Aktivitas manusia tak bisa lepas dari bahan bakar untuk menggerakkan mesin transportasi dan industri. Namun, 90 persen bahan bakar minyak kita bersumber dari energi fosil yang sebagian besar diimpor sehingga membebani keuangan negara. Kalau tak ditemukan sumur baru, minyak bumi diprediksi habis kurang dari 20 tahun mendatang.
Mau tak mau, Indonesia mulai berpaling pada sumber energi terbarukan. Berbagai riset menunjukkan, beragam tanaman bisa menghasilkan minyak nabati untuk pembuatan biodiesel atau tanaman penghasil karbohidrat untuk produksi bioetanol.
Tanaman nyamplung belakangan disebut sebagai sumber potensial penghasil biodiesel. Itu karena produktivitas dan rendemen minyak bijinya tinggi sehingga menjanjikan bagi masa depan bioenergi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Buku Budidaya Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) untuk Bioenergi dan Prospek Pemanfaatan Lain (November 2014) menyebut, produktivitas biji nyamplung tinggi, 40-150 kilogram per pohon per tahun atau 20 ton per hektar per tahun. Angka itu lebih tinggi daripada tanaman lain, seperti jarak pagar (5 ton per hektar per tahun) dan sawit (6 ton per hektar per tahun).
Rendemen minyak nyamplung dari sejumlah daerah di Indonesia bervariasi, 37-58 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan berbagai publikasi riset yang menyebut rendemen jarak pagar 25-40 persen, saga hutan 14-28 persen, kepuh 24-40 persen, kesambi 30-40 persen, dan kelor 39-40 persen. Dengan rendemen tinggi, 1 liter minyak nyamplung bisa dihasilkan dari 2-2,5 kg biji, sedangkan jarak pagar butuh 4 kg untuk menghasilkan 1 liter minyak.
Di Indonesia, habitat nyamplung bisa ditemui di semua pulau utama, terutama di daerah marjinal atau miskin hara dan tepi pantai. Biasanya, tanaman itu hidup di pinggir pantai, ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut sebagai ”tanaman liar”, belum dibudidayakan.
Kajian peneliti nyamplung dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta, Budi Leksono, menunjukkan, buah nyamplung dengan rendemen tinggi ditemukan di Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Nilai rendemennya 58 persen, lebih tinggi daripada buah jarak yang dikenal sebagai sumber biodiesel sejak masa penjajahan Jepang.
Bagi mesin, minyak biodiesel nyamplung bisa dicampur minyak solar atau digunakan murni. Minyak nyamplung teruji aman serta bersih dari timbal dan logam berat lain. Salah satu kriteria aman dan tak merusak mesin adalah korosivitas mesin.
”Tujuh sampel bersumber dari nyamplung sejumlah pulau (Jawa, Madura, NTB, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) lolos uji di Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral),” kata Budi yang lima tahun meneliti nyamplung.
Namun, pengembangan biodiesel nyamplung terkendala harga yang belum ekonomis dibandingkan minyak diesel atau solar. Untuk 1 liter biodiesel nyamplung, harga bahan kimia untuk pembuatannya Rp 10.350.
Jika ditambah bahan baku dan biaya produksi, harga 1 liter biodiesel dari nyamplung Rp 20.000. Itu lebih tinggi daripada harga minyak diesel (solar) sekelas Pertamina Dex yang harganya Rp 13.000-an per liter.
”Bahan bakar alternatif belum ada yang bisa menyaingi bahan bakar fosil dari sisi harga. Namun, saat bahan bakar fosil habis dan pasti akan habis, biodiesel dibutuhkan,” katanya.
Dengan temuan dan inovasi baru, harga biodiesel dari nyamplung berpotensi diturunkan. Contohnya, pemakaian bahan metanol untuk produksi biodiesel lebih murah jika dihasilkan dari ekstrak tanaman.
Selain itu, pengembangan teknologi pemerasan minyak lebih efisien. Teknologi pemerasan cara lama dengan sistem screw press expeller lebih efisien 5 persen dibandingkan vertical hot press dalam menghasilkan minyak nyamplung (crude calophyllum oil/CCO). ”Dengan kerja bareng, harga biodiesel dari nyamplung bisa turun,” ujarnya.
Memanfaatkan limbah
Pengolahan biji nyamplung menjadi biodiesel juga bisa dimanfaatkan limbahnya bagi bahan medis, pengawet makanan, dan pakan ternak. Bahan medis berupa zat kumarin didapat dari proses memisahkan minyak dari getah (degumming).
Kumarin bisa dimanfaatkan untuk membantu mengatasi radang dan masalah kesehatan lain serta bisa sebagai anti oksidan, anti koagulan, dan anti bakteri. Di Indonesia, kadar kumarin tertinggi ada pada nyamplung dari Selayar, Sulawesi Selatan, yakni 1 persen.
Limbah lain berupa cangkang atau tempurung biji bisa diubah jadi briket arang memakai alat ”tanur dan kondensator”. Sementara bubuk arang dan bubuk gergaji untuk briket. Asap dari proses pengarangan bisa dikumpulkan sebagai asap cair untuk dijadikan bahan pengawet, pupuk cair, dan pestisida ramah lingkungan.
Limbah padat dari perasan biji nyamplung menghasilkan bungkil atau ampas kering. Menurut hasil analisis Laboratorium Biokimia Nutrisi Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, bungkil nyamplung mengandung protein kasar 21,67-23,59 persen.
Terkait hal itu, Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian ESDM Juli lalu. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono mencadangkan lahan 400.000 hektar bagi hutan tanaman energi.
Pengelolaan hutan tanaman energi, termasuk nyamplung, dan industri pengolahnya diharapkan menggairahkan pelaku usaha untuk menyediakan bahan baku. Di sisi hilir, Kementerian ESDM menargetkan kandungan minyak nabati dalam solar 20 persen pada 2016.
Jangan sampai nyamplung dan sumber biodiesel lain bernasib seperti buah jarak yang ditanam tanpa disiapkan industri dan pasarnya. Perlu kesiapan budidaya dan pengolahan sebelum sumber energi fosil habis.
Oleh: ichwan susanto
Sumber: Kompas, 4 Desember 2014