Seminggu terakhir, longsor melanda sejumlah daerah dan menewaskan 13 orang. Itu menunjukkan longsor bencana mematikan sehingga diperlukan perbaikan dalam mitigasi. Longsor sebenarnya termasuk bencana yang bisa dideteksi secara dini.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Senin (8/2), mengatakan, longsor di Desa Penungkulan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Minggu (7/2), menewaskan tujuh orang. Longsor di Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, Sumatera Barat, pada Sabtu, menewaskan enam orang. Sebelumnya, Rabu, longsor menewaskan satu orang di Desa Pagerharjo, Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Data BNPB (1 Januari-8 Februari 2016), longsor melanda 63 kabupaten/kota dan menewaskan 28 orang. Tiga orang luka berat, sementara 104 rumah rusak berat. “Longsor menjadi bencana paling mematikan selama 2014-2015 dan kemungkinan juga tahun ini,” kata Sutopo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak awal tahun hingga kemarin, longsor membuat 395 orang mengungsi (73 keluarga).
Ketimbang tahun-tahun sebelumnya, frekuensi longsor tahun ini jauh lebih kecil menyusul berkurangnya curah hujan akibat El Nino yang berlanjut. “Januari 2015 terdapat 120 kejadian longsor atau menurun 75 persen ketimbang tahun ini,” kata Sutopo.
Tahun-tahun mendatang, jika efek El Nino menghilang dan curah hujan kembali normal, longsor dikhawatirkan kembali meningkat. “Karena semakin banyak masyarakat tinggal di daerah rawan longsor. Saat ini, setidaknya 41 juta jiwa tinggal di daerah rawan longsor kategori sedang dan tinggi,” ujarnya.
Tantangan mitigasi
Ahli longsor dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Faisal Fathani, mengatakan, masih banyaknya korban tewas saat longsor karena banyak zona rentan. Upaya memitigasinya sejauh ini masih sangat kurang.
“Dari 270 kabupaten/kota di Indonesia yang berada di zona rentan longsor, baru 40 yang sudah dipasangi alat deteksi dini longsor. Itu pun masih sangat kurang karena titik longsor di satu kabupaten bisa sangat banyak. Sementara alat yang dipasang sangat terbatas,” kata Faisal yang juga Ketua Penguatan Ketangguhan Indonesia dalam Pengurangan Bencana.
Ia mencontohkan longsor di Cilacap, Jawa Tengah, akhir Desember 2015. Longsor pertama terjadi di lokasi dengan alat deteksi dini sehingga warga bisa menghindar sebelum bencana. Namun, longsor kedua sekitar 1,5 kilometer dari lokasi pertama sehingga tidak ada sirene peringatan dini yang berbunyi.
Menurut Faisal, alat deteksi dini longsor hanya satu komponen dalam sistem pengurangan risiko bencana longsor. Yang juga penting adalah peningkatan kapasitas warga untuk pencegahan dini secara mandiri, seperti penataan saluran dan pengamatan tanda akan terjadi longsor.
Sejak 2014, Indonesia punya rencana nasional penanggulangan bencana, termasuk penanggulangan longsor. Faisal juga ketua tim penyusun rencana induk penanggulangan longsor. Di dalamnya ditekankan pentingnya mitigasi bencana.
“Namun, hingga kini porsi anggaran besar di daerah tetap tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Untuk mitigasi bencana masih kecil. Jadi, ini juga soal perspektif pemerintah daerah dan dewan penyusun anggaran,” katanya. (AIK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2016, di halaman 13 dengan judul “Awal Tahun, Longsor Tewaskan 28 Orang”.