Forum Nasional Profesor Riset menilai pemerintah perlu membentuk lembaga pengendali yang mampu mengatur mengenai seluruh sumber daya iptek secara terintegrasi. Selama ini, belum ada lembaga yang mampu mengelola sumber daya iptek yang terpecah di sejumlah kementerian.
Ketua Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) Syamsuddin Harris menjelaskan, perlu adanya Dewan Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi (DK Iptekin) sebagai lembaga pengendali tertinggi terkait sumber daya iptek. “DK Iptekin adalah badan eksekutif yang merumuskan kebijakan dasar dan koordinasi terpadu dalam pelaksanaan kebijakan iptek,” katanya dalam kunjungan ke Redaksi Kompas, Jakarta, Kamis (22/2).
Penasehat FNPR Erman Aminullah menjelaskan, DK Iptekin perlu dibentuk karena sumber daya iptek yang terpecah karena terikat sektoral pada masing-masing kementerian teknis. Selain itu, ketidakfokusan pemerintah dalam menentukan prioritas kebijakan iptek menjadi alasan lembaga ini perlu dibentuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Kunjungan Forum Nasional Profesor Riset ke Kantor Redaksi Kompas, Kamis (22/2)
“Ketidakfokusan ini menyebabkan bidang iptek belum mampu memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian negara. Indonesia bahkan tertinggal dari Vietnam yang mampu meningkatkan nilai ekspor dari barang-barang yang memiliki inovasi teknologi,” katanya.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS–Ketua Forum Nasional Profesor Riset (FNPR) Syamsuddin Harris (posisi tengah) dan Penasehat FNPR Erman Aminullah (sebelah kanan)
Pembentukan lembaga ini diusulkan seiring dengan perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) 2018. RUU ini diusulkan pemerintah untuk menggantikan UU Nomor 18 Tahun 2002 yang dinilai dinilai belum memberi kontribusi optimal bagi pembangunan nasional.
Kelemahan UU No 18/2002 adalah belum mengatur mekanisme koordinasi antarlembaga dan sektor di tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program dan anggaran, serta pelaksanaannya secara jelas dan lugas. Selain itu, UU tersebut belum mengatur secara jelas aspek pembinaan oleh pemerintah pada kelembagaan, sumber daya, dan jaringan penerapan iptek. (Kompas, 31/8)
“Indonesia memiliki Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan TInggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti), namun kementerian ini tidak punya payung hukum yang kuat untuk mengelola para peneliti,” ucapnya.
Erman berharap, DK Iptekin ini nantinya dapat berperan seperti China Academic of Science (CAS) yang mampu menggenjot perkembangan teknologi di negeri tersebut. China berhasil mensinergikan sumberdaya dan insfrastruktur untuk merealisasikan sasaran iptekin yang ditetapkan oleh presiden.
Misalnya, tahun 1990-an, Presiden China menetapkan misi China akan menciptakan high-speed train dalam 10 tahun. Hasilnya, China mampu menciptakan kereta cepat dan mengkomersialkannya, bersaing dengan kereta Shinkansen dari Jepang.
CAS saat ini telah mengelola 104 lembaga riset dan 22 perusahaan holding teknologi (spin-off inovasi komersial dari teknologi yang dikembangan dari hasil riset). Selain itu, CAS telah mengelola 60 ribu peneliti dan 24 ribu profesor riset.
Selain China, negara maju seperti Jepang, kebijakan iptekin ditetapkan oleh Council for Science, Technology and Innovation (CSTI) dan dipimpin Perdana Menteri. Anggotanya terdiri dari pakar dan industriawan nasional terkemuka.
Erman menjelaskan, dengan dibentuk DK Iptekin, nantinya diharapkan jumlah peneliti di Indonesia bisa meningkat menjadi 1.500 persejuta penduduk atau setara dengan 540 ribu orang pada tahun 2045. Saat ini, jumlah peneliti di Indonesia yang tercatat baru sekitar 23.500 orang.
Peneliti dari Badan Tenaga Nuklir (BATAN) Evvy Kartini mengatakan, butuh konsistensi dari pemerintah terhadap para peneliti. “Perhatian pemerintah harus berkelanjutan, tidak hanya ketika sedang ada di pemerintahan tertentu,” katanya. (DD05)
Sumber: Kompas, 23 Februari 2018