Tanaman rerumputan vetifer ternyata bisa dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan-lahan yang rusak atau kritis. Tanaman mitigasi bencana itu juga bisa mengikat logam berat.
Tanaman vetifer tiba-tiba mencuat setelah Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekomendasikan tanaman rerumputan ini kepada Presiden Joko Widodo untuk merehabilitasi lahan-lahan yang rusak. Akarnya yang menghunjam ke dalam hingga 2 meter diharapkan bisa menurunkan erosi lahan sekaligus menjaga daerah itu dari longsor dan banjir.
KOMPAS/NIKSON SINAGA–Tantan Rustandi (47) menunjukkan bibit akar wangi di Desa Cintadamai, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (1/7/2017).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam keterangan resmi tertulis, BNPB menceritakan proses rekomendasi tersebut terjadi di dalam kabin helikopter yang membawa Presiden Jokowi dan Doni Monardo untuk mengecek daerah-daerah bencana di Bogor, 5 Januari 2020.
“Pak Doni, apa yang harus dilakukan (untuk mencegah longsor),” kata Presiden. Spontan Doni menjawab, “Kembalikan fungsi lahan dengan menanam vetiver, Pak Presiden.” Demikian keterangan pers yang bernuansa tutur tersebut.
Dijelaskan lebih lanjut, vetiver yang dimaksud adalah jenis tanaman yang kita kenal dengan nama akar wangi atau narwastu. Tanaman ini adalah sejenis rumput yang berasal dari India. Tumbuhan ini termasuk dalam famili Poaceae, dan masih sekeluarga dengan sereh atau padi.
Tanaman vertiver ini setidaknya memiliki penamaan Vetiveria zizanioides dan Chrysopogon zizanioides. Tanaman rerumputan ini sudah dibudidayakan di Garut untuk dipanen akarnya menjadi bahan baku pembuatan parfum.
Pemanenan akar vetiver ini membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat karena bisa diolah menjadi minyak wangi. Tetapi bila pemanenan dilakukan serampangan, hal itu justru membuat dampak positif fungsi ekologi yang diharapkan dari tumbuhan ini tak tercapai.
Akar yang mencengkeram tanah tersebut malah dicabut untuk dimanfaatkan. Solusi lebih lanjut agar tetap bisa dimanfaatkan yaitu pola pemanenan secara bergiliran maupun penanaman vetiver juga harus dilakukan bersama pohon-pohon berakar dalam secara silvapastur.
Pihak BNPB menyebutkan rumput vetiver telah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia sebagai tanaman mitigasi bencana. Tanaman berasal dari India ini memiliki akar yang mencapai 2,5 meter, bahkan disebutkan dalam presentasi pakar, akarnya mampu mencapai panjang 6 meter. Hal yang tak kalah menakjubkan, kekuatan akarnya tersebut seperenam dari kekuatan kawat baja.
Mengikat logam berat
Akar tanaman ini selain memiliki fungsi ekologi bagi pengikat tanah juga memiliki fungsi lain yang tak kalah bermanfaat. Informasi pada situs Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebutkan akar vetiver mampu mengikat nitrat, fosfat, dan logam berat seperti aluminum, kadmium, khromium, tembaga, timbal, dan nikel, dan PAH (polycyclic aromatic hydrocarbons) yang mengontaminasi tanah.
Kelebihan ini menjadikannya cocok ditanam di areal bekas tambang maupun sekitar tempat pemrosesan akhir (TPA) untuk menyerap kebocoran-kebocoran bahan berbahaya tersebut di tanah. Ini berkat keunggulan vetiver untuk hidup pada tanah dengan keasaman tinggi maupun rendah maupun bersalinitas.
DOKUMENTASI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA–Bibit tanaman vetiver atau akar wangi.
Lokasi-lokasi yang umumnya terbuka tanpa tutupan pohon ini sempurna bagi pertumbuhan vetiver. Kebutuhan vetiver muda akan paparan sinar matahari secara penuh ini yang membuat C zizanioides inimemiliki julukan sunshine vetivergrass.
Juliarto Joko Putranto, Sekretaris Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan memanfaatkan keunggulan vetiver ini untuk penanaman pada tebing-tebing curam maupun lahan yang terkupas. Lahan seperti itu biasanya sulit ditumbuhi tanaman karena kehilangan humus. Vetiver diharapkan bisa menjadi tanaman pionir untuk berangsur-angsur mengembalikan kualitas tanah.
Di Lebak, Banten yang baru-bari ini mengalami bencana hidrometeorologi, misalnya, pihaknya juga melakukan penanaman vetiver. Pihak KLHK menyediakan dana Rp 5 miliar untuk pengadaan 2,5 juta rumpun vetiver.
Di tempat itu, tahun ini rehabilitasi hutan dan lahan seluas 2.500 hektar dilaksanakan. Rinciannya, rehabilitasi lahan seluas 1.900 ha di kawasan hutan dan 600 ha di luar kawasan hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidurian dan DAS Ciujung. Pada kawasan hutan – karena berstatus taman nasional – penanaman menggunakan jenis-jenis tanaman lokal Gunung Halimun Salak seperti rasamala, puspa, dan sebagainya.
Juliarto menambahkan, vetiver bisa diandalkan untuk daerah-daerah bekas longsor atau tebing-tebing yang terkupas. Namun hal tersebut dilakukan pada areal nonkawasan hutan terutama nonhutan konservasi.
Vetiver yang memiliki ketahanan hidup tinggi dari kekeringan maupun kebakaran dikhawatirkan mudah berkembang dan berubah menjadi spesies invasif asing (IAS). Meski sejumlah literatur menunjukkan tanaman ini memiliki potensi rendah menjadi tanaman invasif, tidak ada salahnya untuk berhati-hati. Hal ini karena menurut panduan tanaman yang diterbitkan USDA, Karibia dan Australia menempatkan vetiver yang masih mampu menyebarkan bijih sebagai jenis invasif.
Di Indonesia, tanaman invasif telah menambah tekanan ekologi pada hutan-hutan konservasi di Indonesia. Pengalaman di Taman Nasional (TN) Baluran ketika sekelilingnya ditanami Acacia nilotica yang diharapkan jadi penghalang api, kini malah menjadi persoalan karena kecepatan pertumbuhan dan perbanyakannya mendesak kehidupan banteng-banteng setempat.
Penanaman vetiver agar jangan sampai terbawa euphoria dan latah. Pada areal bekas tambang, areal terkontaminasi, maupun areal-areal tebing rawan longsor penanaman jenis ini masih sangat memungkinkan dan dapat diandalkan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 15 Januari 2020