Sundari tidak pernah merasa sebagai penemu varietas cabai unggulan yang kini menjadi kebanggaan warga Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, terutama petani cabai. Padahal orang menyebut “Cabai Sundari” atau “Lombok Sundari” untuk menghargai hasil otak-atiknya.
Komoditas cabai yang menggunakan namanya itu menjadi ikon desanya, Lembor, Kecamatan Brondong.
Sundari juga menanggapi biasa saja, ketika namanya disematkan pada varietas cabai hasil rekayasanya. Ketika ditanya, jawabannya ceplas-ceplos, apa adanya, tanpa ada beban. Dia memang seorang petani, bukan seorang ahli rekayasa genetik atau pemuliaan tanaman. Cabai yang menggunakan namanya itu berawal dari “percobaannya” pada 2002, sebagai petani. Saat itu dia mencoba menyilangkan empat jenis cabai yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Varietas itu dikembangkan di Desa Lembor, Wide, Benges, dan Brengkok, Kecamatan Brondong. Cabai yang dikembangkan di Benges, misalnya, punya ciri-ciri buahnya kecil panjang. Ada juga jenis cabai asal Kediri yang buahnya pendek tapi gemuk. Petani menyebut si pedas itu cempluk.
Sundari dibantu istrinya, Sujimah (35), menyilangkan dengan pola acak ditanam pada satu areal sawah. “Bunga cabai saya gesek-gesekkan lalu saya bungkus plastik. Kalau prothol (rontok) tidak jadi benih,” tuturnya pada Rabu (18/10).
Upayanya mengawinkan cabai secara sederhana itu semula kurang berhasil. Ada yang berbuah sampai merah, tetapi sudah rontok sebelum dipetik. Singkat cerita, dari hasil cabai yang disilangkan itu muncul satu jenis varietas cabai baru yang berbeda dari varietas cabai yang sudah ada sebelumnya.
Tahan hama
Sekitar 2003, di bawah cabai yang ditanam dan disilang tumbuh jenis cabai baru. Pohonnya tidak terlalu tinggi, tetapi buahnya lebih lebat. Semua buah dari satu batang tanaman itu pun dijadikan benih untuk ditanam pada musim berikutnya. Sejak saat itu, Sundari memurnikan benih cabai selama empat tahun berturut dan diteruskan hingga kini. Cabai itu dirasa pas dengan kondisi dan karakter tanah Desa Lembor yang kering.
Sebagai petani biasa, ayah tiga anak itu menyilangkan cabai berdasarkan pengalaman saja, tidak ada latar belakang ilmu khusus tentang pertanian. “Saya hanya lulusan madrasah,” kata Sundari.
Setelah itu, Sundari pun dikenal sebagai petani yang tanaman cabainya berbuah lebat dan tahan terkena penyakit. Padahal tanaman petani lainnya sering kali terkena busuk buah, rontok, pertumbuhan tanaman tidak bagus hingga layu dan mati.
Melihat keberhasilan Sundari, petani lainnya nempil (membeli) cabai hasil panenannya untuk dijadikan benih (bibit). Awalnya, orang mengatakan lombok teko Sundari (lombok dari Sundari). Lambat laun orang menyebut “Lombok (Cabai) Sundari”. Cabai rawit varietas baru itu punya keunggulan jika dibandingkan dengan empat jenis cabai lokal yang ada.
Keunggulan utamanya lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan tahan terhadap kondisi kering. Masa panen lebih cepat, yakni 90 hari, dari umumnya cabai rawit 100 hari lebih. Buahnya lebih lebat per batang rata-rata menghasilkan 0,5 kilogram.
Masa berbuahnya lebih panjang dan buahnya tidak mengecil. Cabai umumnya dua kali masa panen, masing-masing empat kali petik. Cabai Sundari bisa tiga kali masa panen masing-masing tujuh kali petik.
