit, melainkan membudayakan gaya hidup sehat di masyarakat sesuai dengan standar akademik.
“Bagi mahasiswa yang mengikuti program AHS di faskes pendidikan, manfaatnya juga terasa. Peserta program pendidikan spesialis mempunyai kompetensi 30 persen lebih tinggi daripada standar nasional,” ujar Ratna.
Ia mencontohkan sinergi FKUI dengan RS Cipto Mangunkusumo. Pada periode 2010-2017 telah dibangun 12 pusat penelitian berbasis layanan yang mencakup sel punca dan transplantasi ginjal. Selain itu, juga ada program Jakarta Sehat bersama pemda SKI Jakarta.
Komite bersama
Menteri Kesehatan Nila Moeloek yang hadir dalam upacara pengukuhan tersebut mengatakan, kini ada komite bersama antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama pemda. “Mahasiswa S1 kedokteran bisa berpraktik di puskesmas supaya mengenal kasus-kasus yang umum terjadi di masyarakat serta menyelesaikannya tanpa perlu membuat pasien harus ke rumah sakit,” tuturnya.
Staf Khusus Menkes Bidang Peningkatan Pelayanan Kesehatan Akmal Taher menerangkan, dengan adanya sinergi universitas, faskes, dan pemda itu, penyakit yang tidak parah bisa ditangani pada layanan primer. Apabila penyakit yang dimiliki pasien ternyata di luar kapasitas pelayanan primer, baru dirujuk ke RS daerah dan kemudian ke RS pusat atau pun nasional jika memang benar-benar membutuhkan penanganan subspesialis. Melalui sistem ini, sistem pelayanan di setiap tingkat faskes bisa bertahap meningkat.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 14 Januari 2019