Gempa di darat bermagnitudo 7,4 dengan mekanisme sesar geser yang melanda Donggala, 28 September 2018, lazimnya tidak memicu tsunami besar. Survei tim gabungan Indonesia-Jepang menemukan titik terang ada potensi longsor bawah laut yang menjadi sumber dari tsunami kali ini. Untuk memastikannya, perlu ada pemetaan bawah laut.
Hasil survei lapangan ahli tsunami dari Universitas Tohoku, Fumihiko Imamura, ahli tsunami dari Universitas Chuo, Taro Arikawa, dan ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, ini disampaikan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Minggu (7/10/2018).
Imamura menyebutkan, landaan tsunami di daratan (inundation distance) hanya 200-300 meter dari tepi pantai, sementara tinggi tsunami di daratan (inundation depth) 2-5 meter. ”Ini lebih kecil dari perkiraan awal,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendeknya jangkauan tsunami di daratan ini menunjukkan karakter tsunami ini memiliki gelombang yang pendek. Hal itu berbeda dengan panjang gelombang tsunami Aceh 2004 ataupun Jepang 2011 yang mencapai puluhan kilometer sehingga bisa merangsek ke daratan hingga hampir 10 kilometer dari garis pantai. Panjang gelombang tsunami biasanya ditentukan lebar pendeknya bidang runtuhan di dasar laut pemicu tsunami.
–Ahli tsunami dari Universitas Tohoku Jepang Fumihiko Imamura (kiri) dan ahli tsunami dari Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari ini, menyampaikan hasil survei awal terkait tsunami Palu, di Kementerian Koordinator Maritim, Minggu (7/10/2018). Tim gabungan Indonesia-Jepang ini menemukan titik terang adanya longsor bawah laut yang memicu tsunami kali ini. Namun untuk memastikannya dibutuhkan survei batimetri.–Kompas/Ahmad Arif
Hasil survei tentang tinggi tsunami itu sedikit berbeda dengan temuan awal tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan, ketinggian landaan tsunami di pesisir Kota Palu berkisar 6-7 meter. Bahkan, disebutkan ada yang mencapai 11,31 meter.
Taro Arikawa mengatakan, yang diduga tinggi landaan tsunami itu kemungkinan cipratan air (splash height). Dari temuan timnya, cipratan air tsunami bisa mencapai lebih dari dua kali lipat ketinggian landaan tsunaminya. Hal ini menunjukkan momentum dan kekuatan tsunami lebih besar dari lazimnya.
Dari pemodelan yang dilakukannya, ketinggian tsunami setengah meter saja bisa membuat orang tersapu. ”Jika tinggi tsunaminya lebih dari 4 meter, sedikitnya 80 persen di area terdampak akan tersapu,” katanya.
Survei ini juga mengonfirmasi bahwa tsunami telah tiba di pantai kurang dari 10 menit setelah gempa bumi. ”Orang tidak akan memiliki waktu cukup untuk evakuasi sekalipun peringatan (sirene) tsunami menyala,” ungkap Arikawa.
Sebagaimana diketahui, satu-satunya sirene tsunami yang ada di Kota Palu tidak berbunyi. Selain itu, pesan pendek berisi peringatan tsunami yang seharusnya terkirim ke warga di area berisiko terdampak tidak berjalan.
Sementara Abdul Muhari mengatakan, survei awal ini mulai menyingkap misteri tsunami yang melanda Palu. Lazimnya, gempa berpusat di darat yang dipicu sesar geser tidak akan memicu tsunami yang signifikan.
”Di lapangan, kami menemukan sampah tsunami (tsunami debris) yang tersangkut di atas pohon cukup tinggi, tetapi bangunan di sekitarnya tidak rusak. Ini membuktikan bahwa yang membawa debris ini adalah splash bukan tsunaminya, karena kalau tsunaminya pasti bangunannya hancur,” kata Muhari.
Dengan data yang ditemukan, kesimpulan sementara adalah tsunami di Palu kali ini dipicu longsoran bawah laut yang terjadi setelah gempa bumi. ”Dibutuhkan survei bawah laut untuk membuktikan ini, tetapi sementara ini dugaan kami mengarah ke sana,” ujarnya.
Jika dibandingkan kejadian tsunami sebelumnya yang pernah melanda kawasan ini, menurut Muhari, kejadian kali ini relatif lebih kecil. Contohnya, pada 1927, gempa bermagnitudo 6,3 memicu tsunami hingga 15 meter di Teluk Palu. Tahun 1968, gempa bermagnitudo 7,4 memicu tsunami di Teluk Palu hingga 10 meter.
”Tinggi tsunami di masa lalu ini bisa jadi juga dipicu longsor bawah laut. Seperti diketahui, longsor bawah laut bisa memicu tsunami sangat tinggi sekalipun radiusnya terfokus di area relatif sempit, misalnya tsunami di Ambon pada tahun 1674 yang bisa mencapai 100 meter lebih,” katanya.
Melihat keberulangan tsunami di Teluk Palu yang rata-rata 30 tahun sekali dengan potensi tsunami bisa lebih tinggi, tim survei Indonesia-Jepang ini merekomendasikan agar pesisir Kota Palu tidak dihuni kembali. Kawasan terdampak tsunami ke depan disarankan menjadi ruang terbuka, bukan untuk hunian.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Warga Layana Indah, Palu, mulai membangun rumah yang hancur total tersapu tsunami, Minggu.
Survei bawah laut
Terkait dengan kebutuhan survei bawah laut ini, tim survei para ilmuwan Indonesia dengan komposisi dan peralatan lebih lengkap telah diberangkatkan dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya yang dioperasikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Perekayasa BPPT Udrekh yang memimpin tim ini mengatakan, tim yang terdiri dari sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia tersebut akan dibagi di darat dan di laut.
Survei ini juga melibatkan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut. ”Untuk di laut, kami akan melakukan survei batimetri (pemetaan bawah laut) untuk mengetahui perubahannya setelah gempa. Jika ada bukti-bukti longsor bawah laut dan seberapa besar, itu diharapkan bisa diketahui,” ujarnya.
Selain itu, tim akan mengkaji landaan tsunami di daratan, serta daerah terdampak likuefaksi. ”Kapal yang membawa tim survei ini juga akan membawa bantuan untuk korban. Dana survei maupun sumbangan bagi korban merupakan partisipasi banyak pihak,” kata Udrekh.
Hasil survei para peneliti ini diharapkan menghasilkan pembelajaran dan rekomendasi bagi pembangunan kembali Kota Palu dan kota-kota lain di Indonesia yang berada di zona rentan bencana gempa dan tsunami.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2018