Masyarakat Desa Lembor pun kemudian ramai-ramai memilih Cabai Sundari. Kini bahkan pesanan benih cabai juga berasal dari kabupaten lain, termasuk Blitar, Bojonegoro, dan Tuban. Setiap hari pemesanan benih mencapai 10 kilogram hingga 20 kilogram.
Sundari bercerita ia tertarik merekayasa benih cabai sendiri karena benih mahal. Pada 2002 benih dalam kemasan plastik ukuran 10 gram saja harganya mencapai Rp 20.000. “Makanya, saya mencoba buat benih sendiri. Caranya, bunga cabai yang belum mekar dari jenis berbeda saya oser-oser (digesek-gesekkan),” ujarnya.
Setiap hasil dari persilangan dicari yang tumbuh kembangnya paling bagus dan buahnya lebat untuk dikembangkan jadi benih. Setiap batang bisa menghasilkan 0,5 kilogram lalu dikembangkan jadi benih lagi. Begitu seterusnya.
Bibit cabainya pun telah menyebar hingga Desa Sendangharjo, Kecamatan Brondong, juga sejumlah desa di Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan. Benihnya juga dikembangkan di Leran, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban.
Sundari pun membuat galur baru benih yang diseleksi sampai tujuh kali untuk pemuliaan atau pemurnian tanaman. Ia sendiri saat ini mengelola 1,25 hektar lahan, 0,25 hektar ditanami cabai, padi dan jagung masing-masing seluas 0,5 hektar. Kalau panen ia bisa mendapatkan 3 ton gabah kering panen dan 3 ton jagung.
Adapun cabainya bisa panen tiga putaran dalam satu kali musim tanam. Tiap putaran tujuh kali petik. Satu kali petiknya 150 kilogram untuk luas 0,25 hektar. Saat harga cabai tembus Rp 100.000, itu masa paling menguntungkan baginya. Hasilnya bisa untuk membeli empat ekor sapi, dua sepeda motor, juga tanah dan untuk membangun rumah.
Sundari tidak pelit berbagi ilmu. Ia kini dipercaya sebagai penjaga gawang untuk pemurnian dan pemuliaan varietas Sundari. “Saya bangga kalau teman-teman petani makmur. Kalau bisa petani sejahtera secara merata,” paparnya.
Selama ini, petani saat tanam cabai dipusingkan beberapa kali menyemprotkan obat-obatan untuk mengatasi hama, penyakit, dan organisme pengganggu tanaman. Namun, dengan varietas Sundari petani cukup menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri tidak perlu menyemprotkan pestisida.
Menurut Sundari, harga cabai idealnya Rp 20.000 hingga Rp 25.000 agar petani untung. Biaya produksi rata-rata Rp 10.500 per kilogram. Ia sendiri pernah merugi. Hasilnya habis untuk menalangi biaya petik Rp 5.000 per kilogram per petik per orang. Saat panen butuh tujuh tukang petik. “Kalau harga cabai kurang dari 10.000 petani menangis,” ujarnya.
Ia sempat tergiur mengadu nasib ke luar negeri. Ia mencoba menjadi tenaga kerja ke Malaysia pada 1998. Ia mengeluarkan biaya Rp 6 juta. Ternyata ia diberangkatkan secara ilegal oleh perusahaan penyalur. “Saya masuk lewat Sumatera. Belum sampai tujuan sudah dipulangkan. Uang pun melayang. Enak bertani saja,” ujarnya berseloroh.
Tetapi rupanya menjadi petani menjadi jalan hidupnya.
Sundari
Lahir, Lamongan: 10 Desember 1973
Istri: Elfiyah (cerai), lalu menikah lagi dengan Sujimah (35)
Anak: – Adib Faizin (18) (anak dengan Elfiyah)- Ahmad Sabil Khoirul Abror (14)- Kamalia Ulumun Tajala (5)
Pendidikan: – Madrasah Ibtidadiyah Maarif Lemboru
Organisasi: Kelompok Tani Desa Lembor
Penghargaan: Petani Teladan 2017 di Desa Lembor
ADI SUCIPTO KISSWARA
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2017